Di saat yang sama, Aruna merasa semakin jauh dari identitas keyakinannya. Bahkan pernah sesekali ia hampir meninggalkan shalatnya. Aruna sadar, bahwa menjadi berbeda diantara semua orang disekitarnya tidaklah mudah.
Satu malam, Berlin mengajak Aruna untuk menghadiri perayaan besar yang banyak orang akan mengonsumsi alkohol dan berjoget ria. Meskipun berlin tidak memaksa, Aruna merasa ada dorongan kuat untuk diterima dilingkungannya. Hal itu membuat Aruna bimbang.
Di titik inilah, Aruna merasa terombang-ambing imannya. Antara keinginan untuk diterima oleh masyarakat disekitarnya dan keinginan untuk mempertahankan agamanya.
Suatu pagi, di puncak kegundahannya,Aruna duduk sendirian di sebuah kursi taman. Angin damai meniup hijabnya saat merenung dalam diam. Di tengah kegundahan itu, seorang pria datang menghampiri Aruna.
"Assalamu'alaikum", sapa pria tersebut dengan tersenyum ramah.
Aruna yang sedang sibuk melamun pun kaget dan spontan menjawab "Eh, Wa'alaikumsalam".
"Are you Muslimah from Indonesia?" tanya pria tersebut dengan bahasa Inggris beraksen Indonesia. Aruna mengangguk.
"Yes, I from Indonesia", jawab Aruna.
"Perkenalkan, saya Kayyis, saya juga seorang Muslim dari Indonesia", ucap pria tersebut tiba-tiba beralih menggunakan bahasa Indonesia dengan lancar.
Mendengar ucapan pria tersebut, ada rasa senang dalam hati Aruna. Pasalnya, ia tidak pernah bertemu dengan saudara seimannya di sini. "Saya Aruna" jawab Aruna, tersenyum kecil.
Setelah perkenalan singkat, Kayyis menjelaskan bahwa ia bagian dari komunitas Muslim kecil di Chicago. "Kami sering mengadakan kajian-kajian Islami untuk menguatkan iman. Dan kebetulan sekali, saya sedang mencari saudara-saudara kita di sini yang mungkin membutuhkan dukungan," jelasnya dengan ramah.