Mohon tunggu...
Nurul Muslimin
Nurul Muslimin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Orang Biasa yang setia pada proses.

Lahir di Grobogan, 13 Mei 1973

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Mengapa Produksi Film Perlu Riset?

27 Juli 2017   07:59 Diperbarui: 27 Juli 2017   09:45 3552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto adegan film Zootopia (businessinsider.com)

mBah Kamus Oxford mengatakan; riset (research) adalah the systematic investigation into and study of materials, sources, etc., in order to establish facts and reach new conclusions.Dalam terjemahan bebasnya, Orang Jawa mengatakan: Riset adalah (upaya) penyelidikan dan mempelajari secara sistematis terhadap obyek, sumber-sumber (obyek), dan lain-lain untuk membuktikan fakta dan mencapai kesimpulan yang baru. Bentar, mesti situ (kamu) tanya, kokorang Jawa? Lha, kan aku Wong Jowo? Hmmm...

Jadi gini, Riset dalam sebuah produksi film pada dasarnya bergantung pada kebutuhan film itu sendiri. Terutama pada tingkat kedalaman risetnya. Idealnya film apapun tetap menggunakan riset, karena untuk mendukung nilai film itu sendiri. Meskipun tidak ada film yang sempurna seperti realitas hal yang difilmkan. Pasti ada reduksi di sana-sini.

Film tentang perilaku orang gila, diperlukan riset tentang kehidupan orang gila beneran, baik di jalanan ataupun di Rumah Sakit Jiwa. Film tentang dunia hewan, diperlukan riset tentang karakter hewan. Bahkan film animasi keluaran Disney berjudul Zootopia, yang telah dirilis di bioskop Indonesia tahun kemarin (2016), melakukan riset tentang kehidupan hewan sampai 18 bulan! Film Animasi yang disutradarai oleh tiga sineas berpengalaman Disney, Byron Howard(sutradara film Tangled), Rich Moore(sutradara film Wreck it Ralph), dan Jared Bush(salah satu tim kreatif film Big Hero 6) ini melakukan riset mulai dari karakter hewan, cara jalannya, sampai dengan jenis dan karakter bulu-bulu hewan itu, termasuk karakter gerakan daun-daunan di setting film itu. Jelas kelihatan, bahwa film ini ingin menunjukkan karakter asli dari hewan-hewan yang difilmkan itu.

Idealisme Disney dalam membuat film memang tak diragukan. Dan mereka, para film maker-nya menempatkan riset pada posisi krusial(penting). Meskipun kadang orang menganggapnya itu sebagai proyek gila! Dalam konteks dunia kreatifitas, khususnya film fiksi, sebetulnya mereka sah-sah saja jika tidak melakukan riset terlalu mendalam untuk film ini. Tapi kembali kepada idealisme masing-masing, dan tentu kocek masing-masing. Sepertinya Indonesia belum sampai di situ, deh! Karena betapa akan menghabiskan dana banyak jika riset saja sampai 18 bulan??? Emang ada produser Indonesia yang mau??? Hmmm...

Film dokumenter dan film sejarah sangat mutlak untuk dibuat riset yang mendalam. Terkait dengan sumber-sumber sejarah, saksi-saksi sejarah, bukti-bukti peristiwa sejarah, gaya bahasa yang digunakan, benda-benda atau artefak-artefak peninggalan sejarah, dan semua yang terkait dengan peristiwa sejarah yang kita film-kan. Karena film sejarah adalah sebuah potret sebuah peristiwa sejarah. Begitu luasnya cakupan sebuah sejarah jika kita mau menggali. Kadang film maker bisa terjebak pada ke-asyik-an dalam menggali sejarah. Akhirnya pada tahap penangkapan materi (capture)sebuah peristiwa sejarah mereka bingun, mana yang akan dijadikan materi film? Seperti yang dialami oleh Hanung Bramantyo ketika sedang menggarap Film "Kartini". Dia hanya fokus pada kehidupan Kartini pada usia 14 sampai dengan 22 Tahun. Dalam konteks ini aku sepakat, karena menurutku pesan film bisa diambil dari secuil sejarah yang kita fokus mencermatinya. Dan itu lebih baik jika dibanding dengan penangkapan materi film dari pengembaraan pada alur sejarah yang terlalu panjang dan melelahkan. Malahan bisa bikin kita tidak fokus. Ya, ndak Bung/Jeng?

Film dokumenter sangat membutuhkan riset yang dalam. John Grierson, film maker kelahiran Scotland mengatakan; film dokumenter adalah 'creative treatment of reality'. Meski demikian, menurutku jangan lantas kita terjebak pada kebebasan kreatifitas dalam film dokumenter. Tetap ada aturan main di sana (rule of the game); bahwa ada kewajiban para film maker untuk menampilkan obyektifitas atas realitas obyek yang difilmkan. Meskipun tetap akan menampakkan unsur subyektifitas atas sudut pandangnya masing-masing. Mengapa? Karena ada unsur kebenaran historis dan kebenaran logis yang harus dipertanggungjawabkan di depan pemirsa (audience) kita. Apalagi menyangkut data. Oleh karena itu dibutuhkan upaya sistematis untuk mendapatkan, merangkai dan mengalanisa obyek yang akan kita angkat dalam film dokumenter.

Jika kita menginginkan sebuah film yang ideal, tentu riset menjadi tahap yang tidak bisa kita tinggalkan. Karena riset menjadi bahan untuk menemukan kebenaran historis, sekaligus logis, dan kebenaran etis. Opo meneh kuwi?Di minum dulu kopinya Bung, biar nggak tegang... hmm.

Riset film pada hakekatnya untuk memenuhi kebutuhan sebuah film pada:

1. Kebenaran Historis

Kebenaran Historis terkait pada kenyataan yang sebenarnya terjadi. Artinya peristiwa yang difilmkan memang terjadi pada suatu waktu tertentu dan di tempat tertentu. Ini berarti, jika sebuah film mengatasnamakan film dokumenter sejarah, tapi menampilkan sebuah peristiwa ataupun tokoh penting yang tidak ada dan tidak terjadi dalam sejarah, berarti film ini tidak memenuhi kebenaran historis. Karena sejarah merupakan peristiwa yang terbingkai dalam suatu waktu dan ruang tertentu. Oleh karena itu dalam film dokumenter sejarah sangat mutlak untuk dilakukan riset yang komprehensif. Jika tidak, film sejarah ini tidak saja sebagai film 'fiksi', tapi menjadi sebuah pembelokan sejarah. Jika demikian, maka kebenaran historis, kebenaran logis dan kebenaran etis juga tidak terpenuhi. Apalagi pembelokan sejarah telah melukai pihak-pihak yang mungkin berbeda visi. Film 'dokumenter sejarah' seperti ini bisa diindikasikan sebuah framing,bahkan propaganda. Lebih parah lagi --dalam bahasa kekinian-nya---adalah Hoax!

Munculnya film fiksi sejarah menjadi fenomena lain. Menurutku drama fiksi yang mengemas dalam film fiksi sejarah tetap dibatasi pada sejauh mana dia tidak ada pembelokan pada peristiwa sebenarnya. Artinya main story-nya adalah fiksi, tapi bingkai waktu dan setting ruangnya adalah sejarah yang bertujuan sebagai hiburan. Menurutku sah-sah saja dalam dunia kreatif, sepanjang tidak ada unsur pembelokan alur sejarah. Karena sejarah di sini hanya sebagai setting ruang dan waktu saja.

2. Kebenaran Logis

Kebenaran logis mengacu pada kebenaran logika. Misalnya sebuah film, meskipun itu film fiksi, tapi berlatar belakang sejarah dan menyebutkan sebuah era/masa tertentu, tapi menampilkan properti era kekinian, maka film ini tidak memenuhi kebenaran logis. Simpelnya, misal film tentang Nazi Jerman, tapi menampilkan mobil Mercy 2016, misalnya. Jelas tidak logis, dan ini menjadi lelucon. Ya, kan?

Kebenaran logis juga bisa dilihat dalam konteks visualisasi tokoh. Misalnya ada tokoh "X" yang diceritakan sejak remaja dan kemudian menjadi tua, tapi diperankan oleh orang yang sama, dan kebutuhan akan visualisasi tokoh "X" yang sudah tua itu tidak bisa di-cover oleh kostum dan make-up, tentu ini menghasilkan visual yang aneh dan otomatis tidak bisa diterima akal.

Ada lagi kasus, aku pernah membaca kritik film tentang film sains fiksi "Water World" (1995) yang dibintangi aktor idolaku, Kevin Costner. Di kritik film itu disebutkan, menurut analisa ilmiah, jika seluruh es yang ada di Kutub Utara dan Selatan mencair, tidak akan menenggelamkan keseluruhan bumi. Artinya tetap ada daratan yang tidak tertutup dengan air. Padahal di film itu menggambarkan kondisi bumi yang telah tertutup air semua karena mencairnya es di dua kutub bumi. Jika kritik ini benar, maka ini menjadi contoh bahwa film "Water World" tidak logis. Meskipun itu sah secara fiksi. Apapun kalau mengatasnamakan film fiksi seakan menjadi sah, karena hanya fiktif belaka. Namanya juga hiburan, ye kan? Hmm...

3. Kebenaran Etis

Kebenaran etis mengacu pada nilai moralitas, di mana jika film tidak memenuhi kebenaran moral (etika), apalagi untuk film dokumenter sejarah, tentu akan melukai sejarah itu sendiri. Film fiksi sejarah pun secara moral bisa 'melanggar' kebenaran etis, ketika menampilkan hal yang tidak seharusnya terjadi. Atau sampai pada pemutarbalikan fakta sejarah. Atau bahkan disengaja menjadi bahan propaganda politik.

Atau pada konteks di wilayah tertentu, film yang bisa memicu adanya perselisihan antar kelompok, bisa dianggap tidak etis. Dalam bab di belakang aku sedikit mengulas tentang Riset Film; Mencermati kontroversialnya film Anto Galon. Monggo dicermati.

Ukuran sesuai atau tidaknya film dengan nilai etika atau moralitas tentu sangat relatif, bergantung pada sudut pandang masing-masing kepala. Dan menurutku film akan menjadi 'aman' secara apapun jika dilakukan riset secara baik. Sehingga bahasa-bahasa simbol yang kita gunakan tidak harus verbal, tapi lebih mengena pada sasaran, pesan tersampaikan secara elegan.

Riset film kadang diabaikan oleh temen-temen film maker --lebih spesifik temen-temen komunitas film maker indie--, jika mungkin dirasa tidak perlu melakukan riset. Apalagi jika dana tidak cukup untuk melakukan riset. Monggo saja menurutku, tapi akan lebih baik, apalagi setiap membuat film, kita bikin riset, meskipun kecil-kecilan. Tidak ada buruknya sebelum produksi, naskah didiskusikan kontennya untuk mendalami naskah, apakah telah memenuhi kebenaran historis, logis ataupun etis. Kecuali kalau sekedar pingin bikin kontroversial atau sengaja ingin menimbulkan kekisruhan. Mau jadi biang kisruh? Gak lah yaa...situ kan orang baik. Hehe.

Itulah teman-teman seputar riset film yang aku pikir dan rasakan, selebihnya bisa dielaborasi sendiri, atau jika ada yang keliru bisa dibenarkan secara adat.

Wallahu a'lam
Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun