Mohon tunggu...
Nurul Muslimin
Nurul Muslimin Mohon Tunggu... Dosen - Orang Biasa yang setia pada proses.

The all about creative industries world. Producer - Writer - Lecturer - Art worker - Film Maker ***

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Zaman Digital dan Kembalinya Zaman Analog bagi Musisi

10 Agustus 2017   06:18 Diperbarui: 10 Agustus 2017   10:52 1460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebetulnya ide tulisan ini muncul ketika saya sedang jalan-jalan melewati sebuah gedung yang dulunya adalah toko kaset dan CD. Mungkin satu atau dua tahun yang lalu. Waktu itu, tak sengaja saya menengok ke kiri dan ingat, bahwa dulu di sini ada toko kaset yang cukup terkenal di Jogja. Kok sekarang berubah fungsi? Ke mana ya?

Nah, rasa penasaran saya berlanjut. Kemarin ngobrol dengan seorang teman, dia komposer dan arranger musik. Topiknya tentang fenomena zaman digital, hak cipta dan kembalinya zaman analog. Cukup menarik menurut saya.

Masih ingat dalam pikiran saya, sekitar tahun '87, waktu itu masih sekolah MTs, di Kota Kretek, Kudus. Zaman itu harga kaset lagu-lagu Barat lebih mahal dibanding lagu-lagu Nasional (berbahasa Indonesia). Lagu-lagu kesukaan saya KLA Project, Ebiet G Ade, Iwan Fals, dan beberapa lagu lain. Waktu itu untuk membeli kaset-kaset itu, saya harus menyisihkan uang saku sekolah. Bagi saya itu sudah merupakan 'perjuangan' untuk anak kost seperti saya. Dan kaset-kaset itu menjadi barang yang cukup 'wah' untuk memanjakan telinga dengan lagu-lagu kesukaan saya. Saya yakin generasiku tahun-tahun itu juga mengalami hal yang sama.

s-l400-598b9361e3d584516147eeb2.jpg
s-l400-598b9361e3d584516147eeb2.jpg
Hobi yang sama berlanjut ketika SMA di Semarang, dapat pinjaman tape-recorder dari seorang teman yang bapaknya kerja di Pertamina. Kalau sedang ada uang lebih, untuk beli kaset. Waktu itu belum ada CD.

Waktu kuliah di Jogja pun melihat gemerlap toko kaset jadi pingin banget memborong kaset. Tapi apa daya anak kost? Hanya beli jika sedang ada uang lebih. Untuk nonton film pun waktu itu harus menyewa Video Player dengan ukuran mesin amplifier yang cukup besar untuk ukuran sekarang. Dengan cara iuran Rp. 1000,-an di antara teman-teman kost dan jadilah nonton film dengan media Kaset Video yang tebal, Video Player-nya juga tebal, bahkan jauh lebih tebal. Jika ada salah satu kaset yang pitanya erroratau rusak, pasti penonton ramai, bahkan tidak jarang pada ngumpat!

Itu sekilas pengalaman generasi 70-an seperti saya, yang menganggap kaset, CD dan karya-karya yang ada di dalamnya merupakan capaian teknologi puncak. Seakan-akan tidak ada lagi perkembangan teknologi baru lagi. Adanya perangkat-perangkat itulah sebuah karya dijaga hak ciptanya. Bagi seniman, khususnya musik, media-media itu seolah-olah menjadi harta yang begitu mahal yang dengan jalan apapun harus dijaga. Secara moral memang penjiplakan tidak dihalalkan, karena melukai hak penciptanya. Demikian juga pembajakan. Pembajakan sangat merugikan para penciptanya. Mafia pembajakan, bagi para seniman musik adalah penjahat sadis, karena 'membunuh' kehidupan para seniman. Siapapun pelakunya. 

Pada zaman itu sampai dengan era 2008-an, karya-karya yang menggunakan media kaset atau CD masih cukup bisa diandalkan untuk mendatangkan pundi-pundi keuntungan dari hasil penjualannya. Belum lagi maraknya RBT (Ring Back Tone) yang menjadi media baru (waktu itu) dalam menghasilkan pendapatan para seniman dan para bos Major Label. Perusahaan Mayor Label saat itu seakan-akan menjadi 'dewa' yang harus di'sembah' oleh para kreator musik (seniman). Bagaimana tidak, grup-grup musik saat itu berlomba-lomba sangat ketat dalam menembus tebalnya 'tembok' perusahaan bernama Major Label. 

