UNDAGI 2025 memasuki hari ke-6 telah dikunjungi lebih dari 3000 an pengunjung. Ini menarik untuk dibincangkan. Baik masyarakat umum, mahasiswa atau siswa menampakkan antusiasnya melihat karya kriya yang sedang dipamerkan dalam UNDAGI 2025. Ini karena ada beberapa agenda UNDAGI 2025 yang menjadi magnet bagi para pengunjung, yaitu (1) Tour Gallery, yaitu kunjungan yang dipandu oleh Kurator pameran, kemudian (2) Wicara UNDAGI #1 berbentuk Artist Talk, mengundang kriyawan senior Pambudi Sulistyo dan Ki Mujar Sangkerta. Lalu (3) Wicara UNDAGI #2 Artist Talk yang menghadirkan Nara Sumber Kriyawan Batik Senior, Dudung Alisyahbana dari Pekalongan, Rudi Hendriatno (kriyawan Kinetik Padang), dan Dedi Sofianto (kriyawan kinetik Yogyakarta).
Dunia seni kriya yang sepertinya biasa saja, ternyata menyimpan banyak hal yang dapat menstimulasi fikiran kita untuk bertanya, membedah dan membincangkannya. Mulai dari kreativitas kriyawan, perdebatan istilah Kriya dalam ranah Seni Rupa di Indonesia, sampai pada 'pola' bisnis dalam dunia seni kriya.
Kreativitas kriyawan tentu bergantung pada kelihaiannya dalam merespons perkembangan seni kriya. Ada yang dengan pola mengalir saja sesuai ide-ide kreatif yang muncul. Ada pula kreativitas yang muncul setelah melihat perkembangan melalui media sosial dan berbagai eksibisi. Ada juga kreativitas yang muncul dari kajian literatur yang ada. Di sinilah, dunia seni memang selalu memicu fikiran 'nakal' untuk selalu melahirkan karya-karya kreatif.
Kemudian tentang istilah "seni kriya" juga melahirkan perdebatan yang tak berujung kesimpulan. Sebagian pegiat kriya berpendapat bahwa kata "kriya" tidak dapat disamakan secara pas dengan "craft" (kerajinan) dalam Bahasa Inggris. Karena karya kriya dianggap mempunyai nilai lebih dari produk kerajinan. Dan Terkadang sebuah karya kriya harus melalui proses panjang, baik literasinya maupun nilai filosofi yang terkandung di dalamnya.
Dua istilah itu mempunyai konsekuensi masing-masing dalam ranah dunia industri apalagi dunia internasional, karena istilah "seni kriya" tidak dikenal di luar negeri. Mereka hanya mengenal "craft" (kerajinan). Lalu apa bedanya dengan seni murni (fine art)? Ada yang berpendapat, bahwa karya kriya bersifat ornamentik, sedangkan seni murni tidak. Nah lo..., Â seperti itulah perdebatan panjang yang tak pernah rampung, tapi asyik.
Belum lagi tentang dunia bisnis kriya yang penuh dengan problematikanya. Untuk mencapai "strata" tertentu dan dianggap karya itu berharga tinggi, harus melalui perjalanan panjang baik dari pengalaman berkaryanya sampai pada media eksibisinya di gallery maupun di event Art Fair.
Semua itu menjadi diskursus yang dibedah dalam UNDAGI 2025. Sehingga pameran ini menjadi ruang perbincangan, diskusi, dan perdebatan yang menambah pengetahuan kita tentang seni kriya. Dan yang lebih penting dari itu semua adalah menyiapkan generasi penerus seni kriya melalui transformasi pengetahuan dari para kriyawan kepada mahasiswa dan publik, agar mengerti dan siap membangun Indonesia melalui seni kriya. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H