"Hah? Tukang pijat punya panti asuhan? Mana mungkin?"
Bolak-balik saya menyanggah kalimat yang dilontarkan Ibuku.
"Iyo Dek. Orang asli Pacitan. Tapi udah lama di Surabaya, trus punya panti asuhan Amanah. Ayo wis, kapan-kapan ikut Ibu ke sana," ibuku menjawab dengan sabar bin meyakinkan.
Percakapan itu sudah berlangsung sekitar sepuluh tahun lalu. Ketika keluarga kami rutin berkunjung ke Panti dan mendonasikan sebagian rezeki. Ibuku orang asli Pacitan, jadi wajar kalau beliau amat bangga telah mengenal pemilik panti. Sesama Pacitan, yang merantau ke Surabaya, jadi you know lah, bagaimana rasanya.
Namanya Sumirah. Perempuan kelahiran 3 April 1965 ini selalu bersemangat tatkala menyambut kami. Jabat tangannya terasa hangat, akrab, dan kokoh... khas tukang pijat. Cara Sumirah menyambut tamu selalu sumringah, semedulur kalau istilah orang Pacitan. Senyumnya masih sama. Ikhlas, tulus, tanpa tendensi apapun.
Semenjak Ibunda berpulang beberapa tahun lalu, bisa dibilang saya jarang berinteraksi lagi dengan beliau. Hingga di bulan Ramadan ini, ada energi berbagi yang menggedor-gedor ulu hati. Saya ingin menikmati inspirasi dari sosok energik yang ada di hadapan saya, sore itu.
"Masih sering mijat, Bu?"
"Iyaaa Mbak. Sudah jadi profesi saya. Alhamdulillah, dari hasil mijat bisa untuk biaya makan dan sekolah anak-anak panti."
Di mata Sumirah, kemampuan memijatnya adalah wujud hidayah dari Sang Maha Sutradara Kehidupan. Sejak kelas 2 SD, ia sudah sanggup memijat. Bahkan, tatkala duduk di bangku 5 SD, Sumirah sudah melayani order memijat hingga ke luar kota, seperti Semarang, Solo dan Madiun.
"Dalam sehari, saya bisa memijat 40-50 orang mbak."