[Puisi] "Macet", Ala Mbak Najwa

Kata "macet" sepertinya tak bisa dipisah dengan Jakarta. Di pusat Ibukota Negara ini, orang dari penjuru tanah air berkumpul mengais rejeki dan segudang aktifitas hidup manusia. 

Paradigma bahwa ibukota menjanjikan materi dan harta, telah tertanam di benak setiap kepala. Lantas, apa menjanjikan kebahagiaan pula? Nanti dulu, ya... 

Kata "macet" sepertinya sederhana, tapi membawa implikasi yang begitu luas yang kadang menyesakkan dada. 

Gara-gara macet, kita jadi terlambat meeting, padahal sangat penting. Tak bisa memenuhi janji pada kolega, teman atau saudara. Korban kecelakaan atau orang sakit jadi tak tertolong, dan mati sia-sia. Stressfikiran, dan muncul seabreg permasalahan yang ada. 

Macet membuat masalah kehidupan orang ibukota, dari tukang ojek hingga kepala negara. Untunglah, kita punya pemimpin yang suka berjalan kaki dan menerima dengan lapang dada, tapi tetap berusaha dengan kerja, kerja, dan kerja.

Mari kita semua mencari solusi. Tak cukup mengandalkan perda, apalagi menyalahkan polisi. Yang jelas perlu tahu diri, untuk tidak selalu menggunakan mobil pribadi. Nebeng teman atau saudara yang baik hati pun jadi. Dan tak perlu mobil pribadi menjadi alat gengsi. 

Macet kadang membuat hidup seakan diuber-uber, oleh waktu yang tak mengenal 'baper'. Bikin kepala pusing muter-muter.

Kata para ahli, jika terus begini, Jakarta akan total berhenti. Lalu, bagaimana kita nanti? 

Itulah ibukota, tak selamanya membawa keberuntungan dan bahagia. 

Jika sempat, datang saja ke desa. Di sana menjanjikan keramahan dan bahagia, tentunya. :)

***