Mohon tunggu...
Nurul Muslimin
Nurul Muslimin Mohon Tunggu... Dosen - Orang Biasa yang setia pada proses.

👉The all about creative industries world 👈 Producer - Writer - Lecturer - Art worker

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Stop Manipulasi Karya! (Merespons Kasus Karya Cipta Seni Film "Sudra")

26 Mei 2016   19:00 Diperbarui: 21 Agustus 2016   16:41 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Ngobrol santai dg Mas Garin"][/caption]Jogja sebagai kota seni budaya, selama ini dikenal sangat menjunjung tinggi penghargaan atas karya orang lain. Seorang kreator dengan idealisme tertentu berjuang keras bahkan rela berkorban demi idealisme karya tersebut. ‘Tradisi’ itu telah melekat sejak para seniman muncul di kota budaya ini.

Tidak hanya itu, di Jogja dengan segudang para kreator seni telah terbiasa dengan ‘tradisi’ bedah karya yang cukup ‘kejam’. Di mana sebuah karya akan ditelanjangi dan dibedah dengan segala macam pisau analisa. Bisa dibayangkan betapa sebuah karya menghabiskan enerji yang besar untuk mempertahankannya. Sebut saja Novel karya Dee Lestari berjudul “Supernova” (Tahun 2000) di Lembaga Indonesia Perancis (LIP) yang dielu-elukan dan di puji di kota-kota lain (Jakarta, Bandung dll) sebagai sebuah karya yang bagus & mempunyai breaktrough (terobosan) dalam dimensi ruang dan waktu, tapi di Jogja dikupas habis, dikuliti dan di'telanjangi' oleh seniman-seniman jogja dengan berbagai macam literature dan pisau analisa. Itu baru satu contoh, belum contoh-contoh karya yang lain, baik buku, film, seni rupa dsb yang mengalami hal yang sama.

Atmosfir berkarya di Jogja yang demikian itu membawa konsekuensi logis, bahwa tanggung jawab seorang kreator (dalam konteks ini seniman) adalah sangat berat. Seorang kreator harus mampu mempertanggungjawabkan karyanya kepada publik.

Di sisi lain, Jogja dengan atribut kota budaya, baru saja dihentakkan dengan kasus ‘penyerobotan’ hasil karya (khususnya karya film) oleh pihak yang tidak berkapasitas dan sekaligus tidak bertanggung jawab. Ironis!

Film Pendek berjudul "Sudra" yang diproduksi oleh PH Semar Mesem pada tahun 2015 telah mengalami hal yang sangat tabu dan memalukan. Film ini tiba-tiba muncul di perhelatan Festival Film Cannes Perancis pada Bulan Mei 2016 dengan posisi Director, Script Writer, dan beberapa posisi lain yang berbeda dari aslinya, tanpa konfirmasi dengan personal yang menghandle di lapangan.

Sepertinya ini persoalan yang sederhana, namun dalam konteks kekaryaan dan Hak Intektual, ini menjadi persoalan yang sangat Krusial. Bukan masalah Festival Cannes-nya, namun kemunculan film ini dengan 'baju' credit title yang berbeda dari aslinya adalah pendistorsian dan pencideraan hasil karya sang kreator. Lebih jauh lagi dalam konteks hukum telah menjadi sebuah kejahatan pembohongan terhadap publik.

Seperti kita ketahui, bahwa karya seni film adalah karya kolektif, dimana karya ini terwujud merupakan kerja bareng dari berbagai macam bagian atau divisi untuk meraih tujuan dalam mewujudkan film tersebut.

Dalam manajemen produksi sebuah film, posisi-posisi tersebut mempunyai peran masing-masing yang sangat krusial. Dan capaian-capaian tiap divisi adalah hasil karya cipta mereka yang telah bekerja dengan penuh dedikasi yang tinggi dalam berkarya. Maka kemunculan hasil karya film dengan label divisi yang berbeda, akan melahirkan rasa ketidakadilan, karena telah terjadi pembohongan data riil.

Sedikit tambahan, pada bulan puasa kemarin, saya sempat ngobrol dan konsultasi dengan Mas Garin Nugroho tentang persoalan ini. Beliau hanya mengatakan satu kata: "Tuntut!" Itu saja. Mungkin ini adalah sebuah kata yang keluar dari seorang yang telah mengenyam asam garam dunia perfilman. Maka kita perlu menjadikannya pertimbangan dan lebih bijak untuk mensikapi hal ini dan sekaligus gentle dalam berkarya. 

Hak Kekayaan Intelektual (Intellectual Property Right) dalam konteks moralitas telah melekat sejak sebuah karya diciptakan oleh Sang Kreator. Karena dia (HAKI) tidak hanya beriringan dengan kemunculan karya, namun lebih dari itu, dia telah bersenyawa dengan sang kreator, dan sekaligus menjadi benteng pertahanan dari pencideraan atas tindakan manipulatif oleh pihak-pihak yang tidak mengindahkan kebenaran realitas ataupun sejarah.

Tindakan manipulatif atas karya orang lain menjadi karya dirinya sendiri, biasanya telah dirasuki oleh nafsu serakah, krisis eksistensial, dan egoisme yang membabibuta demi ‘kenikmatan-kenikmatan’ eksistensi sesaat yang sungguh sangat memalukan, terutama bagi orang-orang yang sangat menjunjung tinggi komitmen pada moralitas. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun