Industri kreatif digadang-gadang sebagai sektor yang menyumbang pertumbuhan ekonomi yang cukup signifikan. Maka di sana-sini banyak pelatihan tentang industri kreatif, dalam rangka menumbuhkan perekonomian nasional.
Tak dapat dipungkiri, bahwa dalam dunia entrepreneur UMKM, yang notabene menduduki persentasi terbesar industri di Indonesia (99%), bahwa strata ekonomi tersebut (UMKM) sarat dengan nilai-nilai kemandirian, keuletan, dan kreatifitas. Ini terbukti ketika terjadi krisis ekonimi 1997 siapa yang mampu bertahan? UMKM!
Kita tahu bahwa Pemeritah juga mendukung sektor UMKM, melalui up-grading SDM pelaku UMKM dengan pelatihan-pelatihan, aspek permodalan dengan KUR-nya (Kredit Usaha Rakyat), aspek marketing melalui pameran-pameran, patut kita apresiasi. Namun setelah berkembang, apa yang terjadi? Laju UMKM seperti dihadang oleh sistem perpajakan. Kalo boleh saya mengibaratkan, seekor sapi yang kurus, kemudian dilakukan penggemukan, lalu diperah susunya sampai tak berdaya!
Di sini yang ingin saya katakan adalah, bahwa jika kita mempunyai paradigma kreatif dalam mengelola negara, maka:
1. Pajak bukanlah satu-satunya jalan untuk mensejahterakan rakyat, karena toh negara mempunyai ratusan BUMN yang bisa eksplorasi kekayaan Indonesia dengan baik. (Katanya Indonesia negara kaya). Ya minimal kita berorientasi dan berupaya sekuat tenaga agar BUMN mampu memberikan keuntungan yang dominan, atau minimal signifikan terhadap APBN. Supaya elelemen pajak bisa berkurang porsinya di dalam APBN.
2. Melihat kondisi Indonesia yang dari dulu berkembang tak berkesudahan, saya masih sepakat dikenakannya sistem pajak, namun harus manusiawi dan referensi nilai besaran pajak harus dikaji dengan baik. Libatkan pelaku UMKM, atau elemen masyarakat lain dalam kajian untuk menentukan besaran pajak.
3. Buka transparansi penggunaan pajak, agar rakyat tahu kemana uang pajak yang telah dibayarkan. Jangan sampai muncul Gayus-gayus baru, karena ini sangat menentukan kredibilitas dan bonafiditas pemerintah, yang akan melahirkan kepercayaan (trust) dari rakyat. Dengan demikian otomatis resistensi masyarakat terhadap pajak akan tereliminasi.
Semua itu menjadi dasar pola pikir kita berpijak dalam mengelola negara. Saya yakin masih ada banyak variabel penentu kebijakan. Namun saya yakin, jika pijakan kita dan orientasi kita pada kesejahteraan rakyat, pajak menjadi bukan satu-satunya instrumen sumber APBN. Minimal sekian tahun ke depan pajak bisa kita turunkan di level berikutnya di bawah BUMN atau sumber lain. Agar rakyat tidak merasa dihadang dengan sistem pajak.
Saya berfikir simpel, dan membayangkan wacana pajak untuk pembangunan negara, seperti dalam scoop Desa. Seorang Lurah/Kepala Desa menyerukan 'iuran' pada warganya untuk membangun jalan desa atau program lain. Semakin banyak kebutuhan akan pembangunan di wilayah desa tersebut, Kepala Desa pun memungut lebih banyak lagi 'iuran' kepada warganya. Padahal di situ ada potensi usaha warga dalam bentuk BUMDes, misalnya, yang bisa diberdayakan untuk membiayai pembangunan jalan tersebut. Maka bisa menjadi dua pilihan kebijakan; mau mengandalkan 'iuran' warga atau mengandalkan hasil BUMDes? Saya yakin, jika Kepala Desanya mempunyai pola fikir kreatif dan seorang entrepreneur, dia akan mengandalkan BUMDes daripada 'iuran' warga. Meskipun pilihan kedua tidak berarti tanpa iuran warga, tapi 'iuran' warga menjadi alternatif kedua setelah dimaksimalkan usaha BUMDes. Karena menurut saya adanya 'iuran' warga (baca: pajak), rasa memiliki (sense of belonging) warga menjadi tampak, tapi tidak memberatkan.
Saya tidak bermaksud menyederhanakan permasalahan negara yang saya transformasi menjadi permasalahan sebuah desa, dan sekali lagi saya yakin banyak variabel dalam menentukan kebijakan sebuah negara. Tapi minimal dari pola fikir yang simpel ini akan menjadi ruh pola pembangunan negara. Karena dari hiruk-pikuk wacana perpajakan sekarang ini sepertinya telah menyeret kita pada mainstream pola fikir yang melahirkan sistem yang menggantungkan pajak secara total! (Untuk tidak mengatakan peminta-minta pada rakyat).
Nah, sekarang kita bisa menilai, tipikal dan pola fikir yang mana yang lebih keren, pola fikir kreatif atau peminta-minta? ***