Di awal tahun, YouTuber Logan Paul bikin kehebohan (plus kebodohan) luar biasa. Ia dan timnya datang ke Aokigahara, yang dikenal dengan suicide forest atau hutan yang kerap dijadikan lokasi bunuh diri di Jepang.Â
Ia dengan gayanya yang sok asyik dan sama sekali tak ada empati, memvideokan beberapa jenazah yang ada di sana (dengan wajah di-blur), sambil berbincang santai dengan teman-temannya. Kalimat yang mereka semburkan juga tak mengusung kepedulianÂ
Temannya berkata, "Doesn't feel good."
Paul menukas, "What, you never stand next to a dead guy?" lalu tertawa seolah dia makhluk paling keren sedunia.
Video ini memang sudah dihapus di channel Logan Paul (yang sampai postingan ini diterbitkan ia punya subscriber YouTube 15.456.626). Akan tetapi, seperti kita ketahui bersama, jejak digital tidak pernah bisa dihapus selamanya. Beberapa akun YouTube sudah meng-upload ulang video tanpa nurani itu. Pun, rasa sakit hati itu sudah terlanjur menjadi-jadi. Paul, si 22 tahun yang sok asyik itu, membuat banyak pihak meradang.Â
Memang, permintaan maaf juga sudah di-upload di videonya. Tapi, heii... the damage is done :(Â
Kasus Logan Paul ini lagi-lagi membuat kita bertanya-tanya, apa yang salah dengan perangai para pesohor dunia online? Mengapa begitu banyak yang menggunakan resep "Posting-lah sesuatu yang aneh, DEMI VIRAL, DEMI TERKENAL, meskipun itu bakal menuai kontroversi?" Lihat saja.
Di Indonesia kita juga tahu beberapa socmed selebriti yang dielu-elukan penggemarnya (kebanyakan anak muda) dan yah, mereka kerap menawarkan gaya hidup hedonisme, kostum serba kekurangan bahan. Haters-nya banyak, mungkin sebanding dengan jumlah fans mereka. Jumlah haters + lovers yang sama-sama menonton video, pada akhirnya membuat video tersebut jadi viral.Â
VIRAL. VIRAL. VIRAL.Â
Ini yang jadi tujuan akhir, karena tidak sedikit manusia yang menjadikan ketenaran sebagai "tuhan". Apapun mereka lakukan demi kondang, meraup traffic yang gila-gilaan, plus dapat suntikan dana dari YouTube (yang jumlahnya memang bikin ngiler).
Sayangnya prinsip ini juga merasuki sebagian anak muda kita. Termasuk my little kid, Sidqi.Â
Dia bikin akun YouTube yang niche-nya adalah gaming, utamanya MineCraft. Sidqi juga amat concern memperbanyak subscriber dan viewer. Ia saat ini duduk di kelas 5 SD, subscriber YouTube-nya sebanyak 1700-an. Beberapa videonya mencapai traffic sampai 72K
Ini yang bikin ortu masa kini terjerat galau.Â
Di satu sisi, kita nggak bisa melarang anak yang punya interest (dan talenta) di dunia socmed, editing video semacam ini. Kita juga nggak bisa melawan perkembangan teknologi.Â
Namun, di sisi lain, role model yang bertebaran di kancah YouTube memang kerap membawa impact yang tidak baik.Â
Jadinya serba salah.Â
Dan, tahu sendiri lah, menjadi ortu dari pre-remaja, ABG atau apapun istilahnya sama sekali tidak mudah. Kita kerap berseberangan pendapat, karena memang point of view yang dipakai juga berbeda.Â
Orang tua kerap menganggap bahwa, "Heiii... apa yang istimewa dari tingkah si YouTuber Ria Ricis? Bahkan dia dengan sengaja memasukkan squishy ke dalam kloset? Lucunya di mana? Kreatifnya di mana?"Â
Tapi, para generasi milenial itu menganggap bahwa "itu unik dan anti-mainstream banget, mamaaaaa..."
Okay. Saya coba dari pengalaman sendiri. Ini tips ala saya:Â
- Sebisa mungkin, saya DAMPINGI little kiddo ketika bermain gadget, entah itu main game, record, upload.
Tadinya saya aktifkan safe mode di YouTube, tapi you know lah, kids zaman now, dia sangat piawai oprak-oprak gadget, sehingga ngga ada lagi itu mode aman. So, setiap Sidqi mau gadget-an saya ada di sebelah dia, untuk berdiskusi, nanya-nanya, sekaligus mengawasi apa yang dilakukan bocah satu ini. - Beri penjelasan dan pemahaman bahwa "banyak traffic/subscriber tidak jadi jaminan kemuliaan dunia akherat"
Jangan sampai anak mendewakan traffic YouTube lalu ia melakukan segala cara. Duh, ini juga jadi PR banget buat saya dan Sidqi, karena terkadang Sidqi terbawa arus para gamers yang suka main kata kasar, dan ia meng-copy-nya. Children see, children do. - It takes a village to raise a kidÂ
Butuh orang sekampung (dunia nyata maupun maya) untuk membesarkan anak. Nah, ini juga catatan banget! Di dunia nyata, saya berusaha sekuat tenaga agar Sidqi bergaul dengan anak-anak baik (teman-temannya sering main ke rumah kami. Jadi saya bisa mengontrol apa dan bagaimana aktivitas yang mereka lakukan).
Begitu juga dengan prinsip ilmu agama. Saya rutin undang Ustadz ke rumah, untuk mengajarkan ngaji dan tafsir Al-Qur'an. Semoga hal-hal yang kelihatannya sederhana, bisa memberikan dampak optimal bagi keluarga kita.Â
Teman-teman, ada yang ingin menambahkan tips lainnya?Â
Jangan ada lagi kasus Logan Paul, YouTuber yang menggadaikan nurani demi traffic tinggi yang menerpa kita maupun generasi muda Indonesia.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H