[caption caption="https://www.google.co.id/search?q=merah+putih&client=ms-android-hisense&prmd=ivn&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=0ahUKEwiCzdCN-cXOAhUGv48KHa53Bw8Q_AUIBygB&biw=360&bih=559#imgrc=LscQBk2KyLi68M%3A"][/caption]
Mencermati waktu adalah kesadaran dimensional dalam ranah hidup. Menghargai sebuah proses, menjadi 'matahari' penerang perjalanan hidup. Karena 'proses' sendiri melekat pada dimensi waktu. Sedangkan hasil proses adalah buah dari perjuangan.
Hasil perjuangan tak lebih utama dibanding jerih payah menjalani proses hidup. Karena hasil proses ada di tangan Yang Maha Penentu hidup.
Bangsa Indonesia telah 71 tahun menikmati kemerdekaan hasil dari proses perjuangan yang panjang dan berdarah-darah. Apa yang kita rasakan saat ini adalah impian para pahlawan yang merelakan darahnya tumpah di medan laga. Sudahkah kita mencermati itu di kedalaman batin kita?
Gemerlapnya kehidupan pasca kemerdekaan seakan menjadikan kita terlena, bahkan dininabobokan oleh kebebasan, dimabokkan oleh keserakahan untuk menguras kekayaan bangsa, atau dilenakan dengan carut-marutnya rebutan kekuasaan, dan ironisnya dengan lantang kita katakan semua itu 'atas nama rakyat'. Memprihatinkan!
Kekuasaan adalah amanah, tanggungjawabnya tidak hanya kepada rakyat yang dipimpin, tetapi juga kepada Yang Maha Kuasa. Manusia yang menginginkan kekuasaan sudah seperti buta akan hukum, apalagi etika.
Manusia bangga dengan kekayaan dan kekuasaan. Tidak malu dengan Yang Maha Kaya dan Maha Kuasa. Jangankan sadar, bahkan keserakahan dan nafsu berlebihan tak mampu dikendalikan.
Jika dahulu Ibu Pertiwi mengeluarkan air mata, mungkin sekarang darah yang mengalir deras dari kelopak matanya.
Penggalan kata "Jangan tanya apa yang diberikan negara & bangsa kepadamu, tapi tanyalah apa yang telah kalian berikan kepada negara & bangsamu" perlu kita renungkan dengan kedalama hati. Dengan kesadaran tertinggi dari makhluk yang menyandang 'wakil' Tuhan di Bumi ini. Sudahkan kita menyadari semua ini?
Ibu Pertiwi tidak hanya mengeluarkan darah di matanya jika kita tidak pernah sadar. Bahkan meregang nyawa karena melihat anak bangsa yang buta akan kesadaran ini semua.
Di satu sisi, carut marut kehidupan kota yang gemerlap nan mewah, dan terucap pertanyaan "besok makan siapa?"; di sisi lain, nun jauh di ujung pulau terpencil, masih ada anak bangsa yang lapar. Yang bertanya "besok pagi apa bisa makan?"