"Mudik" adalah pulang ke kampung halaman. Istilah ini telah dikenal lama dan tidak asing bagi Bangsa Indonesia. Tradisi ini tidak dikenal di Arab yang notabene negara asal muasal agama Islam.Â
Mudik dalam tradisi orang Indonesia telah menjadi "ritual", di mana orang yang telah mengembara (merantau) dan bekerja di luar kota kelahirannya melakukan "kewajiban" pulang setiap Hari Lebaran tiba. Setelah pulang ke rumah orang tua (kampung halaman), "ritual" selanjutnya adalah ber-halal bil halal (saling maaf-memaafkan) dengan orang tua dan sanak saudara. Ini menjadi satu paket yang tak terpisahkan.
Adapun membawa angpao dan bermewah-mewah untuk pamer kekayaan kepada tetangga bukanlah termasuk "ritual" dalam konteks "mudik". Ini lebih kepada nafsu para mudikers (para pemudik) untuk menunjukkan eksistensi mereka masing-masing setelah bertahun-tahun kerja di kota.Â
Karena mudik telah menjadi "tradisi", orang Indonesia pada umumnya akan mengalami penyadaran akan pentingnya "mudik" untuk kembali kepada tanah leluhurnya. Tanah di mana dia dilahirkan dan dibesarkan. Tidak jarang orang tua yang anaknya tidak mudik, akan menangis ketika mendengar lantunan takbir waktu malam Lebaran. Seorang anak pun demikian, akan merasa bersalah dan berdosa jika pada waktu Lebaran tidak melakukan ritual mudik kepada orang tua dan meminta maaf.Â
Untuk orang yang telah melakukan kesalahan kepada teman, tetangga, atau siapapun, biasanya merasa malu untuk meminta maaf. Maka moment Lebaran dan Mudik untuk Halal bil Halal adalah moment yang "menyelamatkan" rasa malu itu.
Artinya ketika Halal bil Halal telah menjadi tradisi dan dilakukan oleh banyak orang dalam waktu/moment yang bersamaan, kita tidak akan malu meminta maaf kepada orang yang telah kita dzolimi. Meskipun meminta maaf seharusnya dilakukan seketika saat kita tersadar telah melakukan kesalahan kepada orang lain.
Satu hal lagi, bahwa mudik telah menjadi momen di mana menjadi waktu yang tepat untuk melakukan "reuni" bagi mereka yang pernah menjalin ikatan. Baik sebagai famili (trah), maupun pernah menjalin ikatan dalam sekolahan, atau komunitas tertentu yang lama tidak saling bertemu. Seiring dengan perkembangan teknologi gadget, betapa banyak sekarang ini event reuni yang telah membudaya. Lihat saja di grup WA (Whatsapp), BB, atau media sosial lainnya. Dengan adanya grup-grup tersebut bisa dipastikan akan mengadakan event reuni atau syawalan (Halal bil Halal).Â
Inilah ke-dahsyat-an mudik yang di dalamnya ada moment Halal bil Halal. Dan patut kita berterima kasih kepada para ulama pendahulu kita, khususnya di Indonesia yang telah mentradisikan "mudik" dan Halal bil Halal. Dengan moment ini ruang silaturrahmi akan terjaga meskipun setiap tahun hanya sekali.Â
Semoga tradisi yang baik ini menjadi ruang silaturrahmi yang akan selalu membawa berkah bagi kita semua. Tidak hanya kaum muslim, orang non-muslim pun jika melakukan hal yang sama akan menambah kemanfaatan silaturahmi antar ummat beragama. Maka dengan adanya mudik, seperti ada ruang "pendingin" suasana setelah kita sebagai bangsa Indonesia yang kadang-kadang khilaf melakukan kesalahan kepada saudara-saudara kita, akan terasa adem dan menjadi ruang untuk memulai hubungan yang lebih baik di masa mendatang.
Semoga bermanfaat. **
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H