Melihat kesibukan panitia Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) ke-29 tahun ini, mengingatkan saya pada 17 tahun yang lalu. Waktu itu saya ikut menjadi panitia FKY ke-12 tahun 2000. Tahun ini FKY telah berusia 29 tahun. Sebuah usia yang tidak lagi anak-anak ataupun remaja, tapi telah menginjak dewasa, dari sisi apapun.
Di sini saya hanya ingin sharing sedikit tentang hal yang menjadi catatan saya waktu itu. Tentu bagi saya, seorang pendatang dari luar Jogja yang dipercaya untuk menjadi bagian cukup penting di kepanitiaan FKY adalah sebuah kehormatan. Dan saya senang ketika bisa berkenalan dengan para seniman Jogja yang sangat kreatif, bisa silaturrahim, belajar dan berguru pada mereka.
Saat itu mungkin saya masih mempunyai idealisme yang cukup tinggi. Sebagai Koordinator Seminar, sebetulnya tidak ada keharusan untuk membuat event seminar dengan scoop nasional. Tapi mungkin saya agak memaksakan diri untuk membuat sebuah Seminar Nasional. Event seminar atau diskusi seni yang biasanya diselenggarakan di tempat sederhana, sambil lesehan, tapi saat itu saya mencoba untuk menyelenggarakan di sebuah Hotel Bintang 5, bak seminar nasional pada umumnya. Sebetulnya bukan untuk wah, karena menurut saya tempat di manapun sama saja, yang penting hasil dari seminar itulah yang menjadi substansi, dan itu jauh lebih penting.
Saat itu saya mengambil tema, kalau tidak salah "Jogja Never Ending Asia di tengah Keanekaragaman Seni & Budaya". Mengapa saya ambil tema itu. Karena waktu itu sedang hangat-hangatnya slogan "Jogja Never Ending Asia". Dengan harapan, bahwa slogan itu akan ter-publish secara baik dan menjadi kajian yang menarik.
Saat itu saya mengundang beberapa pembicara yang cukup representatif. Ada Ngarsa Dalem Sri Sultan Hamengku Buwono X sebagai penggagas slogan "Jogja Never Ending Asia", tapi karena berhalangan beliau tidak bisa hadir. Kemudian ada Pak Hermawan Kartajaya, seorang marketter dari MarkPlus dan pengkaji slogan itu, kebetulan beliau juga berhalangan hadir.Â
Sedangkan pembicara yang hadir waktu itu adalah Pak Darmanto Jatman (alm), budayawan dari Semarang. Kemudian ada Mas Nano Riantiarno, aktor dan pendiri Teater Koma, dan Mas Ulil Abshar Abdalla, aktifis NU. Sedangkan Moderatornya adalah Mas Sumbo Tinarbuko, dosen Institut Seni Indonesia Yogyakarta.
Saya tidak akan membahas tentang tema seminar itu di sini. Saya hanya mengenang saja. Semoga menjadi catatan sejarah untuk FKY, dan bisa menjadi referensi dan pengalaman yang bisa diambil hikmahnya untuk teman-teman penyelenggara FKY mendatang.
Beberapa catatan saya tentang FKY di antaranya adalah:
1. Penyelenggara
Waktu itu masih ada semacam dikotomi antara penyelenggara FKY oleh seniman atau bukan. Meskipun ini tidak tersurat dalam sebuah diskusi terbuka, namun di beberapa obrolan, kadang muncul dan dibicarakan.
Ada yang berpendapat, jika seniman terlibat dalam kepanitiaan FKY, maka pekerjaannya tidak/kurang tertata secara baik. Seniman mestinya ditempatkan pada tempatnya, yakni sebagai kreator. Sebaliknya, ada juga yang berpendapat, bahwa seniman bisa saja menjadi panitia dalam FKY, karena merekalah yang mengerti dunia seni yang digelutinya.
Dulu memang banyak bidang seni yang di-handle oleh seniman yang berkompeten di bidangnya. Seniman Teater di bidang teater, seniman perupa meng-handle bidang seni rupa, dan bidang-bidang lain juga begitu.
Nah, sekarang ini ada studi Tata Kelola Seni, dan mahasiswa-mahasiswa ini yang telah ditempa dengan pola kerja event seni. Saya kira lebih pas jika kepanitiaan FKY ditangani oleh para pekerja seni atau teman-teman yang biasa menangani event seni, dengan catatan mereka didampingi oleh seniman sebagai steering committee.
Tentu event apapun ada plus-minus-nya. Belum tentu event seni akan lebih baik jika ditangani seniman langsung. Begitu juga sebaliknya, event seni belum tentu buruk jika ditangani oleh panitia yang bukan seniman. Menurut saya bergantung kapasitas masing-masing penyelenggara.
Saya kira seniman akan lebih elegan dan pas jika didudukkan pada steering comittee. Mereka yang akan mengarahkan teman-teman organizer (panitia) dalam hal konten, tematik, dan bentuk-bentuk penyajian dan kemasan yang akan ditampilkan dalam FKY.Â
Sedangkan eksekutor dan pelaksana teknisnya, biarlah teman-teman panitia (organizer) yang mengerjakan. Dengan pola seperti ini saya yakin seniman akan lebih maksimal dalam eksplorasi karya dan kemasan yang akan dimunculkan dalam sajian FKY.
2. Venue
Pembukaan FKY biasanya diadakan di Titik Nol Kota Jogja oleh Gubernur Sri Sultan Hamengku Buwono X, dan dilanjutkan pawai seni (Karnaval) di Jalan Malioboro Yogyakarta. Sampai saat ini pun masih di situ. Memang tempat ini cukup strategis. Banyak pengunjung dari luar kota Jogja yang bisa menikmati. Sedangkan Pusat Venue FKY biasanya disamakan dengan tempat di mana Pasar Seni diadakan.Â
Di pasar seni inilah FKY menjadi pusat dan tempat konsentrasi kegiatan FKY diadakan. Dulu waktu FKY tahun 2000-2001 kegiatan Pasar Seni (pusat kegiatan FKY) ada di Benteng Vredeburg. Dan beberapa tahun selanjutnya juga masih di tempat ini. Dulu, tempat ini mungkin masih dianggap representatif, karena terletak di jantung Kota Yogyakarta dan pusat keramaian. Tapi sekarang masalah parkir dan kemacetan lalu-lintas menjadi sangat mengganggu.
Pada perkembangan selanjutnya pasar seni pernah diadakan juga di Pasar Ngasem. Masih tergolong di Pusat Kota Jogja, dekat dengan Kraton, dan merupakan daerah destinasi wisata. Sangat strategis juga, sih. Tapi mengalami kendala yang sama dengan venue sebelumnya, yakni masalah kemacetan. Tempat parkir menjadi kendala utama juga.
Tahun kemarin FKY pindah lagi di Taman Kuliner Condong Catur Sleman (Jogja bagian Utara). Tempatnya agak leluasa jika dibanding Pasar Ngasem, tapi dari sisi keamanan agak riskan. Karena pasar seni FKY banyak memajang benda-benda seni, dan di tempat terbuka. Otomatis panitia juga merasa kurang aman, karena harus bertanggungjawab pada keamanan barang-barang yang banyak item-nya dan variatif.
Tahun ini FKY dihelat di Kompleks Pyramid Jalan Parangtritis km 5,5 Jogja (Jogja Bagian Selatan). Cukup strategis, cukup luas, parkir luas, fasilitas (Musholla, Toilet, Ruang Pamer, Ruang Pemutaran Film, Tempat Workshop, Kuliner) tersedia, dan lagi, dekat dengan Perguruan Tinggi Seni (ISI Jogja).Â
Mungkin ini tempat Pasar Seni FKY yang terasa paling ideal jika dibanding tempat-tempat sebelumnya. Di sini pun Ruang Pameran Seni Rupa bisa bersatu dalam satu lokasi, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, yang terpisah dari lokasi Pasar Seni.
Dari catatan ini, saya kira bisa menjadi PR (Pekerjaan Rumah) bagi pemerintah DIY untuk memikirkan tempat yang representatif untuk perhelatan tahunan seni seperti FKY ini. Jika tidak ada alternatif lain, Venue terakhir ini (Pyramid) tentu akan menjadi andalan perhelatan FKY di tahun-tahun mendatang.
3. Pembiayaan
Setahu saya, Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) sejak dulu di-support oleh dana Pemerintah DIY (APBD), melalui Dinas Kebudayaan DIY sebagai leading sector. Kalau dulu (2000-2001) dana sekitar 200 jutaan, untuk semua jenis kegiatan. Hal yang menjadi persoalan krusial waktu itu adalah pencairannya mendekati hari-H pelaksanaan FKY. Mungkin karena teknis pencairannya yang agak rumit, dari meja ke meja, harus tanda tangan sana-sini, jadi membutuhkan waktu yang lama.Â
Padahal persiapannya panitia paling tidak 4 bulan sebelumnya. Artinya selama persiapan, panitia harus menalangi dulu biaya operasional persiapan. Dan jika planning biaya acara melebihi biaya yang disediakan, panitia harus mencari sponsor untuk melengkapi kekurangannya. Ini yang menjadi masalah operasional.
Untuk tahun ini tentu dananya lebih banyak, karena ada Danais (Dana Istimewa). Persisnya saya kurang tahu, yang jelas perlu ada terobosan dari Pemerintah DIY, khususnya Dinas Kebudayaan dalam hal teknis pencairan dana tersebut, agar panitia tidak kelabakan dalam operasional persiapannya.
Satu hal lagi yang penting adalah pola penyusunan laporan pertanggungjawaban yang harus sesuai dengan peraturan pengelolaan dana pemerintah (APBD). Karena jika tidak sesuai standarnya, tentu panitia dan SKPD terkait akan mendapatkan masalah yang cukup pelik.
4. Sistem Pengelolaan dan Dokumentasi
Saya masih ingat waktu FKY tahun 2000, kalau tidak salah sekitar satu atau dua minggu setelah pelaksanaan FKY berakhir, ada semacam forum evaluasi kegiatan FKY yang diadakan di Hotel Galuh Prambanan. Sebagai pembicara waktu itu Mas Butet Kartaredjasa (tidak bisa hadir, tapi menitipkan tulisan pada panitia), Bapak Indramadji (Alm) (Kadin DIY), Mas Purwadmadi (Jurnalis & Pemerhati Budaya).
Ada beberapa point yang sempat saya catat waktu itu, di antaranya adalah:
a. Â Sistem pengelolaan FKY bisa dikatakan jalan di tempat, atau tidak beranjak maju, karena setiap dua tahun sekali ada pergantian penyelenggara (personil) yang menjadi panitia, dan tidak ada sebuah sistem pengelolaan yang bakuyang bisa diteruskan sebagai langkah maju dari kepanitiaan FKY yang lalu.Â
Waktu itu Mas Purwadmadi sempat membuat usulan sistem pengelolaan FKY dan dipresentasikan di dalam forum. Tapi menurut saya (waktu itu) terlalu rumit. Kemudian, apakah sistem itu dipakai dalam penyelenggaraan selanjutnya, saya sendiri kurang tahu persis.
b. Sistem dokumentasi FKY yang kurang utuh dan kurang tertib. Ini yang menyebabkan terputusnya pola pengelolaan yang baru dari pola lama, karena kurangnya referensi pada penyelenggaraan di tahun-tahun sebelumnya. Panitia yang baru, bekerja dengan miskin referensi untuk menyelenggarakan FKY. Dan untuk mendapatkan referensi yang cukup, harus menggali dari dokumentasi yang tersebar di beberapa divisi yang dulu terlibat dalam kepanitiaan.Â
Di samping itu, panitia saat itu terkotak-kotak sesuai dengan divisi masing masing, dan kurang terjalin komunikasi antar divisi, sehingga dokumentasi detail penyelenggaraan FKY ada di divisi masing-masing. Maka untuk mengantisipasi masalah seperti ini, sebaiknya pola dokumentasi terpusat dan dikoordinasi oleh satu divisi khusus dokumentasi. Sehingga setiap ada pergantian penyelenggara (panitia) yang baru, dokumentasi ini bisa menjadi bahan referensi yang baik untuk langkah maju ada penyelenggaraan tahun berikutnya.
Setiap penyelenggaraan FKY, saya yakin ada beberapa celah yang bisa dikritisi. Tentu ada lebih dan kurangnya di sana-sini jika kita cermati. Tapi sebagai warga Jogja yang bermartabat, saya kira akan lebih elegan jika kritik disampaikan secara elegan pula. Artinya, kritik dan evaluasi tentang kegiatan FKY hendaknya dilakukan secara baik, bertujuan untuk membangun, dengan referensi yang jelas, runtut dan disampaikan dengan etis.
Itu sedikit catatan saya tentang FKY, hasil dari bongkar-bongkar memori yang telah 17 tahun terpendam dalam catatan. Tentu banyak hal yang tidak terbahas di sini. Karena 10 tahun lebih saya tidak mengikuti perkembangan kegiatan ini. Jika ada yang salah mohon dikoreksi.
Wallahu a'lam
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H