Jika harus ada alasan untuk bahagia, maka “mengikuti coaching clinic bersama Dewi ‘Dee’ Lestari” adalah sebuah takdir yang mencuatkan bahagia di lubuk hati saya. Yap, sejak tahun 2001, saya sudah “jatuh cinta” dengan gaya penulisan ibu dua anak ini. Novel-novelnya “out of the box”, genre yang nyaris tak dilirik oleh penulis-penulis lain. Terkadang (sok) saintifik, di lain waktu absurd, tapi yang jelas, itu semua menimbulkan ‘getar-getar candu’ yang merasuk kalbu.
Bersama ibu suri @deelestari di @Perpus_BIsby @bentangpustaka #coachingclinic pic.twitter.com/Rz0ntKe1XA— Nurul Rahmawati (@nurulrahma) March 31, 2015
Bahkan, novel Dee yang “enteng”, seperti “Perahu Kertas” juga berhasil membetot atensi saya. Gaya penulisan yang nyantai, justru gampang dikunyah pembaca. Dan, sekali lagi, harus saya akui, saya larut dalam tiap narasi yang disuguhkan seorang Dee.
Alhamdulillah, Allah menakdirkan saya ikut dalam Coaching Clinic bersama Dee yang digelar di Perpustakaan BI Surabaya, Minggu (29/3). Kelas ini hanya diikuti sekitar 25 orang, sangat privat, sehingga kita bisa chit-chat dan menyerap beragam ilmu yang dimuntahkan oleh Dee.
Modal penulis, di mata Dee, ada 4, yaitu:
1.Berpikir kreatif
2.Tekun berlatih
3.Tahu buku apa yang mau dia tulis dan ingin dia baca (pake banget)
4.Deadline
Bagaimana berpikir kreatif?
Dee melontarkan pertanyaan kepada para peserta, “Apa yang dimaksud berpikir kreatif?” Beberapa merespon, “Mencoba berpikir dengan cara yang berbeda dengan kebanyakan orang.” Yeah, kebanyakan dari kita memakna kreatif = anti-mainstream = out of the box.
“Dulu, saya merasa berpikir kreatif memang harus seperti itu. Tapi, ketahuilah, bahwa tidak ada sesuatu yang baru di dunia ini. Manusia punya masalah dan perasaan yang universal. Semua merasakan cinta, benci, sakit, gembira, kecewa. Kalau kita merasa ‘harus beda’ maka nantinya akan menjadi beban besar dan membuat kita tersesat,” papar Dewi. Lalu, lalu, ‘berpikir kreatif’ itu seperti apa?
”Perluas medan kesadaran kita. Expanding our awareness. Misalnya, kita bisa menulis dengan membayangkan diri kita adalah cicak, atau spidol. Menjadi sesuatu yang bukan kita. Karena orang yang berpikir kurang kreatif akan stop pada dirinya sendiri. Selalu manfaatkan ‘satu kamera lagi’ yang berfungsi untuk mengamati. Karena OBSERVASI adalah modal utama penulis,” lanjutnya.
Total jenderaaaal dlm berbagi ilmu @deelestari @bentangpustaka @Perpus_BIsby @heerlijkcafe pic.twitter.com/OWGsrjkkHd
— Nurul Rahmawati (@nurulrahma) March 31, 2015
Perlunya Celengan Ide
Setiap manusia itu unik. Sayangnya, unique voice kita tertutupi dengan ‘lumpur-dalam-pikiran’. Karena itulah, harus kita gali.
Menulis adalah tentang menggali. Apa yang digali? Segala sesuatu yang bukan suara unik kita, atau ‘lumpur dalam pikiran’. Terus cari unique voice itu. Sesuatu yang semacam ‘rasa gatal yang tak kunjung reda’. Semakin kita garuk, semakin gatal, dan kita semakin pengin garuk terus dan terus. Itulah unique voice kita! Menulislah tentang itu. Nggak lagi penting apakah buku kita laku, apa kata orang dan seterusnya. Karena setiap tulisan akan menemukan pembacanya masing-masing.
Tentang ide, kita harus punya awareness yang berkembang. Ide itu bisa di mana saja. Sebenarnya otak kita ini laksana antena parabola, yang bisa menerima banyaaaak sekali sumber ide. Jadi, nggak ada ceritanya kita nggak dapat ide. Yang ada adalah, kita menerima terlalu banyak ide, lalu bingung mau pilih yang mana. Nah, tugas otak kita mengerucutkan ide itu, yang lain adalah noise.
Dee bilang, ia punya tiga tips yang diterapkan ketika ide bermunculan:
1.Personifikasi ide à harus punya tujuan konkret dengan ide, karena akan memudahkan diri kita. Yang jelas, jangan memitoskan ide.
2.Perlakukan Ide seperti teman/partner à ketika kita ingin menulis dengan ide A, lalu tiba-tiba ide B muncul. Ajaklah B bicara laksana teman, “De, saya simpan kamu dulu ya. Tunggu dulu, karena saya lagi ada deadline dengan ide A.
3.Miliki selalu celengan ide.
Bagaimana Ketika Naskah Ditolak Penerbit?
Sedih, gundah gulana, nelangsa. Naskahku kurang apa? Mungkin, ‘protes’ itu yang kerap bersemayam di hati, manakala kita mendapati kenyataan bahwa naskah kita belum layak terbit. Huhuhu. Tapi, tenang saja. Bahkan seorang Dee dulunya juga sering menerima penolakan! Naskah-naskah yang ia kerjakan sepenuh jiwa, tak kunjung dimuat di rubrik cerpen majalah remaja. Apa yang Dee lakukan?
“Ketika naskah ditolak, ada dua pilihan sikap yang bisa kita lakukan. Pertama, putus asa. Lalu ogah menulis lagi. Stop sampai di sini. Atau, kita bisa memilih sikap kedua, ‘Majalah ini belum rezekinya saja berjodoh dengan saya’. Naah, alangkah damainya kita bila mengambil pilihan reaksi seperti ini kan?” ujarnya riang.
Aaaah, hari itu memang sarat inspirasi. Dee bisa membukakan mata (dan hati) saya, bahwa menulis adalah sebuah empowerment. Menulis butuh stamina yang kuat. Tekad yang membaja untuk bisa melahirkan “anak jiwa” berupa karya. Menulis adalah tentang disiplin. Tentang menggali “unique voice” dari dalam diri kita.
Menulislah.... Bayangkan energi sedih, lucu, gembira, dan sebagainya bisa menular ke pembaca kita.
Menulislah.... Karena dengan menulis, aku ada.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H