Ini saya tulis karena setiap melakukan kegiatan apapun, saya mencoba untuk mencatat hal-hal yang penting untuk bahan belajar, termasuk dalam produksi film. Meski masih seumur jagung, saya kira tak ada salahnya jika saya berbagi untuk sahabat-sahabat semua pecinta dan pembuat film. Mungkin saja dalam catatan saya tidak ditemukan dalam buku-buku literatur tentang produksi film. Maka jika ada kekurangan sangat terbuka untuk dikoreksi.
Sebagai karya kolektif, dalam produksi film tentu banyak faktor yang bisa menjadi kendala/hambatan. Ini saya paparkan semata-mata untuk diketahui dan sekaligus diantisipasi oleh para pembuat film (film maker).
Di antara kendala tersebut adalah:
1. Faktor SDM (Sumber Daya Manusia).
Mengapa ini saya tempatkan di urutan pertama? Semata-mata karena faktor SDM adalah faktor yang sangat krusial (penting). Tanpa adanya SDM yang berkompeten, sebuah film tak akan jadi baik, bahkan tak bermakna.
SDM tersebut tentu meliputi seluruh Tim pembuat film. Mulai dari Sutradara (Director), DOP (Director Of Photography), Direktur Artistik (Art Director), Manajer Lokasi (Location Manager), Pimpinan Produksi, Unit Manager, Waredrobe, MakeUp, bahkan sampai PU (Pelaksana Umum). Tak ketinggalan talent (aktor, aktris, supporting talent dan figuran/ekstras). Semua harus mempunyai kompetensi di bidangnya masing-masing.
Disamping harus mempunyai kompetensi masing-masing, Tim Produksi Film harus bisa kerjasama dalam kelompok dan tidak mengandalkan egoisme dalam berkarya. Karena jika saling mempertahankan egoisme masing-masing, proses produksi film akan mengalami hambatan yang signifikan.
Perlu saya berikan tekanan (stressing) di sini adalah peran Sutradara dan Pimpinan Produksi.
Seorang Produser yang notabene orang yang paling atas dalam struktur produksi film harus pandai-pandai memilih sutradara, pimpinan produksi dan kru yang lain dalam Tim Produksinya. Salah satu pegangan dalam menempatkan personel adalah The right man on the right place. Agar semua bagian/divisi mampu menyajikan kerja di bidangnya masing-masing secara maksimal.
Lalu bagaimana kesempatan orang-orang yang mau belajar dalam produksi film? Apakah tidak boleh ikut? Tentu boleh saja, tapi dalam konteks magang atau belajar pada orang-orang yang telah mempunyai keahlian di bidangnya.
Tidak hanya dalam bidang produksi film saja, bidang apapun, proses pembelajaran melalui praktek magang menjadi sangat penting. Karena dengan magang, kita ditunjukkan kasus-kasus real yang terjadi di lapangan, dan bukan dari teori saja. Kadang teori tak bisa menjawab tantangan permasalahan-permasalahan di lapangan.
2. Biaya Produksi.
Biaya produksi tidak akan menjadi masalah jika telah dicover oleh seorang produser.
Dalam konteks produksi film berbasis komunitas, biaya menjadi faktor yang cukup significant.
Biaya produksi bisa menjadi kendala, jika sebuah konsep dan naskah film 'menuntut' untuk dipenuhi sesuai dengan idealismenya, sedangkan realitas dana yang ada masih kurang. Dalam hal ini peran seorang Produser dan Pimpinan Produksi menjadi sangat penting. Peran mana yang bisa mengkompromikan antara kebutuhan naskah, keinginan sutradara dan realitas dana yang tersedia.
Misalnya, penggunaan equipment. Seorang Pimpro dan Unit Manajer harus mempetakan mana alat yang milik komunitas (tanpa harus menyewa atau dengan menyewa tapi dengan biaya murah), dan mana alat yang harus disewa dengam biaya standar. Sehingga akan kelihatan penghematan yang bisa dibuat.
Menyewa dengan biaya standard pun sangat mungkin untuk dinegosiasikan dengan pihak persewaan alat. Bisa pertimbangan kerjasama produksi (sebagai sponsor), atau durasi shootingday yang bisa memungkinkan mendapatkan potongan harga dari tempat persewaan alat.
Demikian juga kebutuhan property. Apalagi dengan konsep naskah film dengan setting tertentu atau setting waktu/era tertentu, tentu membutuhkan set property, bahkan kostum/wardrobe tertentu sesuai dengan naskah. Tim film, dalam hal ini Art Director harus bisa kompromi dengan Sutradara dan sekaligus menyiasati kebutuhan-kebutuhan tersebut. Sehingga bisa dilakukan penghematan.
Pola ini juga bisa diterapkan pada kebutuhan-kebutuhan akomodasi dan transportasi yang menjadi kewajiban unit manajer. Kebutuhan penginapan, konsumsi dan transportasi bisa dengan pola di atas.
Misalnya, di lokasi shooting yang cukup jauh dan tidak ada rumah makan yang tersedia, bisa diupayakan penyediaan konsumsi oleh penduduk setempat atau masak sendiri. Ini bisa dibandingkan jika harus pesan catering. Upaya penyediaan konsumsi bisa dibandingkan, mana yang lebih hemat bisa dijadikan pilihan.
Langkah-langkah tersebut bisa untuk referensi sekaligus bahan analisa untuk upaya penghematan dalam produksi sebuah film.
3. Pengaturan Jadwal Shooting.
Sekilas masalah ini sepele. Namun ketika kita melibatkan banyak personel, baik kru, talent dan pihak-pihak lain, pengaturan jadwal menjadi persoalan yang cukup berarti (significant). Karena setiap personel mempunyai kepentingan masing-masing yang kadang-kadang sulit untuk disinkronkan. Apalagi menyangkut artist atau talent yang sangat sibuk.
Schedulling adalah hasil dari breakdown naskah secara teliti oleh seorang asisten sutradara berdasarkan beberapa hal, diantaranya berdasarkan lokasi shooting, waktu, dan lain-lain sesuai dengan kebutuhan. Tidak menutup kemungkinan bahwa jadwal shooting akan berubah ketika pelaksanaan di lapangan.
Maka dibutuhkan kalkulasi sedetail mungkin agar di lapangan tidak terjadi perubahan jadwal. Karena perubahan jadwal akan menggeser keseluruhan jadwal yang telah tersusun. Dan akibatnya adalah tidak terpenuhinya seluruh scene yang ada dalam naskah. Sehingga meninggalkan hutang scene. Ini yang pada akhirnya menyebabkan pembengkakan biaya. Coba bayangkan, jika satu hari saja overtime, maka tim produksi harus menghitung seluruh kebutuhan. Mulai sewa alat, konsumsi, transportasi, akomodasi, talent dan kebutuhan-kebutuhan lainnya.
4. Terjadinya resistensi warga terhadap aktifitas shooting film.
Sudah saatnya tim produksi film berpegang pada "rule of the game" yang baik. Karena tim berhadapan dengan warga di mana lokasi shooting dilakukan.
Misalnya, berusaha pendekatan secara baik dan ramah kepada warga sekitar lokasi shooting. Tim produksi dalam hal ini manajer lokasi harus bisa menjadi ujung tombak dalam komunikasi dengan warga sekitar. Tanpa ada komunikasi yang baik, warga akan resisten terhadap keberadaan aktifitas shooting yang kita lakukan.
Namanya juga orang banyak, kadang ada sebagian teman kita (kru film) melakukan hal-hal yang kurang etis saat shooting. Sehingga muncullah persepsi negatif warga lokasi terhadap para pembuat film tersebut. Inilah yang akan menimbulkan masalah, termasuk mewarisi 'dosa' tim produksi pada pembuat film lainnya yang akan menggunakan lokasi yang sama.
Untuk menghindari hal-hal itu, saya kira perlu ditradisikan, bahwa tim produksi film harus berpegang pada etika dan norma hukum yang ada. Dan sebagai leader dalam produksi, Pimpro harus menekankan kepada semua kru film untuk menjaga sikap dalam komunikasinya dengan warga saat shooting di lokasi.
Acap kali pemilik lokasi atau warga sekitar lokasi shooting mengeluhkan hal-hal yang mungkin sepele, namun bisa mengurangi kepercayaan (trust) kepada Tim Produksi film. Sehingga jika ada Tim Produksi film lain yang akan menggunakan lokasi tersebut, akan mengalami hambatan, bahkan dotolak. Misalnya masalah kerusakan barang-barang property yang ada di lokasi, padahal barang-barang tersebut barang sewaan. Atau kebersihan lokasi shooting yang tidak dijaga. Kadangkala Tim Produksi tidak memperhatikan hal-hal sepele ini. Dan ternyata hanya persoalan buang sampah pada tempatnya pun bisa menjadi masalah yang cukup significant.
Penting juga kiranya mencantumkan hal ini dalam klausul kewajiban kru film dalam surat kontrak. Agar semua jelas peran dan konsekuensi-konsekuensinya dalam produksi film. Karena bagaimanapun sudah saatnya kita serius dan tidak main-main dalam bidang kreatif. Apalagi terkait dengan dana dari produser ataupun sponsor.
5. Cuaca
Cuaca sangat mempengaruhi hasil dari kerja kita dalam produksi film. Karena cuaca sendiri telah masuk dalam naskah dan menjadi faktor yang sangat krusial dalam konsep jalannya naskah. Terutama film fiksi naratif.
Meskipun secara teknis visual waktu bisa direkayasa (siang menjadi malam, atau sebaliknya), tidak semua bisa dibuat seperti itu. Karena hasilnya tetap berbeda, sehingga bisa mengurangi kualitas sebuah film.
Cuaca juga sangat berpengaruh terhadap kinerja keseluruhan kru produksi film. Bagaimanapun fisik para kru film perlu dijaga agar menghasilkan karya yang maksimal pula. Di samping itu perlu antisipasi pada keamanan alat. Karena kesalahan sedikit dalam treatment alat, kewajiban kita menjadi bertambah untuk mengganti alat yang telah kita pakai, karena rusak.
Inilah sekilas catatan saya tentang hambatan-hambatan dalam produksi film. Ini sebagai catatan dari orang yang sangat menghormati proses belajar. Bagi saya proses kreatif harus bisa menginspirasi teman-temannya, bahkan sekuat mungkin untuk bermanfaat bagi sesama.
Semoga bermanfaat. ***
Wallahu a'lam
Â
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H