Dulu, saya sempat masuk dalam barisan 'siang dipendam, malam balas dendam' ntuh. Maklum lah. Gejolak kaum muda *halaahh* Rasanya, ada euforia tersendiri, manakala bisa menghabiskan kolak, es sirup, nasi padang, semur daging, urap-urap, dan segala macam ragam hidangan yang terserak di atas meja makan.
Seiring bertambahnya usia, pola pikir harus diubah dong ya. Masak iya, bodi jadi makin menggelambir dan mirip karung beras sih? Errrr, emangnya itu bodi mau dizakat fitrahin?
Dan, kalau sudah berpuasa seharian, lalu melampiaskan pol-polan ketika buka puasa, pertanyaan reflektifnya adalah: ESENSI IBADAH PUASA itu kan menahan hawa nafsu. La kalo seperti ini, nahan nafsunya di sebelah mana ya?
Sejak saat itu, saya berusaha kontemplasi. Sekitar tiga tahun terakhir, saya berusaha keras untuk menolak undangan buka bersama. Baik undangan dari komunitas, korporasi, resto/caf/hotel, termasuk undangan dari mantan *eh. Saya berupaya banget untuk buka puasa #DiRumahAja. Dengan menu sederhana. Bersama keluarga inti.
***
Tahun ini, saya tak perlu repot-repot menolak undangan Buka Bareng. Ha wong kagak ada yang ngundang saya sekali kok, heheheh. Ya itu tadi, "efek positif" pandemic corona. Kita semua akhirnya mulai menyadari hakikat puasa. Live simpler and happier. Hanya lakukan yang penting saja. Tidak perlu buka puasa dengan aneka ornament: Caf fancy, selfie dengan tampang (pura-pura) Bahagia, hahahihi dan gossip sana-sini dan akhirnya, esensi ibadah puasa kita jadi terlupakan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI