Mohon tunggu...
Nurul Muslimin
Nurul Muslimin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Orang Biasa yang setia pada proses.

Lahir di Grobogan, 13 Mei 1973

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Internet, Moralitas, dan Gaya Hidup: Ada Apa dengan Kita?

25 November 2016   09:03 Diperbarui: 25 November 2016   10:34 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya masih ingat ketika awal-awal internet muncul di hadapan saya dan saya kenal (sekitar tahun 1995), sebuah dunia "lain" yang demikian terhampar sangat luas, seperti tak ada batas. Dunia seakan tanpa sekat. Dalam hitungan detik kita bisa berkomunikasi dengan orang yang berjarak ribuan kilometer. Saat itu sepertinya segala sesuatu bisa dilakukan dengan cepat.

Skripsi saya tahun 1998 mengulas dan membedah pemikiran seorang tokoh Jerman bernama Amitai Etzioni dalam bukunya "Moral Dimension toward a New Economics". Saat itu saya tidak menyangka bahwa dengan internet tiba-tiba saya menemukan alamat emailnya, dan mendapatkan banyak karya-karyanya di internet. Saya pun berkomunikasi dengan beliau.

Wow!, pikir saya. Internet menjadi sebuah terobosan penghilang sekat dan jarak antar negara, dan bisa menjembatani kita berkomunikasi dengan begitu cepatnya. Fikiran saya pun terbuka seluas-luasnya untuk mencari referensi untuk skripsi saya itu. Maka footnote-nya pun tertulis sebuah link nama situs (www.......com/org/ dll.) Waktu itu saya tidak menemukan seorang teman mahasiswa pun yang membuat referensi skripsi/karya tulisnya dengan nama situs web. Sepertinya referensi yang merujuk pada situs web dalam karya tulis/skripsi masih jarang di dunia akademik. Kemudian yang membuat saya bersyukur adalah, tidak ada satupun footnote(referensi) dari situs web yang ditanyakan, baik oleh dosen pembimbing maupun dosen penguji. Dalam konteks ini saya anggap dosen pembimbing maupun dosen penguji saya percaya, bahwa saya merujuk karya dari internet (situs web) memang betul-betul ada. Karena saya tidak pernah ditanya referensi saya ketika saya ujian pendadaran (Munaqosyah). Di situlah saya merasa dimanjakan oleh internet dengan kemudahan mencari referensi.

Selancar saya di dunia internet semakin lama semakin memberikan wawasan yang luas. Dan saya sangat sadar di dunia internet pun sama dengan dunia nyata. Ada kebaikan, ada keburukan, kebohongan, kemunafikan, dan segala macam sifat manusia. Dunia hitam dan putih marak dan kadang berdampingan. Sehingga pada titik tertentu, akhirnya secara substansial saya tidak membedakan mana dunia nyata, dan mana dunia internet. Karena nilai-nilai yang ada di dua dunia itu sama. Yang membedakan hanya dimensi saja.

Terkait dengan nilai demokrasi dalam dunia perpolitikan, dunia kebebasan mengeluarkan pendapat dan hak asasi manusia, menurut saya keberadaannya sama seperti di dunia nyata. Ada koridor-koridor yang tetap harus berlaku. Ada hukum yang wajib ditaati kita semua sebagai penghuni dunia maya. Karena bagaimanapun, tanpa ada turunan nilai moralitas dalam bentuk hukum, manusia akan berjalan tanpa koridor, tak teratur dan riskan menimbulkan absurditas kehidupan yang pada gilirannya akan menciptakan masyarakat chaos. Dengan adanya kebebasan berpendapat, nilai demokrasi, hak asasi manusia dan nilai-nilai yang --kata orang-- membebaskan, tidak lantas internet menjadi negeri antah-barantah tak bertuan yang bebas sebebas-bebasnya. Apa lagi dengan adanya Undang-undang ITE.

Dulu saya pernah membuat status di media sosial, kurang lebihnya seperi ini: "Internet bukanlah ruang gelap antah barantah yang kita bebas melakukan apa saja. Karena di sana juga bersemayam nilai-nilai." Maraknya status atau komentar dari netizen yang tidak beradab, bahkan menjurus pada kejahatan, sebetulnya menunjukkan tingkat moralitas yang mengalami degradasi yang amat parah. Bahkan hanya gegara berbeda pendapat atau pilihan saja, para netizen saling caci di dunia maya. Mereka saling menjatuhkan secara sarkastik dan melampaui batas-batas moralitas. Memprihatinkan!

Sekarang ini --orang Jawa bilang-- hampir setiap hidung (orang) mempunyai gadget. Delapan puluh (80) juta lebih masyarakat Indonesia telah memakai gadget, dan setiap tahun selalu bertambah secara pesat. Pergaulan di dunia maya yang demikian carut-marut tentu akan membawa pola dan sikap netizen. Ada yang mengikuti arus tanpa filter sama sekali. Ada yang sedikit menyaring informasi-informasi yang masuk. Ada pula yang membentengi diri dari pengaruh mainstream negatif. Ada yang menyerukan pada hal-hal positif, dan ada pula yang pembuat onar. Secara simpel saya menengarai karena di dunia maya kita bisa bersembunyi di balik 'topeng-topeng' akun palsu. Dan pelaku kejahatan, amoral dan pelaku negatif lainnya merasa mendapatkan "persembunyian" yang dianggap aman. Sehingga mereka melakukan apa saja yang negatif, merasa bebas tanpa batas untuk menyerang siapapun. Mereka yang seperti itu menganggap Tuhan tidak ada di dalam internet. Padahal Tuhan selalu menempel di urat leher kita. Ini yang mestinya yang selalu saling mengingatkan.

Terlepas dari itu semua, maka dunia pendidikan yang tetap menjunjung tinggi moralitas, menghargaiunggah-ungguh(sopan-santun),mengedepankan toleransi, peduli terhadap yang lemah dan lain sebagainya tatap perlu dan harus ditanamkan kepada anak-anak kita. Agar tidak tergerus jaman, diombang-ambingkan situasi, dan tidak terdistorsi oleh nilai-nilai negatif.

Gaya hidup anak-anak muda sekarang ini tidak jarang kita temui mereka berkumpul, tapi justru saling diam, tak ada komunikasi secara baik karena semua sibuk dengan gadgetnya masing-masing. Ini menunjukkan bahwa mereka memperlakukan gadget telah melampaui batas hubungan relational yang baik. Menomorsatukan gadget daripada silaturahmi langsung dengan teman-temannya. Kebergantungan mereka terhadap gadget menjadi sangat tinggi, tanpa kepedulian kepada lingkungan sama sekali. Bahkan secara ekstrim, ketika terjadi kecelakaan pun, lebih memilih mengambil foto/video pada obyek yang mengalami kecelakaan dari pada menolong korban. Naif!

Kemajuan manusia dalam mengatur ini semua lambat laun akan kentara. Munculnya Undang-undang ITE adalah instrumen positif pada setiap pengguna dunia maya. Karena di sana diatur segala macam koridor yang dibentengi dengan nilai-nilai. Secara epistemologis, munculnya ITE tidak lain berangkat dari nilai-nilai moralitas yang ada (meskipun tidak tertulis) yang berlaku di Indonesia. Bahkan sekarang ini telah mulai menjerat mereka yang mencoba melewati batas-batas hukum. Ini pertanda positif, bahwa dunia internet bukanlah dunia antah-barantah untuk melakukan sesuatu dengan bebas sebebasnya. Tapi menurut saya kesadaran para netizen akan keberadaan Tuhan di urat lehernya adalah lebih penting dari sekedar Undang-undang yang terangkum dalam kertas-kertas. ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun