Sabtu, 5 Oktober 2024. Siang itu dari rumah Bapak Sapuan, kami melanjutkan perjalanan ke workshop kriyawan yang menjadi target ke-2 dalam Curatorial Trip, yaitu Zaenuddin di sebuah kampung di Kedungwuni Pekalongan.
Setelah menelusuri lorong-lorong sempit, tibalah kami di workshop Zaenuddin, seorang kriyawan muda. Tampak sebuah rumah bergaya klasik Jawa, berdinding bata ekspose dengan gebyok ukirnya, nampak serasi dengan aktifitas membatik di dalamnya.
Setelah basa-basi sejenak, Β dan melihat beberapa pembatik yang sedang bekerja, lalu kami duduk di teras rumah itu sambil ngobrol tentang proses kreatifnya dan tentu terkait pula dengan Pameran UNDAGI 2025.
Zaenuddin, kriyawan yang sempat mengenyam bangku kuliah di Jogja itu kini menekuni dunia batik di kampung halamannya, Kedungwuni Pekalongan.
Berawal dari kegelisahannya melihat para pembatik di kampungnya yang mengalami degradasi. Padahal mereka ini yang secara turun-temurun telah mewarisi keahlian leluhurnya sejak jaman Oey Soe Tjoen, Batik legendaris di Kedungwuni Pekalongan.
Beberapa referensi sejarah menyebutkan; Batik Oey Soe Tjoen telah berdiri sejak tahun 1925, dan batik ini terkenal sebagai batik tulis halus peranakan paling detail, sehinga membutuhkan waktu tahunan untuk menyelesaikan satu lembar kain batik. Harganya pun mencapai puluhan, bahkan ratusan juta.
Maka dengan tekad untuk merawat dan mewarisi keahlian para pembatik itu, Zaenuddin mengakomodasi 11 orang pembatik untuk bekerja di workshopnya agar keahlian mereka tidak punah, dan dapat mempertahankan motif batik kedungwuni yang halus tersebut, dengan cara menaikkan upahnya.
Semua itu ia lakukan untuk mempertahankan dan melestarikan batik khas Kedungwuni. Tak hanya itu, Zaenuddin juga mengembangkan design baru khas Kedungwuni untuk dikenalkan dan dipasarkan kepada masyarakat luas, terutama pecinta batik.
Zaenuddin merasa senang dikunjungi tim UNDAGI 2025, yang menjadi stimulus dan menambah spirit bagi para pembatik untuk berkarya lebih baik.
Di tangan kriyawan muda, saya yakin, batik dapat berkembang dengan 'liar', dengan ide-ide kreatif yang segar. Karena batik tak sekedar goresan canting di atas kain, tapi lebih dari itu dapat memuat pesan moral tentang kebersamaan, toleransi, alam semesta, dan kehidupan. Dan kriyawan muda pasti dapat membuat breakthrough (terobosan) untuk itu. Β ***
Semoga bermanfaat.
Sampai jumpa di Curatorial Trip selanjutnya... **"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H