[caption id="attachment_190524" align="alignleft" width="300" caption="e-government"][/caption]
Teknologi merupakan bentuk perkembangan jaman. Seluruh manusia di muka bumi dipaksa untuk membuka mata pada perubahan teknologi yang sedemikian cepat dan mempengarhi segala aspek kehidupan. Tak dipungkiri, kemajuan teknologi mempercepat segalanya, termasuk pelayanan publik. Sudah bukan rahasia umum jika pelayanan publik di negeri ini dapat dikatakan jauh panggang dari api. Cepat hanya untuk pihak-pihak tertentu. Keberadaan teknologi diharapkan menjadi jawaban untuk menyamaratakan kecepatan pelayanan.
Teknologi internet yang kini sudah mendarahdaging harus dimanfaatkan secara optimal. Sebuah kemajuan jika pemerintah mulai mengadopsi teknologi tersebut sebagai infrastruktur utama pelayanan publik. Dalam tulisan berikut mencoba menguraikan seberapa besar pemerintah serius menggarap e-government system dalam pelayanan publik.
A.Pelayanan Publik Yang Efektif Dan Komunikatif
Hampir setiap warga negara akan berurusan dengan instansi pemerintahan untuk keperluan administrasi publik. Beraneka dokumen kependudukan dan dokumen usaha, mengharuskan warga negara harus berinteraksi dengan para aparat pemerintah di berbagai lembaga. Sayangnya pelayanan yang diberikan hingga kini dinilai belum memuaskan. Keberadaan Unit Pelayanan Satu Atap (UPTSA) di tingkat pemerintah kota atau kabupaten, belum memberikan layanan yang efektif bahkan masih jauh untuk dapat dikatakan komunikatif.
Pelayanan Negara terhadap warga negaranya merupakan amanat yang tercantum dalam UUD 1945 dan diperjelas kembali dalam UU No. 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. UU Pelayanan Publik mengatur prinsip-prinsip pemerintahan yang baik agar fungsi-fungsi pemerintahan berjalan efektif. Pelayanan publik dilakukan oleh instansi pemerintahan atau koporasi untuk dapat memperkuat demokrasi dan hak asasi manusia, mempromosikan kemakmuran ekonomi, kohesi sosial, mengurangi kemiskinan, meningkatkan perlindungan lingkungan, bijak dalam pemanfaatan sumber daya alam, memperdalam kepercayaan pada pemerintahan dan administrasi publik.
Beragam lembaga penyedia layanan publik milik pemerintah hendaknya berkaca dari pengalaman masa lalu, saat banyak kritikan diarahkan untuk perbaikan kualitas pelayanan publik. Lembaga-lembaga pemerintah selalu kedodoran dalam menyediakan pelayanan publik. Pengurusan KTP, Surat Izin Mengemudi (SIM), Izin Mendirikan Bangunan (IMB), sulitnya memperoleh layanan pendidikan yang mudah dan bermutu, layanan kesehatan yang tidak terjangkau oleh sebagian besar masyarakat, dan sebagainya, merupakan sebagian kecil dari contoh kesemrawutan pelayanan publik oleh pemerintah. Hal tersebut tentunya bertentangan dengan semangat reformasi yang sudah berjalan selama lebih dari satu dekade.
Faktor utama yang menjadi penghambat dalam pelayanan publik yang baik dapat dilihat dari dua sisi, yakni birokrasi dan standar pelayanan publik. Sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam tubuh pemerintahan negara Indonesia pada semua jenjang dan jenisnya memiliki sturuktur birokrasi yang panjang, gemuk, dan berbelit. Akibatnya, urusan di lembaga penyedia layanan publik menjadi  berbelit-belitnya dan membutuhkan waktu yang lebih lama serta biaya tinggi. Selain itu, ketiadaan standarisasi pelayanan publik yang dapat menjadi pedoman bagi setiap aparat pemerintah adalah sisi lain yang menjadi kelemahan pemerintah dalam memberikan pelayanan publik yang baik. Indonesia sebagai sebuah negara besar yang sedang membangun, harus menyadari jika kebutuhan pelayanan publik yang baik dan berkualitas adalah mutlak.
