Mohon tunggu...
Nurul Muslimin
Nurul Muslimin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Orang Biasa yang setia pada proses.

Lahir di Grobogan, 13 Mei 1973

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Ada Ruang Kompromi di Antara Tim Artistik & Tim Produksi

24 Desember 2015   21:53 Diperbarui: 24 Desember 2015   22:03 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sederhana saja, dalam sebuah pertunjukan tanpa melibatkan tukang sapu, tentu akan menjadi kacau. Panggung akan kotor, ruang audiens juga penuh sampah, dan semua menjadi tidak kondusif untuk sebuah pertunjukan yang elegan, apik dan patut ditonton. Dalam sebuah produksi film tak akan berjalan dengan baik tanpa peran seorang PU (Pelaksana Umum).

Di dalam tim produksi sendiri harus terbentuk sistem yang baik, tanpa ada overlap, the right man on the right place, sistem pendelegasian yang baik, dan tentu dalam kerangka Planning, Organizing, Actuating, dan Controlling yang baik pula.

Dua ruang, Artistik dan Tim Produksi ini bisa kita proyeksikan dalam dunia musik mayor label, di mana seniman/artis dalam wilayah artistik, sedangkan produser dalam area Tim Produksi. Namun yang terjadi adalah kebalikannya dari kasus di atas. Kebanyakan yang terjadi adalah hegemoni produser yang notabene profit oriented kepada artist yang ’bekerja’ dalam wilayah kreatifitas dan dalam ruang ’kebebasan’ melepaskan ide-ide. Bisa dikatakan bahwa 90% seniman/artis akan angkat tangan, menyerah menghadapi produser. Artis hanya tunduk dengan perintah-perintah produser atas nama kepentingan market/pasar, atau bahkan kepentingan-kepentingan politik tertentu. Ide-ide kreatif terpasung begitu saja dengan alasan pasar. Menyedihkan!

Tiba-tiba saya ingat, sekitar tahun 2000 ngobrol dengan seorang manajer salah satu grup musik terkenal tahun ’90-an. Dia banyak cerita tentang perjuangan banyak grup band/musik yang kaset/CD demo-nya berakhir di tempat sampah sang produser, hanya gara-gara nama band/grup-nya tidak marketable! Atau hanya karena cover kaset/CD-nya kurang meyakinkan! Duh, kasihan sekali! Padahal pembuatan karya itu sudah memakan banyak energi, fikiran, tenaga dan tentu finansial!

Perjuangan seniman dalam grup musik memang panjang, meski kadang-kadang ada seniman yang mencuat dan diterima produser gara-gara muncul di YouTube atau Face Book! Sebelum munculnya dunia internet dan YouTube, seniman atau grup musik harus melakukan perjalanan yang panjang untuk menembus ’tembok’ produser untuk recording! Mulai pembuatan karya atau lagu dan berjuang dengan olah fikir kreatifitas, kemudian mencari dan mengumpulkan teman-teman untuk bergabung dalam sebuah grup, setelah itu berkumpul untuk latihan, berkolaborasi dan persenyawaan karya harmoni, sampai pada recording untuk pembuatan Kaset/CD-demo untuk diajukan kepada produser.

Belum lagi jika ada konflik internal grup, baik yang bersifat adu kreatifitas, maupun –kadang-kadang—muncul kasus-kasus internal grup itu sendiri. Bahkan tak jarang kasus-kasus percintaan muncul di antara mereka yang justru menimbulkan friksi yang tak perlu. Semua itu menguras energi seniman/artis.

Maka sangat kasihan, jika perjuangan yang panjang mereka hanya menghasilkan kaset/CD yang berakhir di bak sampah produser. Inilah bentuk ekstrim hegemoni dunia industri terhadap dunia seni, khususnya seni musik.

Dua wilayah itu, industri dan karya seni, mestinya mempunyai ruang kompromi, yang mana kedua wilayah itu bisa berdiskusi dan bahkan ’berdebat’ untuk hal yang menjadi tujuan bersama, tanpa saling menafikan bahkan merendahkan. Dan ketika salah satu kekurangan argumen dalam perdebatan itu, hendaknya mengakui secara gentle untuk melakukan ide pihak lainnya. Karena seni acap kali berkutat di wilayah baik-buruk, indah dan tidak indah yang relatif. Maka apa pun yang menjadi keputusan, adalah sebuah pilihan, dan bukan pilihan antara benar dan salah.

Dua ruang antara artistik dan produksi seni kadang seperti air dan minyak, tak bisa bersenyawa. Persenyawaannya membutuhkan enerji yang cukup besar. Maka ruang kompromi di antara keduanya menjadi penting untuk sebuah hasil karya seni yang maksimal. Meski tetap ada batasannya. Batasannya adalah hal-hal fundamental dalam simbol-simbol dan prinsip-prinsip dasar yang sudah menjadi acuan karya yang akan diwujudkan.

Keberadaan ruang kompromi itu akan melahirkan karya yang relatif maksimal, dan dapat diterima oleh publik. Sehingga tak ada penindasan yang perlu di antara keduanya. Dan semua akan happy. ***

***Jogja | 12 Des 2015 ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun