Kemarin aku sengaja menonton film yang --kata Pak Habibie---film yang bikin menangis; berjudul "Surat Kecil Untuk Tuhan". Aku sengaja menonton sendirian dengan niat untuk belajar lebih fokus tentang nilai-nilai dalam sebuah film, dan semoga menambah referensi untuk bukuku tentang film.
Seandainya aku ditanya; apa kata pertama komentar untuk film garapan Fajar Bustomi ini, aku jawab: "menyentuh!". Â Terbukti di tengah-tengah pertunjukan, ketika ilustrasi mengiringi dengan lembut film ini, tak sedikit terdengar pula isak tangis penonton.
Dari sisi cerita, runtut dan sangat menarik untuk disimak. Sebuah potret kehidupan jalanan yang acap kali kita lihat di realitas kehidupan di Indonesia. Film yang menggambarkan kehidupan dua anak kecil (Angel dan Anton) yang pergi meninggalkan rumah karena keluarganya brokenhome yang cukup akut, memaksa mereka berdua untuk menghadapi ujian hidup di jalanan. Tantangan hidup di jalan itu membuat mereka berdua masuk dalam perangkap Rudi (Lukman Sardi), bos sindikat perdagangan anak yang berkedok Rumah Singgah (Rumah Penampungan Anak).
Dengan sebuah peristiwa kecelakaan di jalan, Angel terpisah dari kakaknya (Anton) yang kemudian diadopsi oleh orang kaya bersuamikan bule dan akhirnya tinggal di Australia. Menurutku ini sebuah transisi cerita yang sangat "indonesia", atau dengan kata lain, banyak cerita-cerita sinetron yang mengalami transisi setting cerita dengan sebuah kecelakaan. Dengan adegan kecelakaan yang kurang dramatis, dan masih bersifat 'sinetron', tak apalah, yang penting secara visual menggambarkan sebuah stressing cerita di mana ada perpisahan antara dua anak bersaudara, antara Angel dan Anton. Mungkin di sini kita perlu belajar banyak dengan film-film Hollywood atau film China yang menggambarkan sebuah kecelakaan yang cukup dramatis dan mendekati real.
Setelah 15 tahun berlalu, cerita berlanjut pada Angel yang hidup di Negeri Kanguru; terasa nyaman, kaya, dan happy tapi berat. Diakui sendiri oleh Bunga Citra Lestari (BCL) yang memerankan Angel dalam Behind The Scene-nya, bahwa kehidupan Angel di Australia memang serba berkecukupan, namun dijalani dengan berat karena background Angel yang anak jalanan dan penuh dengan penderitaan. Tak pelak, untuk ini BCL harus mengernyitkan dahinya untuk ber-acting ekstra dalam menggambarkan adegan bahagia namun ada perasaan yang berat dalam hidupnya.
Angel selalu ingat kehidupan masa kecil yang menderita, tertindas dan menyedihkan. Banyak peristiwa yang terjadi di depan matanya, kekejaman penjahat jalanan, termasuk kepada kakanya (Anton). Â Dengan kondisi seperti inilah muncul komitmen Angel untuk menekuni profesi seorang lawyer. Cita-citanya adalah untuk menyelamatkan nasib anak-anak jalanan yang tertindas oleh sekelompok penjahat jalanan. Banyak ketidakadilan di sana, bahkan pendindasan! Sementara anak-anak jalanan sendiri tak kuasa melawan. Di sini kita bisa ambil sebuah nilai perjuangan dengan pengorbanan untuk sebuah nilai keadilan.
Lagi-lagi dengan peristiwa "tiba-tiba", dalam sebuah perjalanan di kapal, Angel ketinggalan sebuah bukunya di kapal itu, dan diketemukan oleh Martin (Joe Taslim), seorang dokter spesialis jantung yang menekuni dunia kedokteran jantung karena dirinya sendiri pernah sakit jantung yang telah ditransplantasi. Â Maka bertemulah mereka dalam sebuah perkenalan yang saling simpatik. Akhirnya mereka terlibat dalam hubungan asmara. Masa-masa indah yang dialami seorang Angel di Australia. Tapi dengan kemauan yang kuat sebagai seorang lawyer, Angel harus memilih untuk pulang ke Indonesia untuk menolong anak-anak jalanan yang lain dalam pendampingan hukum, terutama keinginan dia untuk bertemu dengan Anton, kakaknya.
Dengan semangat kerasnya ingin bertemu dengan Anton yang telah lama tak bertemu, Angel menyusuri jalanan yang dulu pernah dilaluinya waktu kecil. Bertanya kepada anak-anak jalanan tentang keberadaan kakaknya. Akhirnya melalui bantuan teman waktu kecilnya, Ningsih (Aura Kasih) dan Asep (Rifnu Wikana) sebagai seorang anak buah Rudi, termasuk Letnan Polisi Joko (Ben Joshua), Angel menemukan Rudi sang bos kejahatan perdagangan anak. Kemudian masuklah dalam persidangan dan tuntutan untuk Rudi dengan berbagai bukti yang dikumpulkannya. Dari peristiwa inilah Angel menemukan jejak Anton (kakaknya), yang berakhir cerita, ditemukannya jasad Anton yang telah dijual jantungnya.
Tidak sampai di situ stressing kesedihan dalam kehidupan Angel. Setelah ditelusuri, ternyata jantung Anton telah terpasang di tubuh Marthin, kekasih Angel!
Secara keseluruhan, ini sebuah alur cerita dan visualisasi yang dinamis dan cukup dramatis. Salut untuk Upi Avianto penulis naskahnya. Meskipun bagian awal film ini, Acting Izzati Khanza dan Bima Azriel sebagai Angel dan Anton terasa masih kaku dan bikin kurang menyentuh. Mengapa? Karena sebagai anak jalanan, mereka berdua masih tampak 'manis' dan kurang lusuh. Namun demikian aku acungkan jempol untuk anak kecil berbakat itu. Dalam beberapa adegan, terutama sedang menangis tragis, bisa cukup menggambarkan situasi yang keren!
Untuk Bunga Citra Lestari, pemeran untuk Angel (dewasa), hanya satu kata: "Gila!", keren!!! Sangat menjiwai peran sebagai Angel. Bagaimana mengkolaborasi sebuah dialog, gestur dan dengan tangisan yang berkarakter. Sepertinya tak banyak artis yang berkarakter seperti dia. Saya yakin Dessy Ratnasari atau Neno Warisman dalam Film "Sayekti & Hanafi", juga bisa seperti itu. Siapa lagi?
Sound Ilustrasi film ini secara keseluruhan saya merasakan cukup baik saja. Karena terasa di awal terlalu "ramai" dengan lagu. Sehingga terasa kurang dinamis. Ini juga dirasakan oleh teman saya Ahmed Sinar, pencipta lagu dan arranger musik dalam diskusi semalam. Karena ritme dalam sebuah film, menurut saya lebih asyik jika sound illustrasi tidak melulu dengan tempo yang padat, tapi kombinasi padat, ringan dan pada titik tertentu perlu hening. Dinamika ini yang justru akan membawa suasana lebih dramatis.
Menurutku ending film ini terasa agak menggantung, antara happy dan tidak happy. Di satu sisi, Angel bahagia karena telah menemukan kejelasan jejak Anton yang telah 15 tahun tak jelas dan tak ketemu. Di sisi yang lain, dia puas telah berhasil memenjarakan Rudi sebagai biang kejahatan perdagangan anak. Tapi, apapun yang menjadi ending dalam film ini, sepertinya tidak begitu penting. Karena yang lebih penting adalah sejauh mana penonton bisa mengambil dan menangkap pesan moral yang dibawa oleh film ini. Salut untuk Falcon Pictures sebagai produser. Semoga selalu membuat karya yang penuh dengan pesan moral. Baik untuk nilai sosial kemanusiaan, moral, atau bahkan lingkungan!
Semua ini berdasarkan pemikiran dan rasa yang aku alami sebagai penikmat film dan sebagai pembelajar yang tak kenal lelah berproses. Mungkin saja berbeda analisa dengan teman-teman yang lain. Biasa sajalah, mari belajar terus dan tak mengenal lelah. Jika ada yang salah, mari saling mengingatkan dan berdiskusi secara keren dan bermartabat. ***
Wallahu a'lam,
Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H