Dengan adanya riset, filmmakerakan menganalisa sebuah potret sosial masyarakat mana yang perlu ditampilkan di dalam film atau tidak. Ataukah hanya dengan sebuah simbol. Karena dengan film, penyampaian pesan tidak selalu harus menggunakan bahasa verbal, tapi cukup hanya dengan bahasa simbol.Â
Di samping itu, dengan riset, pembuat film tentu akan memilah-milah alternatif adegan mana yang layak untuk ditonton masyarakat. Memang, biasanya film dalam menyampaikan pesannya akan menampilkan dua kutub yang berseberangan. Ada tokoh "baik" (protagonis), dan ada "penjahat" (antagonis), tapi dengan pertimbangan sebuah riset, visualisasnya film bisa di"atur" sedemikian rupa agar lebih nyaman dilihat. Bisa menggunakan bahasa simbol, atau alternatif adegan yang lebih soft, atau mengatur dominasi mana yang lebih nyaman untuk ditampilkan.
Melihat respons masyarakat netizen, saya lihat ada tiga plot adegan yang dianggap/diduga sebagai pelecehan. Yaitu (1) adegan di rumah sakit, yang dinilai menyalahi prosedur yang biasa berlaku di rumah sakit, (2) polisi yang dianggap tidak tahu prosedur rumah sakit, (3) adegan 'oknum' peserta pengajian yang menghalangi jalannya ambulan untuk lewat.
Dalam film Anto Galon ini menurut saya sebuah 'kecelakaan' pembuatan film akibat tak dilakukan riset dengan baik. Mungkin karena kebutuhan untuk mengikuti festival yang notabene berhadiah yang cukup membanggakan. Di samping iming-iming finansial, juga 'hadiah' kebanggaan sebagai pemenang festival.
Di saat masyarakat Indonesia sedang sensitif, saya yakin penyebab utama dari munculnya kasus ini adalah plot ke-3, yakni adegan pengajian yang diduga merendahkan martabat umat agama Islam. Terbukti dari komentar broadcastberita di atas bahwa yang dianggap sebagai sebuah pelecehan yang belakangan muncul adalah terhadap prosedur rumah sakit (plot no. 1) dan pelecehan terhadap polisi (plot no.2) setelah adanya anggapan pelecehan terhadap adegan pengajian (plot no. 3).Â
Saya melihat komentar di laman Youtube pun, dominan permasalahan adalah masalah sensitif keagamaan, bukannya masalah prosedur rumah sakit dan ketidaktahuan polisi pada prosedur rumah sakit dalam film ini. Dan ketika muncul permasalahan anggapan pelecehan kepada umat Islam, barulah netizen lebih mencermati celah-celah yang lain. Maka ramailah dunia maya dengan bullyingbaik terhadap pembuat film (Anto Galon) dan ramai pula di antara para komentator yang berlainan pendapat.
Terlepas dari kasus itu, dunia 'persilatan' bisnis iklan dalam media sosial, khususnya Youtube pun tak ketinggalan mempermainkan kasus kontroversial ini dengan memperkeruh suasana untuk mendapatkan viewer yang banyak. Ujung-ujungnya bisa meraup uang dari dagangan view per-click-nya. Cara ini yang sungguh saya mengutuk keras! Apalagi dengan bahasa-bahasa provokatif, bahkan dengan kebohongan-kebohongan untuk mendapatkan rupiah demi rupiah dari viewer. Selain itu, oknum-oknum politisi kotor pun akan terus mengompori masyarakat agar suasana tambah keruh.
Seharusnya masyarakat Indonesia yang telah cukup lama melanglang di dunia maya faham dan tak perlu memperkeruh suasana dengan adanya kasus ini. Di samping untuk kedamaian dan kerukunan antar masyarakat beragama, jika bola liar ini menggelinding dengan bebas, para oknum politisi kotor dan pebisnis viewer dengan cara provokatif tentu akan tepuk tangan dan meraup keuntungan dengan ketawa-ketiwi. Mau kita dipermainkan orang-orang seperti itu? ***
Wallahu a'lam
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H