Di era informasi, pelayanan publik mengahadapi tantangan yang sangat besar. Hal ini berkaitan dengan relasi antara negara dengan pasar, negara dengan warganya, dan pasar dengan warga. Dahulu, negara memposisikan dirinya sebagai pihak yang paling dominan dalam pelayanan publik. Pasar dan warga negara mau tidak mau harus menerima kondisi pelayanan publik yang tersedia. Tidak sedikit warga negara yang merasa kecewa dengan pelayanan publik yang berpihak pada golongan tertentu, komunikasi yang dibangun oleh aparat penyedia layanan tidak ramah dan cenderung berbelit-belit (tidak efektif).  Seiring dengan perkembangan jaman dan logika, kondisi pelayanan publik yang disediakan mendapat kritikan dari berbagai pihak untuk memperbaiki kualitas komunikasi dan pengelolaan pelayanannya, mengingat tidak semua warga negara dapat menikmati aksesibilitas pelayanan publik yang efektif. Padahal sebagai amanat perundangan, pelayanan publik seharusnya menyentuh semua lapisan tanpa terkecuali dan tetap menjaga etika pelayanan.
B.Adopsi E-Government System
Di hampir semua negara maju di Amerika dan Eropa, pelayanan publik telah mengandalkan teknologi komunikasi dan informasi. Artinya, semua proses layanan publik dapat diakses oleh seluruh warga negara secara terintegrasi dengan cepat. Sistem layanan tersebut dikenal dengan sebutan e-government system. Tujuan besar penerapan e-government system adalah untuk menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik, dimana layanan pemerintahan bersifat transparan, akuntabel, dan bebas korupsi. E-government system pada hakikatnya merupakan proses pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi sebagai alat untuk membantu jalannya sistem pemerintahan dan pelayanan public yang lebih efektif dan efisien (Sosiawan, 2008). Dalam penyelenggaraannya, e-government system mengacu pada dua hal, yaitu penggunaan teknologi informasi yang memanfaatkan jaringan internet dan terbangunnya sebuah sistem baru dalam tata kelola pemerintahan. Namun sayangnya, selama ini penafsiran penggunaan teknologi elektronik hanya sebatas alat manual dengan komputer sebagai sarana pelayanan di lembaga penyedia layanan publik.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan, diperlukan suatu sistem komunikasi agar terjalin komunikasi efektif dan memiliki makna yang mampu mengarahkan pencapaian tujuan pembangunan. Hal itu perlu sekali dilakukan karena proses pembangunan melibatkan berbagai elemen masyarakat.Buruknya citra pelayanan publik di Indonesia perlu berkaca pada populernya e-government system di Negara Barat. Maka tahun 2002, e-government system mulai diadopsi di Indonesia sebagai sebuah inovasi baru dalam bidang kepemerintahan. E-government system merupakan sebuah difusi teknologi, yang secara teoritis berartiproses tersebarnya suatu inovasi ke dalam sistem sosial melalui saluran komunikasi selama periode waktu tertentu (Rogers dan Shoemaker, 1987). Dalam kaitannya dengan sistem sosial, difusi juga merupakan suatu jenis perubahan sosial, yaitu proses terjadinya perubahan struktur dan fungsi dalam suatu sistem sosial. Ketika inovasi baru diciptakan, disebarkan, dan diadopsi atau ditolak masyarakat, maka konsekuensinya yang utama adalah terjadinya perubahan sosial.
Implementasi e-government system yang mendominasi di seluruh dunia saat ini berupa integrasi data kependudukan secara nasional dan pelayanan pendaftaran warga negara antara lain pendaftaran kelahiran, pernikahan, kematian, penggantian alamat, dan perpajakan. Disinilah peran pemerintah sebagai koordinator utama untuk menciptakan lingkungan penyelenggaraan pemerintahan.Agar pelayanan publik berjalan lebih efektif, perlu ada dorongan pada pemerintah agar menyegerakan penerapan e-government system (Shalahuddin dan Rusli, 2005).
Pemerintah dapat memanfaatkan peluang dari teknologi yang digunakan dalam e-government system yaitu teknologi informasi dan komunikasi, mengingat kelak masyarakat memiliki alternatif dalam mengakses pelayanan publik secara tradisional maupun modern (Indrajit, 2002). Namun demikian, ada dua hal yang harus diperhatikan oleh pemerintah saat menerapkan e-government system, yaitu :
·Kebutuhan masyarakat menjadi prioritas utama dalam pelayanan pemerintah. Pemerintah seyogyanya tidak lagi memposisikan sebagai pihak yang dominan, tetapi mempertimbangkan posisinya sebagai penyedia layanan bagi masyarakat.
·Ketersediaan sumber daya, baik dari sisi warga negara maupun pihak pemerintah. Sumber daya dimaknai sebagai sumber daya manusia yang terampil dan ketersediaan sumberdaya teknologi yang merata.
C.Kesiapan Infrastruktur Dan Sumber Daya Manusia
Bukan sesuatu yang aneh jika masyarakat Indonesia masih gagap dengan perkembangan teknologi. Keberadaan teknologi baru digunakan sebatas untuk hal-hal yang bersifat hiburan, termasuk oleh para aparat pemerintah. Dalam Information Seeking Theory yang diungkapkan Donohew dan Tipton (dalam Badri, 2008), penerimaan seseorang atau sekelompok masyarakat pada teknologi terjadi secara bertahap, yaitu tahap pencarian, penginderaan, dan pemrosesan informasi. Ketiga tahap ini berakar dari pemikiran psikologi sosial tentang sikap manusia. Secara tidak sadar, orang cenderung untuk menghindari informasi yang tidak sesuai dengan gambaran nyata suatu informasi atau teknologi, karena kedua hal itu bisa saja membahayakan.
Di Indonesia, rata-rata penduduknya masih sangat awam pada perkembangan dan inovasi tekologi. Akibatnya pembangunan yang merujuk pada penemuan dan aplikasi inovasi sering berjalan lambat karena proses yang pertama kali harus dilakukan adalah memberikan pemahaman pada pemanfaatan teknologi baru. Tidak berhenti sampai disitu. Mengingat pada kehidupan masyarakat pedesaan atau tempat-tempat yang jauh dari ibukota negara dan yang masih sangat tradisional, penolakan pada teknologi teramat besar.
Sebagai negara berkembang (The Third World), pemanfaatan aplikasi e-government system di Indonesia sebenarnya tidak termasuk menggembirakan. Padahal pemerintah sudah berusaha untuk merumuskan beberapa peraturan perundangan terkait dengan teknologi informasi, seperti Inpres No. 6 tahun 2001 tentang Pengembangan dan Pendayagunaan Telematika di Indonesia dan Inpres No. 3 tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan e-Government.
Dibandingkan dengan negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia, tampak sekali bahwa aplikasi dan implementasi e-government system di Indonesia masih tertinggal. Saat ini sebenarnya perangkat perundangan mengenai e-government system di Indonesia sudah cukup lengkap (Kumorotomo, 2008). Melalui Inpres No. 3 tahun 2003 tentang Strategi Pengembangan E-Government telah memandatkan :
·Pengembangan sistem pelayanan yang andal dan terpercaya serta terjangkau oleh masyarakat luas.
·Penataan sistem manajemen dan proses kerja pemerintah pusat dan pemerintah daerah secara holistik.
·Pemanfaatan teknologi informasi secara optimal.
·Peningkatan peran-serta dunia usaha dan pengembangan industri telekomunikasi dan teknologi informasi.
·Pengembangan sumberdaya manusia di pemerintahan dan peningkatan e-literacy masyarakat.
·Pelaksanaan pengembangan secara sistematis melalui tahapan yang realistis dan terukur.
Ada permasalahan kompleks yang dihadapi dalam penerapan penerapan e-government system untuk perbaikan tata kelola pemerintahan. Masalah utamanya adalah resistensi dan kebimbangan saat menyikapi adanya inovasi baru untuk mendobrak kebiasaan lama. Kumorotomo (2008) merangkum dalam tiga aspek besar permasalahan dalam penerapan e-government system, yaitu :
1.Aspek Budaya
·Resistensi dan penolakan dari masyarakat dan jajaran aparat pemerintah terhadap e-government system.
·Kurangnya kesadaran pada manfaat dan penghargaan terhadap teknologi yang dipergunakan dalam e-government system.
·Keengganan berbagi data dan informasi, agar terintegrasi secara nasional di seluruh lembaga penyedia layanan publik.
2.Aspek Kepemimpinan
·Terjadi konflik kepentingan di tingkat pemerintah pusat dan daerah.
·Peraturan yang belum tersosialisasikan dan penerapannya belum merata.
·Pengalokasian anggaran untuk pembangunan infrastruktur pelayanan publik yang memanfaatkan e-government system dalam APBN / APBD belum menjadi prioritas.
3.Aspek Infrastruktur
·Adanya ketimpangan digital yang mengakibatkan belum meratanya ketersediaan infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi, mengingat secara geografis wilayah Indonesia tersebar di berbagai kepulauan.
·Ketersediaan infrastruktur untuk pengadaan teknologi informasi dan komunikasi masih terpusat di kota-kota besar. Tenaga ahli di daerah terpencil pun masih sangat jarang, jika tidak mau dikatakan tidak ada.
·Sistem layanan publik di Indonesia tidak memiliki standar yang baku. Hal ini menghambat pengintegrasian data kependudukan dan dokumen warga negara lainnya secara nasional.
D.Tantangan Pengembangan E-Government System
Sudah saatnya pelayanan publik berorientasi pada pemenuhan kebutuhan masyarakat dan terintegrasinya data kependudukan untuk mempermudah pengurusan dokumen dan layanan publik lainnya. Apabila pelayanan yang dilakukan menggunakan perspektif masyarakat sebagai pelanggan, maka keikutsertaan masyarakat sebagai pihak pengontrol tata kelola pemerintahan merupakan legitmasi dari masyarakat.Pelayanan yang berkualitas tidak hanya untuk lembaga penyelenggara jasa komersial (swasta), tetapi sudah harus merembes ke lembaga-lembaga pemerintahan yang selama ini resisten terhadap tuntutan akan kualitas pelayanan publik (Trilestari, 2004).
Tujuan besar dari penerapan e-government system adalah untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik. E-government system dapat mendorong terwujudnya tata kelola pemerintahan yang transaparan, akuntabel, bebas korupsi, ramping birokrasi, dan meningkatkan partisipasi warga negara dalam kontrol penyelenggaraan pemerintahan. Pelayanan publik yang baik, efektif, dan efisien, dapat menjadi tolok ukur keberhasilan pembangunan di suatu negara. Mungkinkah hal tersebut terjadi di Indonesia? Jawabannya sangat mungkin. Pemerintah perlu menyediakan secara proporsional tenaga ahli di bidang teknologi informasi dan komunikasi dalam tubuh lembaga pemerintahan dan penyedia layanan publik, serta menjembatani kesenjangan aksesibilitas teknologi di seluruh wilayah Indonesia.
Lingkup pengembangan e-government system mencakup skala nasional. Maka diperlukan kerangka komunikasi antar sistem e-government di daerah untuk saling berhubungan dan saling bekerjasama. Dalam implementasinya, perlu ada mekanisme komunikasi baku antar sistem, sehingga masing-masing sistem aplikasi dapat saling bersinergi untuk membentuk e-government services yang lebih besar dan kompleks.
Semenjak 2004, pemerintah melalui Departemen Komunikasi dan Informatika telah membuat blue-print untuk pengembangan aplikasi sistem e-government. Dalam lembar cetak biru tersebut telah dijelaskan bagaimana penggunaan dan pengkoneksian jaringan di tingkat daerah maupun pusat. Hal-hal yang sudah tertuang dalam blue print itu seyogyanya dapat dimanfaatkan oleh instansi pemerintah untuk menjawab tantangan pelayanan publik yang lebih modern dan efektif.
