Wajah Kekuasaan Turut Membentuk Moralitas Publik
“kekuasaan hanya suatu kenyataan fisik dan sosial, tetapi tidak memuat suatu wewenang, karena tidak ada seorang manusia secara asali mempuanyai wewenang atas manusia yang lain”.
Kekuasaan selalu berwajah dua, mempesona sekaligus menakutkan. Tentunya karena banyak hal yang mungkin bisa dilakukan oleh Penguasa. Dalam konteks kenegaraan misalnya, Penguasa Negara sangat mungkin sekali dapat mengendalikan aparat, media masa, hukum dan uang sekalipun. kesewenangan itulah yang menjadi sumbu awal terjadinya eksploitasi, korupsi pelanggaran HAM, bahkan diskriminasi serta menindas rakyat banyak.
Demokrasi, monarki atau asristokrasi adalah perangkat sistem yang biasanya digunakan sebuah Negara untuk membentuk arah dan tujuan Negara tersebut. Namun, untuk menjadikan salah satu perangkat sistem sebuah negara, terlebih dahulu haruslah dilakukan penyatuan konsensus terkait suatu hal tersebut.
Plato misalnya, seorang filsuf asal yunani yang lahir pada abat ke-4 SM. Ia mengatakan, dalam sebuah Negara tidak penting sistem apa yang digunakan, tapi bagaimana seorang penguasa dapat memberikan serta menjamin keadilan bagi rakyatnya. Karena idealnya keadilan adalah hal penting dalam kehidupan manusia.
Ironisnya, kehidupan manusia tidak selalu berjalan secara ideal, keadilan terasa sulit untuk di dapat, begitupun di Negara kita Indonesia. Diakibtkan kebijakan-kebijakan pemerintah yang acap kali tidak pro kepada rakyat, seperti persoalan HAM yang tak kunjung selesai dari tahun ke tahun.
Hal tersebut memberikan sinyal bahwa, penegak hukum dan keadilan di Negeri ini masih buram. Lihat saja misalnya, kasus Marsina, Munir, Wiji Tukul hingga persoalan Agraria yang sampai sekarang belum selesai. Ditamba eksploitasi alam, diskriminasi, Judi Online, TNI, Tentara yang seweng-wenang dalam menindak rakyat, Mafia Tanah, Narkoba dan kasus korupsi yang kian meningkat, seakan-akan hukum di Negara ini tumpul keatas tajam kebawah.
Fenomina ini memberikan dampak pada hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Karena, ia dianggap belum mampu memenuhi hak-hak rakyat seperti penegak hukum dan keadilan. Bentuk kongkrit tidak percayaan tersebut bisa kita lihat dari belbagai aksi seperti perlawanan civil socety, demo mahaiswa, poster mosi tidak percaya yang dibentangkan ketika ada kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat. Oleh karena itu, hal tersebut tidak boleh dibiarkan begitu saja agar tidak mencederasi demokrasi.
Padahal menurut Thomas Aquinas Filsuf terbesar pada abat pertengahan dii Eropa. Bagi dia, kekuasaan hanyalah suatu keanyataan fisik dan sosial, tetapi tidak memuat suatu wewenag, karena tidak ada seorang manusia secara asali mempunyai wewenang atas manusia yang lain. Artinya, tujuan dari kekuasaan adalag menciptakan kesejahteraan bagi masnyarakat bukan untuk mengeksploitasi apalagi mendahulukan kepentingan pribadinya (baca kuasan dan moral).
Maka dengan dilantiknya kabinet Merah Putih 2024-2029. Khususnya Menkopulkuman, Masyarakat menaruh harapan besar padanya terkait penegak hukum dan keadilan mengenai kasus HAM dan ketertimpangan sosial (social injustice) yang terjadi di Negara kita ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H