Berbicara tentang idealisme dalam sebuah film, --meminjam gaya Ustadz Zainuddin MZ-- sungguh rumit, bin kompleks, alias pelik. Mengapa? karena setiap kepala mempunyai standard ukuran dan rasa alias sense yang berbeda-beda. Lalu, bagaimana jika terjadi tarik-menarik antara produser sebagai pemegang kekuasaan finansial dalam sebuah film dengan sutradara sebagai 'peramu' produk dalam hal ini film? Mari kita bincangkan dengan santai walau nggak terasa pening, tentu jangan lupa sambil ngopi.Â
Kita mulai dari film sebagai karya kolektif. Karya kolektif tentu melibatkan sekelompok orang dengan posisi dan tugas masing-masing untuk mencapai satu tujuan yang sama. Munculnya sebuah ide film bisa dari sutradara, produser, atau siapa saja yang kemudian diinisiasi untuk diproduksi menjadi sebuah karya film. Konsekuensi logisnya harus ada satu kesepakatan dalam hal bentuk, bahan, isi, dan kemasan yang digunakan dalam meramu sebuah film.
Seperti dalam dunia industri kreatif lainnya, musik misalnya, menurutku dalam dunia film pun ada dua kutub yang acap kali berseberangan. Aku menyebutnya kutub dunia 'industri' dan kutub dunia idealisme estetik. Mengapa aku petakan demikian? Karena seringkali muncul 'perseteruan' di antara keduanya, aku menangkap substansi yang berbeda di antara dua kutub itu. Kutub dunia 'industri' sarat dengan motif-motif ekonomi, sedangkan kutub idealisme estetik lebih mengedepankan 'nilai-nilai' seperti estetika, kemanusiaan, atau nilai lainnya.Â
Dua kutub ini biasanya menempel dalam diri produser dan sutradara. Kutub dunia industri biasanya menempel pada diri produser, sedangkan kutub dunia idealisme estetik sering berada pada diri seorang sutradara sebagai peramu sebuah film. Meskipun kadang-kadang berbalik.Â
Produser sebagai pemegang kuasa modal biasanya menginginkan sebuah film dengan kemasan-kemasan yang familiar untuk publik. Atau dengan kata lain marketable. Karena inilah yang mempunyai implikasi secara ekonomi untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan olehnye sebagai sang 'bos' film. Sedangkan seorang sutradara dengan idealisme disiplin ilmu yang digelutinya, akan 'sesempurna mungkin' dalam menerapkan apa yang telah dipunyainya, yaitu ilmu 'peramu' film. Bahkan segala jenis 'jurus' akan dikeluarkan jika Sang Bos (produser) mampu membackup modalnya. Meskipun keduanya tidak mesti terjadi pertikaian, namun perbedaan ini sangat bisa dirasakan.Â
Dengan orientasi keuntungan finansial, tentu produser membuka lebar-lebar sponsor yang akan bergabung dalam sebuah produksi film. Ini memungkinkan menambah tensi 'pertikaian' antara produser dengan sutradara jika tidak dibuka ruang dialog yang saling terbuka dan nyaman. Karena seorang sutradara beserta perangkat kru film tentu mempunyai semacam 'gengsi' dalam berkarya. Apalagi jika mereka telah mempunyai popularitas, tentu akan mempertaruhkan 'namanya' di depan publik. Sedangkan produser dengan keinginan meraup keuntungan finansial, akan berdiri kokoh mempertahankan kebutuhan-kebutuhan sponsor dan publik.Â
Kadangkala terjadi 'kecelakaan' estetik. Apa itu? Sebuah adegan dalam film yang tiba-tiba muncul sebuah pesan sponsor yang terlalu verbal, dan celakanya tidak nyambung secara harmoni dengan adegan yang berlangsung. Ini pernah aku lihat di dalam sebuah film Indonesia (tidak perlu aku sebut), sutradaranya pun juga terkenal, tapi menampilkan sebuah adegan yang menurutku kaku, tidak harmoni, dan terkesan dipaksakan untuk menampilkan sebuah produk makanan.Â
Dalam sebuah dialog di antara talent (pemain) yang salah satunya mengeluarkan makanan dan mengajak lawan mainnya untuk menikmati makanan itu dengan percakapan amat 'verbal'. Ibaratnya tak ada angin tak ada hujan, pemain sekonyong-konyong mengeluarkan sebuah produk. Menurutku sangat tabu dan tidak 'etis' dalam konteks estetika film. Mungkin sutradaranya kehabisan akal untuk mengemas adegan atau dia 'kalah' argumen dengan produser dan sponsor dalam menampilkan pesan iklannya?
Aku tidak menafikan pada kebutuhan modal dalam sebuah film, tapi menurutku harus dibuka ruang dialog di antara kepentingan produser dan kepentingan sutradara dalam mengakomodasi sebuah pesan sponsor. Mestinya dibuat kesepakatan antara keduanya dalam menampilkan sebuah pesan sponsor. Masa dunia kreatif tidak melahirkan alternatif-alternatif adegan yang 'gila' untuk mengemas estetika film? Malu, dong. Toh menampilkan sebuah produk tidak harus dikatakan secara verbal, kan? Nah, ini nih yang harus dimengerti semuanya.Â
Jika kembali mengacu pada film sebagai karya kolektif, mereka harus bisa bersatu, sepakat, seirama, dan harmoni meski berbeda isi kepala. Masalah ini kadang tidak hanya muncul dalam kemasan adegan, tapi gesekan nilai apa yang akan dimunculkan dalam film yang digarap. Mungkin orang filsafat menyebutnya 'esensi' apa yang akan dimunculkan dalam film itu.
Maka, atas kemungkinan-kemungkinan pergesekan yang sangat rentan terjadi, harus dibuat sistem dan prosedur dengan tahapan-tahapan dalam produksi film seperti yang telah aku paparkan di tulisan-tulisan terdahulu. Mulai dari konsep film, membuat sinopsis, breakdown naskah, menentukan lokasi, menentukan pemain, dan lain-lain. Semua itu harus 'selesai' dalam ruang script conference (bedah naskah), sebelum take shooting dimulai. 'Selesai' dalam arti ada kesepakatan antara sutradara dan produser dalam menentukan bentuk, isi, dan kemasan film. Jika perlu kesepakatan-kesepakatan itu dituangkan di atas kertas. Jika ini telah ditempuh, aku yakin seandainya terjadi perselisihan tidaklah terlalu berat untuk diselesaikan.
Apa akibatnya jika antara produser dan sutradara tidak membuat komitmen kesepahaman sejak awal? Tentu tahap Produksi alias shooting akan carut-marut, rentan perselisihan di lokasi shooting, dan pada tahap editing akan berulang-ulang tanpa ada standar nilai kesepakatan. Akhirnya karya film tidak akan selesai secara baik. Jika selesai, mungkin hasilnya kurang maksimal, bahkan buruk.Â
Itulah, mengapa sebuah karya kolektif --dalam hal ini film-- membutuhkan sebuah prosedur yang sistematik, tertib dan terukur. Dengan sistem ini, produksi film akan efektif dan efisien.Â
Selamat berkarya!
Wallahu a'lam
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H