Saya pernah ngobrol dengan salah satu tim manajemen sebuah grup musik legendaris di negeri ini (gak usah saya sebutkan yaa...), bahwa Perusahaan Major Label (waktu itu) seolah-olah menjadi 'raja'. Bagaimana tidak, setiap hari banyak masuk kaset/CD demo dari berbagai penjuru tanah air untuk berkompetisi menembus Major Label, menjalin kontrak, dan (berharap) tenar! Sehingga kadang-kadang tak masuk akal pola seleksinya. Kadang tanpa didengarkan, sebuah kaset/CD di buang di tempat sampah gara-gara sampul kaset demo-nya dianggap jelek, atau nama grup band-nya kelihatan jelek dan norak (menurut dia/Major Label).

Ini yang membuat seniman acap kali geram, gemes, pingin marah, lalu pada siapa? Kan mereka dikuasai oleh orientasi industri? Ya bagaimana lagi? Kepentingan industri yang notabene profit oriented telah membelenggu mereka. Hanya uang dan uang yang ada dalam fikirannya. Kalau sampai Major Label tertarik pun, tidak jarang grup musik "dipaksa" untuk diubah, bahkan dirombak; bisa aransemen lagunya, liriknya, bahkan bisa nama grup musiknya. 

Kembali dengan alasan kemauan industri. Menurut saya sih sah-sah saja, toh di sana ada simbiosis mutualisme. Tapi tak jarang terkesan memaksakan kehendak, untuk tidak mengatakan arogan. Nah, di sinilah idealisme seniman musik diuji. Sejauh mana dia kekeuhpada idealismenya. 

Sekarang waktu telah berjalan kian jauh, tanpa ada yang mampu menghentikan detak jam. Zaman telah bergeser dari pola analog kepada era digital. Kaset dan CD seperti tak ada tempat lagi di kalangan penikmatnya. Emang masih ada yang memakai kaset atau CD? Seandainya ada paling dalam hitungan jari, kecuali memang orang-orang yang rindu dengan pola hidup masa lalu. 

Era sekarang zamannya download, Bung! Karya-karya musik, bahkan film dengan mudahnya bisa didownload di internet. Seandainya orang membeli hasil download pun dengan mudahnya di-share via media sosial, grup WA, bluetooth dan media lainnya. Maka produk kreatif digital ini menjadi seperti barang gratisan yang bisa didapat dengan sangat mudah! 

Gambar: www.music.virginia.edu
Gambar: www.music.virginia.edu
Lalu bagaimana nasib para seniman kreatornya? Mungkin akan kembali pada zaman sebelum Graham Bell (lahir 3 Maret 1847) menemukan piringan hitam. Seniman musik akan mendapatkan kontraprestasi atas jasa permainan musiknya ketika dia secara livememainkan alat musiknya. Seperti era Ludwig van Beethoven (1770-1827) atau era Mozart (1756-1751). Dan sepertinya tak ada gunanya untuk direkam dalam media kaset atau CD. Karena seperti saya katakan di depan, karya musik akan menjadi barang gratisan yang mudah disebar begitu saja di media media internet. Dan pelacakan terhadap kejahatan pembajakan via media ini seakan sia-sia.

Nah, di sinilah, seniman harus rela kembali pada pola hidup zaman klasik, di mana jika ingin mendapatkan penghasilan dari karya-karyanya, harus mengeluarkan energi ekstra dalam mengikuti kegiatan pentas musik (pertunjukan off air), tanpa berharap banyak dari penjualan kaset, CD ataupun RBT (Ring Back Tone).Dan ketika karya musiknya direkam dan tersebar di dunia maya, mau tidak mau, suka tidak suka mereka harus rela. Atau jika ingin hidup tenang, seniman harus ikhlas karya-karyanya dinikmati banyak orang tanpa memberikan kontraprestasi, dan menganggapnya ini sebagai amal kebaikan untuk bekal di akhirat. 

Dan saya yakin, seniman sejati bukanlah pedagang yang berbinar-binar ketika melihat tumpukan rupiah ataupun dollar, mereka ikhlas dan bahagia ketika diapresiasi oleh publik. Ini yang saya katakan Kembalinya Zaman Analog bagi musisi. ***

Wallahu a'lam.
Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun