Gaes,
Nangis nggak bikin puasa jadi batal, kan? Hadeuh, siang-siang gini, aku nulis kenangan masa kecil Ramadan sambil mbrebes mili. Apa pasal? Yappp, karena aku mengubek-ubek aneka foto jadul yang masih teronggok di album foto keluarga. Ada beberapa potret yang ter-capture pada saat bulan puasa beberapa tahun silam. "A picture is worth a thousand words". Adagium ini bener 1000 persen dah. Â
Oke, tanpa banyak cang cing cung, aku mau cerita apa saja kenangan yang tergoreskan manakala jalani Ramadan di masa kicik, belum ada dosa segede alaihim gambreng kayak sekarang.
Foto Pertama: Mengikuti Parade Fashion Busana Muslimah/ahÂ
Sejak kecil, aku tuh didorong ortu untuk mengakrabi Masjid. Ibu dan Bapakku lumayan aktif dalam berbagai kegiatan di Masjid, maka dari itu, manakala ada event, udah pasti namaku disodorkan sebagai peserta. Entah itu lomba mengaji, lomba sholat berjamaah, dan aneka lomba lainnya.
Nah, ini dokumentasi ketika aku ikutan fashion show. Look at the girl with green veil! That's mini me! Ga tau kenapa, pas dipoto, kok mukanya muram semua yhaaa, apa gegara lagi lapar? Wkwkwkw.Â
Berkat kegigihan ortu mengikutkan aku di berbagai acara Masjid, Alhamdulillah... berdampak banget untuk skills "tampil di depan khalayak ramai". Yap, bisa dibilang aku "banci tampil" gitu lah, ihiiirrr. Super gemasss yah? :)
Foto kedua: Menjemput Saudara dari Pulau Lain
Yang Namanya Ramadan, puncaknya adalah Lebaran, dan ini identik dengan mudik. Jaman dulu, moda transportasi jumlahnya amat terbatas kan, apalagi rute dari luar pulau menuju Jawa. Ada saudara kami yang bermukim di Ambon. Pastinya ingin mudik sekeluarga, tepatnya ke Pacitan, Jawa Timur
Kan nggak ada angkutan umum, jurusan Ambon ke Pacitan, yhaaa. Maka dari itu, om dan tanteku ini pesan tiket pesawat tujuan Surabaya. Maksudnya, biar nanti bareng-bareng keluarga kami, naik bus menuju Pacitan.
Dan, did you know, bahwa tiket pesawat amat sangat terbatas jumlahnya. Sehingga waktu itu, om dan tanteku dapat jadwal flight yang BERBEDA dengan jadwal penerbangan anaknya. Ya kalo anaknya udah remaja/ gede sih gapapa, the thing is..... Darma (nama putra mereka) masih balita!
Trus? Om dan Tanteku emang spesies ortu langka dan patut dilestarikan sih... Mereka MENITIPKAN Darma ke cabin crew, dan minta keluarga kami menjemput Darma di Bandara! Edan, kan? :) Ini bocil lhooo, bukan barang jastip.
Aku masih ingaaatt banget, serah terima Darma berlangsung dengan amat dramatis. Darma tipikal bocah pemberani, easy going, santuuuyyy banget pas bertemu kami. Padahal, ibuku udah nahan nangis tuh...
Dari situ aku belajar kalau tipikal ortu tuh bisa bedaaaaaa banget yhaa. Ibuku berkarakter welas asih, agak sedikit tipikal "helicopter parents" yang protektif banget ke anaknya. Sementara Tante Kus (ibunya Darma) beneran yang santai aja nitip-nitipin anaknya. Nggak ada bener, nggak ada salah sih... karena tiap ortu kan punya style-nya masing-masing. Yang jelas, Ramadan kami jadi makin berwarna, karena Darma nih bocah yang gemashhh dan aktiiiff banget. Doi juga super-rajin kalau tarawih ke Masjid.Â
Foto ketiga: Main-main di Pantai Pacitan
Beberapa hari sebelum Lebaran, biasanya kami udah otw menuju Pacitan! Kami naik bus rute Surabaya -- Ponorogo; lanjut bus yang modelnya "hidup segan, mati pun enggan" dengan rute Ponorogo -- Pacitan. Yang kuingat dari ritual mudik adalah..... scene berebut bus, saling sodok antar penumpang, supaya bisa dapat kursi yang jumlahnya amat limited. Perjuangan belum selesai, saudara! Karena jalanan Ponorogo -- Pacitan tuh berkelok-kelok ekstrim, berbatasan dengan tebing plus jurang yang menganga lebar! Kalau sopir bus enggak handal, beughhh bukan mustahil kita semua bakal nyemplung berjamaah ke jurang. Selain komat kamit istighfar, saya selalu dibekali dua hal oleh ibu: minyak kayu putih dan tas kresek warna hitam. Untuk apa? Untuk mewadahi muntahan!
Aduh, beneran deh... puasa-puasa dan kudu menjalani ritual mudik semacam ini, siksaan combo tersendiri. Tapiii, semua itu terbayarkan saat kami tiba di rumah Eyang Uti. Disambut keramahan khas warga desa. Menu makanan yang dimasak dengan cinta. Kokok ayam yang bersahutan..... Aroma tenang nan damai. Daaannn, kami bisa ngabuburit di PANTAAIIII! Aaakkkk
Pantai di Pacitan tuh baguussss banget. Deburan Ombaknya beneran bikin hepi. Main pasir, lari-larian, duh... masa kecil + santai di pantai Pacitan = Surga dunia
Foto keempat: Bukber Keluarga Besar
Ternyata, budaya Bukber juga udah kami lakoni sejak aku kecil. Mengumpulkan sanak saudara untuk buka Bersama bukan hal yang sulit. Padahal saat itu belum ada smartphone dan media social. Tapi justru kehidupan yang relatif sederhana dan bersahaja, membuat kami tergerak dan bersemangat untuk 'meet up' demi buka Bersama.
Yap, enjoy banget jadi generasi jaman 90-an. Apa itu distraksi teknologi digital? Kami sama sekali belum terpapar. Apa itu FOMO? Fear of Missing out sama sekali nggak nangkring di batok kepala bocah-bocah yang sederhana ini.
So... yeah, begitulah. Terkadang rasanya ingin kembali ke masa silam. Di mana hidup berjalan dengan naungan berkah dari-Nya. Tak perlu grusa grusu. Tak ada tuntutan ina inu ita itu. Yang jelas, Ramadan masa kecil lekat dengan sejuta memori indah bersama Ayah dan Ibu. Ini yang tak lagi aku temukan, karena "sosok yang pintu surgaku ada di telapak kakinya" itu sudah berpulang sekian tahun silam.
Semoga, semoga, semoga. Ramadan ini, membuatku selalu eling (ingat) bahwa ini momentum yang tepat untuk melangitkan doa, bermohon agar Allah ampuni dosaku, orangtua dan segenap keluarga besar.
Happy Ramadan, teman-teman :) Jangan sia-siakan bulan suci yang datang hanya sekali dalam setahun ini
Arungi kebersamaan dengan ortu, keluarga, sanak saudara... Karena kita tidak tahu, kapan nikmat itu akan tercerabut begitu saja.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI