Setiap orang punya jatah GAGAL
Habiskan jatah gagalmu, ketika kamu masih muda!
Quote Dahlan Iskan ini terngiang-ngiang di benak, manakala saya harus memutar memori seputar umur 25.Â
Quarter Life Crisis, yap... sebagaimana manusia-manusia umur 25 lainnya, saya juga sempat terjerat krisis ini.
Krisis multi-dimensi, bukan hanya soal pencapaian harta dan tahta, tapi lebih kepada krisis identitas, visi-misi-target kehidupan yang nantinya bakal diperjuangkan. Krisis lantaran terperangkap dalam perasaan clueless, bingung harus ngapain, ambil keputusan yang kayak gimana, dan seterusnya, dan sebagainya.Â
Oke. Saya mau ungkap sekelumit cerita seputar kehidupan saya di usia 25-an kala itu. Sebentar kok, nggak pakai lama :DÂ
Menelisik Turbulensi di Umur 25Â
Ketika menginjak usia seperempat abad, saya sudah lulus kuliah dari PTN di Surabaya, dan berkarir sebagai Media/Public Relations di sebuah korporasi multinasional. Tempat kerja saya adalah industri rokok, yeah, saya bertugas mengundang, follow up, dan menjalin relasi dengan kawan jurnalis/media massa. Biasanya saya mengundang mereka, ketika ada event konser, pertandingan olahraga, pembukaan pabrik rokok, semacam itu.Â
Untuk ukuran perempuan umur 25, bisa dibilang karir saya lumayan mengundang decak kagum, sekaligus iri/dengki/julid :D Biasanya yang dengki ini para sepupu atau kerabat saya yang kerjanya masih di kantor yang kecil. Jadi mereka selalu cari celah, untuk menunjukkan bahwa saya salah jalur lantaran mengais rezeki di pabrik rokok. Komentar beraroma julid yang sering saya dengar, kurang lebih seperti ini:Â
"Jilbaban tapi kok kerja di pabrik rokok. Malu ama jilbab!"
"Percuma gaji gede, sering traveling naik pesawat, tapi sumbernya dari rokok!"
"Kamu ini munafik ya. Katanya nggak suka rokok, benci laki-laki perokok. Tapi kok kerja di pabrik rokok?"Â
Yeah, semacam itulah :D Sekali dua kali, kuping ini biasa aja... Tapi, lama-lama kok nge-ganjel yhaa :D
Apalagi, di saat bersamaan, saya lumayan aktif di beberapa komunitas kajian agama. DIbahaslah soal gimana hukumnya berkarir di industri yang memroduksi produk racun. Ada beberapa ustadz/ah yang ambil sikap moderat, "Kalo memang pekerjaan ini harus dilakoni karena tidak ada alternatif lain, dan memang wajib utk menafkahi keluarga, ya tidak apa-apa dijalani saja."
Saya manggut-manggut tatkala menyimak penjelasan para ahli fiqih kontemporer. Hingga suatu ketika, ada narasumber yang secara tegas menyatakan bahwa, "Masak iya, bekerja di industri itu adalah SATU-SATUNYA JALAN? Apalagi Anda kan tinggal di kota besar. Pasti banyak alternatif lainnya. Anda harus semangat untuk mencari sumber rezeki lain, karena Allah sudah bentangkan banyak peluang dan kesempatan. Tinggal kembali ke Anda, mau berusaha atau terus-menerus berada di zona nyaman seperti pabrik rokok itu?"
Glek.Â
***
Jadilah.... kegemilangan karir saya di usia 25 harus berakhir. Entah gimana awalnya, saya tiba-tiba merasa takut dilabeli sebagai pendosa lantaran kerja di korporasi (dan mempromosikan) rokok.Â
Saya ajukan surat resign, padahal di umur 25 itu, saya ditawari untuk promosi ke job title yang lebih menggiurkan dan relokasi ke kantor di Jakarta.Â
Duh!Â
Hidup gini amat yak.Â
Akhirnya, rekening saya yang auto-gendut saban tanggal 25, sekarang menjadi kering kerontang :D Apalagi, di umur 25 itu saya punya bayi. Rasanyaaaa sungguh ulala :DÂ
Harus diakui, metamorfosa dari career lady menjadi stay-at-home-mom... terkadang menjadi fase yang super mengerikan. Apalagi kalau kita tipe achiever. Saya sempat berada di fase itu, dan rasanya stressful!
Mendingan stres ngadepin tuntutan boss dan aneka deadline yang berkejaran, ketimbang stres ngurusin anak yang GTM (Gerakan Tutup Mulut), anak yang masih ngompol dan BAB tidak pada tempatnya, anak yang membantah apa kata Mama, dan seterusnya dan semacamnya.Â
Apalagi, stres ngurusin anak plus.... engga pegang duit dalam jumlah yang cukup. Ada perasaan "I'm worse than another career ladies"Â karena hidup kita cuma berkutat di popok, ompol, gumoh, nyiapin makanan bayi and so on and so on.Â
Banyak banget perempuan yang ketika masih lajang punya prestasi super-duper wow, kemudian harus merasa "terbelenggu" dalam ikatan rumah tangga. Bisa jadi karena panggilan jiwa, atau lantaran suaminya yang minta dia kudu jadi full-time-mom.Â
Lalu... saya mulai menyesali "keputusan bodoh" untuk resign. Karena ternyata jiwa wanita karir saya meronta-ronta. Apalagi, ada saudara sepupu (perempuan, punya 2 anak kecil) yang karirnya kian moncer, melesat jauuuhhh meninggalkan saya yang terus-menerus meratapi nasib, lantaran merasa useless di umur 25. Hiks hiks hiks.... Apakah ini pertanda semi-depresi?Â
***
Setiap orang punya jatah GAGAL
Habiskan jatah gagalmu, ketika kamu masih muda!
Kemudian, saya coba untuk banyak baca Quran, melakoni ibadah sunnah, coba untuk bermeditasi, tetap keep in touch dengan sahabat, intinya saya nggak boleh membiarkan perasaan 'nyaris depresi' ini berlarut-larut dalam jiwa.Â
Saya berhenti membandingkan hidup dengan orang lain, karena heyyy.... "Comparison is The Thief of Joy!"
Saya tahu, bahwa secara duniawi (harta dan tahta) keputusan untuk resign membuat saya merasa jadi pecundang. Akan tetapi, dalam hidup ini, selalu ada hal-hal baik yang bisa kita jadikan bahan bakar syukur kan?Â
Allah anugerahi saya bayi yang lucu, sehat, mungil, dan saya bisa berkontribusi seoptimal mungkin, untuk menjadi ibu yang baik dan membaikkan anak sholeh ini.Â
Ya sudah.Â
Saya mencoba untuk berkontemplasi dan melakukan rutinitas bikin GRATITUDE LIST. Apa saja hal-hal yang bisa membuat saya tersenyum. Toh, tak lagi berkarir di perusahaan multinasional, sama sekali bukan pertanda bahwa dunia sudah kiamat. Saya masih bisa melakoni hal-hal lain. Menulis, misalnya. Hingga saya ajeg jadi narablog di BukanBocahBiasa.com dan menulis di Kompasiana.Â
Intinya, saya berhenti membanding-bandingkan diri ini dengan orang lain. Semua punya takdir hidup. Semua punya jatah rezeki. Semua punya challenge dan aral dalam melakoni kehidupan di dunia fana ini. Just be happy! Just be the best version of yourself!Â
Jangan jumawa, tapi juga nggak perlu ngerasa paling menderita, kalo usia 25 merasa belum jadi apa-apa.Â
Cheer up!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H