Aku masih ingaaatt banget, serah terima Darma berlangsung dengan amat dramatis. Darma tipikal bocah pemberani, easy going, santuuuyyy banget pas bertemu kami. Padahal, ibuku udah nahan nangis tuh...
Dari situ aku belajar kalau tipikal ortu tuh bisa bedaaaaaa banget yhaa. Ibuku berkarakter welas asih, agak sedikit tipikal "helicopter parents" yang protektif banget ke anaknya. Sementara Tante Kus (ibunya Darma) beneran yang santai aja nitip-nitipin anaknya. Nggak ada bener, nggak ada salah sih... karena tiap ortu kan punya style-nya masing-masing. Yang jelas, Ramadan kami jadi makin berwarna, karena Darma nih bocah yang gemashhh dan aktiiiff banget. Doi juga super-rajin kalau tarawih ke Masjid.Â
Foto ketiga: Main-main di Pantai Pacitan
Beberapa hari sebelum Lebaran, biasanya kami udah otw menuju Pacitan! Kami naik bus rute Surabaya -- Ponorogo; lanjut bus yang modelnya "hidup segan, mati pun enggan" dengan rute Ponorogo -- Pacitan. Yang kuingat dari ritual mudik adalah..... scene berebut bus, saling sodok antar penumpang, supaya bisa dapat kursi yang jumlahnya amat limited. Perjuangan belum selesai, saudara! Karena jalanan Ponorogo -- Pacitan tuh berkelok-kelok ekstrim, berbatasan dengan tebing plus jurang yang menganga lebar! Kalau sopir bus enggak handal, beughhh bukan mustahil kita semua bakal nyemplung berjamaah ke jurang. Selain komat kamit istighfar, saya selalu dibekali dua hal oleh ibu: minyak kayu putih dan tas kresek warna hitam. Untuk apa? Untuk mewadahi muntahan!
Aduh, beneran deh... puasa-puasa dan kudu menjalani ritual mudik semacam ini, siksaan combo tersendiri. Tapiii, semua itu terbayarkan saat kami tiba di rumah Eyang Uti. Disambut keramahan khas warga desa. Menu makanan yang dimasak dengan cinta. Kokok ayam yang bersahutan..... Aroma tenang nan damai. Daaannn, kami bisa ngabuburit di PANTAAIIII! Aaakkkk
Pantai di Pacitan tuh baguussss banget. Deburan Ombaknya beneran bikin hepi. Main pasir, lari-larian, duh... masa kecil + santai di pantai Pacitan = Surga dunia
Foto keempat: Bukber Keluarga Besar
Ternyata, budaya Bukber juga udah kami lakoni sejak aku kecil. Mengumpulkan sanak saudara untuk buka Bersama bukan hal yang sulit. Padahal saat itu belum ada smartphone dan media social. Tapi justru kehidupan yang relatif sederhana dan bersahaja, membuat kami tergerak dan bersemangat untuk 'meet up' demi buka Bersama.
Yap, enjoy banget jadi generasi jaman 90-an. Apa itu distraksi teknologi digital? Kami sama sekali belum terpapar. Apa itu FOMO? Fear of Missing out sama sekali nggak nangkring di batok kepala bocah-bocah yang sederhana ini.
So... yeah, begitulah. Terkadang rasanya ingin kembali ke masa silam. Di mana hidup berjalan dengan naungan berkah dari-Nya. Tak perlu grusa grusu. Tak ada tuntutan ina inu ita itu. Yang jelas, Ramadan masa kecil lekat dengan sejuta memori indah bersama Ayah dan Ibu. Ini yang tak lagi aku temukan, karena "sosok yang pintu surgaku ada di telapak kakinya" itu sudah berpulang sekian tahun silam.