Implementasi e-government system di Indonesia masih separuh jalan dan masih jauh di bawah standar yang ideal dan yang diinginkan. Agar mencapai kondisi yang ideal, harus dilakukan penyempurnaan konsep dan strategi pelaksanaan e-government system dari berbagai sisi. Berkaca dari Kabupaten Sragen yang sudah menerapkan e-government system dalam penyelenggaraan pemerintahan dari tingkat Kabupaten hingga Desa, menjadi bukti jika teknologi informasi dan komunikasi dapat diterapkan di Indonesia dan menjadi sarana terpenting dalam perbaikan tata kelola pemerintahan.
*******
DAFTAR BACAAN
Badri, M. 2008. Kontribusi Teori-teori Komunikasi dalam Komunikasi Inovasi. Tapak maya : http://ruangdosen.wordpress.com/2008/09/10/kontribusi-teori-teori-komunikasi-dalam-komunikasi-inovasi/. Diakses pada 21 September 2011.
Heeks, Richards. 2003. Most eGovernment-for-Development Projects Fail: How Can Risks be Reduced? iGoverment Working Paper Series. Institute for Development Policy and Management, Manchester UK. Tapak maya: http://unpan1.un.org/intradoc/groups/public/documents/NISPAcee/UNPAN015488.pdf. Diakses pada 27 Juni 2012.
Indrajit, Richardus. 2002. Electronic Government. Penerbit Andi, Yogyakarta.
Kurniawan, Teguh. 2006. Hambatan dan Tantangan dalam Mewujudkan Good Governance melalui Penerapan E-Government di Indonesia. Prosiding Konferensi Nasional Sistem Informasi 2006. Penerbit Informatika, Bandung.
Kumorotomo, Wahyudi. 2008. Kegagalan Penerapan E-Government dan Kegiatan Tidak Produktif dengan Internet. Makalah Kuliah. Tapak maya : http://kumoro.staff.ugm.ac.id/wp-content/uploads/2009/01/kegagalan-penerapan-egov.pdf. Diakses pada 23 November 2011.
Nasution, Zulkarimen. 1998. Komunikasi Pembangunan, Pengenalan Teori dan Penerapannya. Rajawali Pers, Jakarta.
Rogers, Everett M., dan Shoemaker, F.Floyd. 1987. Communication of Innovations.Terjemahan Abdillah HanafiMemasyarakatkan Ide-Ide Baru. Penerbit Usaha Nasional. Surabaya.
Salahudin, M. dan A. Rusli. 2005. Information Systems Planning for E-Government in Indonesia. Summerized Paper of The Second International Conference on Innovation in Information Technology (IIT’05). Tidak diterbitkan.
Sosiawan, Edwi Arief. 2008. Tantangan dan Hambatan Implementasi E-Government di Indonesia. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Informatika 2008. Tapak maya: http://repository.upnyk.ac.id/162/1/13_Tantangan_Dan_Hambatan_Dalam_Implementasi_e-Government_Di_Indonesia.pdf. Diakses pada 23 November 2011.
Stahl, Bernd Carsten. 2008. Empowerment Through ICT: A Critical Discourse Analysis of the Egyptian Policy. Tapak maya: http://www.tech.dmu.ac.uk/~bstahl/publications/2008_empowerment_through_ICT_hcc8.pdf. Diakses pada 14 Juni 2012.
Trilestari, Endang Wirjatmi. 2004. Keikutsertaan Masyarakat dalam Membangun Kualitas Pelayanan Publik. Jurnal Ilmu Administrasi Vol. 1 No. 1 tahun 2004. STIA LAN, Bandung.
Perhimpunan Pendidikan Demokrasi. 2008. Etika Pelayanan Publik di Indonesia. Buletin Konstelasi edisi ke-11, Maret 2008. Diterbitkan oleh Perhimpunan Pendidikan Demokrasi. Tapak maya : http://www.p2d.org/index.php/kon/28-11-maret-2008/140-etika-pelayanan-publik-di-indonesia.html. Diakses pada 3 Januari 2012.
_________. 2004. Blue Print Sistem Aplikasi E-Government. Departemen Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. Tapak maya: http://pkpba.uin-malang.ac.id/files/BLUE%20PRINT%20SISTEM%20APLIKASI.pdf. Diakses pada 27 Juni 2012.
________. 2009. Undang-undang Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Lembar Negara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H