Mohon tunggu...
Nurul Muslimin
Nurul Muslimin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Orang Biasa yang setia pada proses.

Lahir di Grobogan, 13 Mei 1973

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Mengapa Perlu Melakukan Revitalisasi Lembaga KPI?

23 Juni 2017   01:46 Diperbarui: 23 Juni 2017   09:44 1992
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: okezone.com

Era perkembangan teknologi sekarang ini telah menjadi mainstream kiblat para generasi muda, khususnya di Indonesia dalam merujuk segala referensi. Baik menjadi sumber kebaikan (ilmu pengetahuan), ataupun informasi negatif; kebohongan (hoax), pelanggaran norma kesusilaan dan norma hukum. 

Dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi, hampir bisa dipastikan setiap orang telah bisa mengakses informasi dari segala penjuru dunia. Dunia seakan tanpa batas. Siaran media elektronik televisi dan radio pun mengalami perkembangan demikian dahsyat.

Betapa anak-anak Indonesia sekarang, bahkan sejak SD (Sekolah Dasar) pun telah familiar dengan dunia gawai (gadget). Dengan gawai di tangan, mereka dengan leluasa berselancar kemana saja untuk mendapatkan informasi. Televisi dan Radio pun telah merambah dalam dunia gawai dengan live streaming-nya. 

Tentu kita tidak menafikan manfaat yang baik dalam kemudahan mendapatkan informasi, tetapi di balik itu semua, menjadi resiko yang begitu besar untuk perkembangan generasi muda jika dunia penyiaran tidak dikontrol secara baik. Multiple effect-nya adalah beresiko pula terhadap perkembangan generasi muda Indonesia di masa mendatang.

Pendidikan untuk anak bangsa (generasi muda) di Indonesia tidak bisa kita abaikan. Karena di pundak merekalah masa depan Bangsa Indonesia dipertaruhkan. Oleh karena itu menjadi tanggung jawab pemerintah lah pendidikan bagi generasi muda Indonesia ke depan. Kita tidak bisa bergantung pada pendidikan formal di sekolah yang hanya 6 sampai 8 jam sehari. Sedangkan sisanya (16 sampai dengan 18 jam) karakter anak-anak sangat rentan dipengaruhi oleh lingkungannya.

Munculnya regulasi pemerintah tentang penyiaran, yakni Undang-undang No. 24 Tahun 1997 patut kita apresiasi. Meskipun pada gilirannya dinilai telah menjadi alat pemerintah untuk tujuan hegemoni negara yang kental dengan aroma politis. Terutama dalam pasal 7 UU No. 24 Tahun 1997 yang berbunyi : "Penyiaran dikuasai oleh negara yang pembinaan dan pengendaliannya dilakukan oleh pemerintah."

Kemudian seiring dengan laju sejarah dengan reformasi pada Tahun 1998, paradigma tata negara pun mengalami pergeseran. Maka dengan pola fikir yang lebih demokratis, kita patut bangga, pemerintah telah mengeluarkan Undang-undang No. 32 TAHUN 2002 tentang Komisi Penyiaran Indonesia yang dinilai lebih mengutamakan independensi lembaga penyiaran dan menekankan pada partisipasi masyarakat (publik). 

Ini dilakukan tak lain karena dunia kepenyiaran dan media massa harus terbebas dari tekanan bahkan kooptasi oleh siapapun, termasuk kepentingan politis. Meskipun demikian, KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) pun harus mempunyai "aturan main" (rule of the game) yang jelas dan berorientasi pada kebaikan bangsa Indonesia, terutama dalam mengontrol pendidikan anak bangsa.

Dengan fondasi inilah KPI bergerak dan melakukan kontrol pada media masa, khususnya kepenyiaran. Lalu, bagaimana implementasi dari fondasi tersebut? Di tulisan ini saya  akan membahasnya dan bisa menjadi cerminan visi dan misi saya dalam memberikan kontribusi pemikiran pada langkah KPI ke depan.

KPI dan Realitas Era Digital

Era teknologi informasi sekarang ini seakan tak bisa dibendung. Dunia seakan tak ada batas antar negara. Sebelum munculnya telepon, gawai dan internet, komunikasi antar individu hanya mengandalkan tulisan dan dikirim secara manual. Setelah internet masuk di Indonesia sekitar tahun 1990 (Sumber), pergerakan informasi seakan melaju demikian cepat. 

Pola percepatan laju informasi di dunia menjadi trigger (pemicu) kecepatan di semua lini kehidupan. Ekonomi, sosial, budaya, politik, pendidikan dan lain sebagainya. Ini menjadi pertanda positif, namun perlu kita waspadai, bahwa percepatan laju informasi akan membawa implikasi negatif jika tidak ada kontrol secara baik oleh lembaga pemerintah. Karena bagaimanapun pemerintah bertanggung jawab ke arah mana masa depan bangsa akan dibawa.

Pada sekitar tahun 1980-an, saya masing ingat, jika menonton televisi harus ke Balai Desa, karena yang memiliki pesawat televisi waktu itu hanya segelintir orang saja dalam satu wilayah desa. Siaran stasiun televisi yang ada hanya TVRI (Televisi Republik Indonesia). Stasiun Radio pun yang ada hanya RRI (Radio Republik Indonesia). Sedangkan lembaga pengontrolnya waktu itu adalah Departemen Penerangan (Era Orde Baru).

Bisa kita bayangkan, pada era itu (Tahun 1980 dan era sebelumnya) masih menjadi era 'miskin' informasi. Kita hanya memiliki 2 (dua) saluran informasi yang bisa kita akses. Siaran TVRI dan RRI pada waktu itu pun jika kita bandingkan dengan era sekarang, apalagi dengan stasiun televisi dan radio swasta sangat jauh berbeda. Sekarang lebih variatif dan kreatif.

Pesatnya era informasi digital sejak tahun 1990-an yang ditandai dengan masuknya internet di Indonesia, membawa dampak yang demikian dahsyat. Akses informasi menjadi sangat cepat. Dunia seakan tanpa batas negara. Komunikasi dengan orang di belahan dunia lain bisa dilakukan realtime dan bahkan bisa live-streaming!

Dunia kreatifitas dalam bidang broadcastingdan reklame pun demikian 'gila!' Bahkan telah melampaui garis batas norma-norma etika. Di Amerika persaingan iklan antara produk soft-drink (Coca Cola dan Pepsi) menjadi contohnya (www.youtube.com). Di mana antar produsen tersebut saling serang dan saling merendahkan. Dunia kreatifitas yang tak mengindahkan nilai etika semacam itu bukan tak mungkin suatu saat masuk ke Indonesia dalam bentuk-bentuk yang lebih parah.

Perkembangan teknologi digital juga merambah dan menjangkiti dalam dunia sosial politik. Masih belum lenyap dalam ingatan kita tentang Pilkada DKI. Bagaimana sebuah berita disajikan oleh media massa dengan framing. Membingkai sebuah peristiwa dengan sudut pandang tertentu, dengan menggunakan diksi-diksi tertentu pula dan untuk tujuan-tujuan politis. 

Menurut saya framing adalah kejahatan yang dikemas dengan halus. Mengapa demikian, karena media massa era sekarang ini menjadi referensi yang cukup populer di kalangan publik, dan acap kali menjadi referensi setiap orang yang kemudian melahirkan pandangan-pandangan atau asumsi-asumsi yang mengikuti arah framing yang telah dibentuk. Padahal framing kebanyakan lebih condong kepada subyektifitas dan ada unsur pembelokan fakta empiris. Bahkan secara ekstrim mengarah pada berita bohong. Jika framing telah melewati batas-batas kebenaran empiris, maka berita tersebut telah memasuki ruang kebohongan publik alias hoax.

Inilah yang sekarang dihadapi oleh KPI (Komisi Penyiaran Indonesia). Bagaimana respons KPI terhadap kondisi situasi era yang demikian canggih, cepat dan tanpa batas? Maka menurut hemat saya, harus dilakukan sebuah re-positioning untuk lebih menjaga marwah KPI dalam melakukan kontrol terhadap lembaga penyiaran di Indonesia.

Dasar & Sistem Kontrol KPI terhadap Penyiaran

Terbitnya Undang-undang No. 32 Tahun 2002 tentang Komisi Penyiaran Indonesia menjadi jawaban terhadap kontrol dunia penyiaran di Indonesia. KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) di pasang untuk menjadi 'penjaga gawang' terhadap bocornya dunia penyiaran atas pelanggaran pada norma-norma etika dan hukum. Undang-undang tersebut merupakan dasar utama bagi pembentukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Semangatnya adalah pengelolaan sistem penyiaran yang merupakan ranah publik harus dikelola oleh sebuah badan independen yang bebas dari campur tangan pemodal maupun kepentingan kekuasaan.

Meskipun tak begitu kentara, semangat Undang-undang No. 32 Tahun 2002 ini berbeda dengan Undang-undang penyiaran sebelumnya, yakni Undang-undang No. 24 Tahun 1997 pasal 7 yang berbunyi "Penyiaran dikuasai oleh negara yang pembinaan dan pengendaliannya dilakukan oleh pemerintah". Di era demokratisasi saat ini, pasal tersebut sangat  menunjukkan bahwa penyiaran pada masa itu merupakan bagian dari alat kekuasaan yang digunakan semata-mata untuk kepentingan penguasa.

Era demokratisasi sekarang ini di Indonesia menempatkan publik sebagai pemilik (owner)  dan pengendali utama dalam hal penyiaran. Karena frekuensi adalah milik publik dan sifatnya terbatas, maka penggunaannya harus sebesar-besarnya bagi kepentingan masyarakat (publik). Artinya bahwa media penyiaran harus melakukan fungsi pelayanan informasi publik yang sehat. Informasi yang dimaksud terdiri dari berbagai macam bentuk, dari berita, hiburan, ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya.

Fondasi dari fungsi pelayanan informasi yang sehat adalah seperti yang tersebut dalam Undang-undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 yaitu Diversity of Content (prinsip keberagaman isi) dan Diversity of Ownership (prinsip keberagaman kepemilikan) (Sumber). Kedua hal tersebut menjadi dasar bagi setiap kebijakan yang dirumuskan oleh KPI.

Substansi dari dasar fungsi pelayanan informasi secara sehat dari Diversity of Content (prinsip keberagaman isi) adalah tersedianya informasi yang beragam bagi publik baik berdasarkan jenis program maupun isi program. Sedangkan Diversity of Ownership (prinsip keberagaman kepemilikan) adalah jaminan bahwa kepemilikan media massa yang ada di Indonesia tidak terpusat dan dimonopoli oleh segelintir orang atau lembaga saja. 

Prinsip Diversity of Ownership juga menjamin situasi kompetisi yang sehat antara pengelola media massa dalam dunia penyiaran di Indonesia. Di samping itu menurut hemat saya, bahwa fungsi pelayanan informasi yang sehat mengacu pada nilai-nilai moralitas yang terkandung dalam Dasar Negara kita (Pancasila) dan Undang-undang Dasar 1945 serta Peraturan-peraturan (hukum-hukum) yang berlaku di Indonesia. Ini perlu ditegaskan, karena moralitas tetap menjadi referensi yang lebih tinggi dibanding dua (2) nilai tersebut (Diversity of Content dan Diversity of Ownership).

Implementasi dari Sistem Kontrol KPI terhadap Penyiaran

Untuk menentukan arah dan urgensi revitalisasi KPI adalah mencermati kinerja dan implementasi dari No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran tersebut. Sejauh mana sebuah sistem kontrol penyiaran dilaksanakan oleh KPI. Apakah sudah efektif? Seberapa jauhkan KPI sebagai lembaga kontrol penyiaran telah melakukan tugasnya dengan baik?

Meskipun dibutuhkan penelitian secara komprehensif, 'gaung' tentang keberadaan KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) dan tugas-tugas serta fungsinya, saya yakin belum diketahui oleh masyarakat secara luas. Karena tidak semua orang sadar akan pentingnya keberadaan KPI. Mungkin hanya beberapa unsur masyarakat yang terdidik atau mereka yang sadar pada pendidikan generasi muda kita, yang tahu keberadaan KPI.

Mari kita cermati Fungsi, Wewenang dan Tugas KPI sesuai Pasal 8 Undang-undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, pada ayat (1) : "KPI sebagai wujud peran serta masyarakat berfungsi mewadahi aspirasi serta mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran."

Meskipun dibuka ruang peran serta masyarakat dalam ikut serta mengontrol siaran, baik melalui kantor KPI maupun secara online dengan website-nya, apakah telah menunjukkan besarnya perhatian masyarakat terhadap content siaran? Ini saya kira patut menjadi perhatian kita. Sehingga membutuhkan sebuah penelitian khusus untuk partisipasi masyarakat pada pengontrolan siaran. Ini sebagai upaya benchmarking (pembanding) terhadap kinerja KPI, dan bisa menjadi instrumen penilaian sejauh mana KPI telah melaksanakan tugasnya secara baik.

Pada Pasal 8 Ayat (2) Undang-undang No. 32 Tahun 2002 : "Dalam menjalankan fungsinya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), KPI mempunyai wewenang:

a. menetapkan standar program siaran;

b. menyusun peraturan dan menetapkan pedoman perilaku penyiaran;

c. mengawasi pelaksanaan peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran;

d. memberikan sanksi terhadap pelanggaran peraturan dan pedoman perilaku penyiaran serta standar program siaran;

e. melakukan koordinasi dan/atau kerjasama dengan Pemerintah, lembaga penyiaran, dan masyarakat.

Pada Pasal 8 Ayat (3) Undang-undang No. 32 Tahun 2002:  "KPI mempunyai tugas dan kewajiban :

a. menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan hak asasi manusia;

b. ikut membantu pengaturan infrastruktur bidang penyiaran;

c. ikut membangun iklim persaingan yang sehat antar lembaga penyiaran dan industri terkait;

d. memelihara tatanan informasi nasional yang adil, merata, dan seimbang;

e. menampung, meneliti, dan menindaklanjuti aduan, sanggahan, serta kritik dan apresiasi masyarakat terhadap penyelenggaraan penyiaran; dan

f. menyusun perencanaan pengembangan sumber daya manusia yang menjamin profesionalitas di bidang penyiaran.

Dalam hal kewenangan, tugas dan kewajiban KPI, saya yakin telah dilakukan oleh KPI. Namun sejauh mana keberhasilan KPI terhadap upaya pengontrolan siaran, perlu disosialisasikan kepada masyarakat. Ini semata-mata agar kinerja KPI secara transparan bisa diketahui oleh masyarakat (publik). Secara kelembagaan, sesuai dengan Undang-undang No. 32 Tahun 2002 pasal 7 ayat (4) tentang Penyiaran, KPI diawasi oleh DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) atau di tingkat daerah diawasi oleh DPRD. Maka DPR/DPRD juga mempunyai tanggungjawab atas hasil pengawasannya kepada KPI/KPID.

Independensi KPI

Sejak disahkannya Undang-undang no. 32 Tahun 2002 dunia kepenyiaran di Indonesia terjadi perubahan yang signifikan dalam pengelolaan sistem penyiaran di Indonesia. Perubahan paling fundamental dalam semangat Undang-undang tersebut adalah adanya limited transfer of authority dari pengelolaan penyiaran yang selama ini merupakan hak ekslusif pemerintah kepada sebuah badan pengatur independen (Independent regulatory body) yaitu Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

Pasal 1 ayat No. 13 Undang-undang No. 32 Tahun 2002 disebutkan:  "Komisi Penyiaran Indonesia adalah lembaga negara yang bersifat independen yang ada di pusat dan di daerah yang tugas dan wewenangnya diatur dalam Undang-undang ini sebagai wujud peran serta masyarakat di bidang penyiaran".

Independen di sini dimaksudkan untuk mempertegas bahwa pengelolaan sistem penyiaran yang notabene wilayah publik harus dikelola oleh sebuah badan yang bebas dari intervensi modal maupun kepentingan kekuasaan.

Pergeseran paradigma ini merupakan hasil pembelajaran dari pengalaman masa orde baru, dimana pengelolaan sistem penyiaran ada pada otoritas pemerintah yang kental dengan aroma politis saat itu. Karena sistem penyiaran dipandang sebagai alat strategis dan digunakan untuk melanggengkan kepentingan kekuasaan. Sistem penyiaran saat itu tidak hanya digunakan untuk memperkuat cengkeraman hegemoni rejim terhadap publik dalam penguasaan wacana strategis, tapi digunakan pula untuk mengambil keuntungan dalam kolaborasi antara segelintir elit penguasa dan pengusaha.

Namun dalam pasal 7 ayat (4) yang telah saya sebut di atas, bahwa KPI Pusat diawasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, dan KPI Daerah diawasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi."Bagaimana posisi KPI dengan adanya pengawasan dari DPR/DPRD? Apakah masih terjaga independensinya? Menurut hemat saya ini hanya dibutuhkan integritas para anggota KPI untuk mempertahankan independensinya jika terjadi intervensi oleh lembaga DPR/DPRD. Meskipun DPR/DPRD adalah sebagai pengawas.  Karena semata-mata KPI pada hakekatnya bertanggung jawab kepada rakyat.

Positioning & Perlunya Revitalisasi KPI menghadapi Era Teknologi

Berdasarkan pembahasan di atas, tentang kondisi realitas kemajuan era teknologi informasi, kewajiban, tugas dan wewenang KPI, serta independensi KPI, maka dibutuhkan positioning KPI yang mana disesuaikan dengan hal-hal tersebut di atas.

Menurut hemat saya, ada beberapa point yang bisa menjadi acuan untuk positioning dan kebutuhan akan revitalisasi KPI sebagai lembaga pengontrol siaran; di antaranya adalah:

  1. KPI harus bisa menyesuaikan dengan kondisi dan situasi jaman yang selalu berkembang. Dengan catatan tidak bergeser dari Dasar dan Nilai Falsafah Negara Pancasila dan Undang-undang Dasar tahun 1945.
  2. Pengelolaan KPI dilakukan secara transparan, dan hasil dari pengawasan pada lembaga siaran yang dilakukan dilaporkan kepada masyarakat melalui publikasi secara umum di media massa, agar masyarakat mengetahui hasil kinerjanya.
  3. Perlu integritas yang lebih kuat pada setiap anggota KPI agar tidak tembus oleh intervensi siapapun, baik DPR/DPRD, penguasa ataupun oknum perorangan.
  4. Perlunya peningkatan partisipasi masyarakat dalam mengontrol lembaga penyiaran secara online dengan berbasis aplikasi gawai yang bisa dioperasikan secara simpel dan menjangkau setiap personal. Sehingga sangat memudahkan pelaporan masyarakat pada konten siaran yang melanggar aturan.

Dengan upaya repositioning dan revitalisasi pada KPI, saya yakin akan meningkatkan kinerja KPI dan sekaligus berimplikasi pada manfaat yang dirasakan oleh masyarakat. Konten siaran dari lembaga siaran akan terkontrol secara baik, partisiasi masyarakat pada pengontrolan siaran meningkat, dan konten siaran akan semakin kreatif dan mencerdaskan generasi bangsa Indonesia.

Wallahu a'lam

Semoga bermanfaat.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun