Mohon tunggu...
Nurul Mahmudah
Nurul Mahmudah Mohon Tunggu... Guru - Generasi Sandwich Anak Kandung Patriarki

Si sanguinis yang sering dibilang absurd. Aku tukang rebahan yang berharap bisa memberikan perubahan untuk Negara.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Membuka Perspektif Sunat Perempuan: Hukum dan Kontroversinya

6 Februari 2023   23:29 Diperbarui: 6 Februari 2023   23:34 452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : magdalene.co

Teringat 24-26 November 2022 lalu, saya menghadiri forum Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) II di Bangsri, Jepara, Jawa Tengah. Diforum inilah awal mula saya mendengar isu terkait sunat perempuan, kalau di KUPI menggunakan istilah P2GP (pemotongan dan atau pelukaan genitalia perempuan). Sayangnya satt itu saya tidak focus pada materi ini, dan lebih memilih bergabung dengan forum pembahasan "Hukum Pemaksaan Perkawinan".

Meski demikian, saya tetap mendengar pandangan dan sikap keagamaan KUPI II terkait P2GP ini :

"Hukum melakukan Tindakan P2GP tanpa alasan medis adalah adalah Haram," begitulah penggalan pembacaan sikap keagamaan KUPI II.

Sepulang dari forum ini, baru saya memiliki kegelisahan dan hasrat lebih dalam untuk mengulik terkait P2GP ini, belum lagi karena hasil sikap keagamaan KUPI II ini juga menimbulkan kontroversi tidak hanya dikalangan masyarakat umum, tetapi juga sampai pada kalangan tokoh pemuka agama dan pimpinan pondok pesantren.

Mulai menulis di lembaran kosong dengan pertanyaan dasar, "Apasih yang menjadi dasar sejarah dilakukan sunat perempuan?". Pertanyaan pembuka ini saya lontarkan kepada suami saya, dan ia menjawab :

"Tidak ada yang tegas dalam hadits pun tidak pula ada anjuran maupun larangannya," ungkap ia.

Jadi, rupanya sunat perempuan ini tidak memiliki dasar yang kuat terkait anjuran dan juga larangannya. Namun pernah dalam sebuah hadits Nabi disebutkan, "Idzal Taqal Khitanani" yang artinya apabila bertemu 2 khitan (kelamin laki-laki dan perempuan). Atas dasar ini, menurut para ulama baik laki-laki maupun perempuan harus berkhitan. Hadits terkait hukum praktek sunat perempuan ini pun ditetapkan bermacam-macam, ada yang mewajibkan , sunnah, dan mubah, bahkan haram.

Dalam bahasa Arab sunat perempuan disebut khifadh dari kata khafdh artinya memotong ujung klitoris pada vagina terjemahan dari (khitan al-untsa) atau (khitan al-banat), dan dikatakan juga (khafdh al-banat) menurunkan kepekaan alat kelamin anak perempuan, kerena dengan mengkhitankan anak perempuan, berarti kepekaan alat kelaminnya tidak terlalu tinggi, sehingga libido (kekuatan seksual) dimasa remaja dapat dikendalikan. Hal ini yang juga mendasari diwajibkannya sunat perempuan, bahkan mengikut standart budaya pun memang sunat perempuan diharuskan dengan alasan menundukkan perempuan agar tidak "binal".

Madzhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali tidak mewajibkan sunat perempuan. Dasar hukum mereka hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra.:

: : . ( )

Artinya: Dari Abu Hurairah ra., rasulullah saw., bersabda: "Khitan adalah sunnah bagi laki-laki dan sesuatu yang mulia bagi anak perempuan". (HR. Ahmad dan al-Baihaqy).

Dalam hadits tersebut dikatakan, sunat perempuan bukanlah anjuran, melainkan sekedar kebolehan, tidak ada konsekuensi hukum sama-sekali. Walaupun disebutkan dalam hadits, tersebut sebagai suatu kebolehan, namun dalam banyak hadits lain ditegaskan, kalau seseorang mau melakukannya, lakukanlah dengan tidak melukai vagina. Misalnya Abu Daud meriwayatkan: "Potong sedikit saja pada kulit atas prepuce atau kulit yang meliputi klitoris, dan jangan potong terlalu dalam (jangan memotong klitoris), agar wajah perempuan lebih bercahaya dan lebih disukai oleh suaminya".

Menarik untuk dicatat, Dosen IAIN NWDI Pancor menjelaskan terkait khitan baik laki-laki dan perempuan sebetulnya tidak ada yang wajib. Adapun yang menjadikan khitan itu dianjurkan adalah karena adanya tuntutan "suci dari najis dan hadats" dalam tata acara ibadah umat Islam. Najis yang berhubungan dengan khitan adalah kencing. Dalam kasus perempuan, kelamin perempuan tidak memiliki kemungkinan untuk menyimpan sisa (kencing/najis) di dalamnya, yang mana dapat disimpulkan bahwa dikhitan maupun tidak, perempuan tidak akan terkendala dalam kebersihan alat kelamin setelah kencing. Sedangkan pada laki-laki, dianjurkan atau bahkan diwajibkan khitan karena alasan alat kelamin laki-laki sangat mungkin untuk menyimpan sisa kencing jika tidak dipotong sebagian saat khitan.

Sejauh saya memhami ini dapat saya simpulkan bahwa praktek sunat perempuan ini lebih tepat sebagai label budaya manusia karena ia bukan perintah Allah dan RasulNya. Sepintas terlihat bahwa isu sunat perempuan adalah urusan agama, tetapi jika disimak lebih saksama akan terkuak sejumlah kepentingan yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan ajaran agama. Oleh karena itu, dalam sebagian madzhab yang abstain ketika berbicara mengenai hukum khitan perempuan, dan hanya batas menyatakan bahwa ia merupakan tradisi (sunnah qadimah).

Sumber : BBC.com
Sumber : BBC.com

Karena bersinggungan dengan faktor budaya inilah, maka praktek sunat perempuan ini sulit sekali dihilangkan. Dalam dunia medis, permenkes No. 1636/2010 tentang sunat perempuan juga telah dicabut per 06 Februari 2014. Salah satu pertimbangannya adalah bahwa sunat perempuan lebih didasari oleh pertimbangan adat dan agama, bukan merupakan Tindakan medis, sehingga tidak perlu diatur. Dilihat dari fungsi dan manfaatnya, sunat perempuan justru dapat menimbulkan masalah dan tidak ada sisi positifnya sama sekali.

Secara fisik, dampak langsung sunat pada perempuan juga akan menimbulkan rasa sakit, pendarahan, shock, tertahannya urine, serta luka pada jaringan sekitar vagina. Pendarahan dan infeksi ini pada kasus tertentu akan berakibat fatal pula, bahkan membawa risiko berupa kematian. Sementara dampak jangka panjang selain rasa sakit dan disfungsi seksual adalah timbulnya kista dan abses, keloid dan cacat, serta kesulitan saat melahirkan.

Secara psikologis, sunat perempuan dimaksudkan untuk mengurangi atau menghilangkan sensitivitas jaringan di daerah genital, terutama klitoris, untuk mengurangi gairah seks perempuan. Tapi, justru inilah yang kemudian berdampak buruk bagi perempuan. Dalam jangka panjang perempuan akan cenderung tidak bisa menikmati hubungan seksual dalam pernikahannya. Bahkan, dari sisi psikologi seksual, sunat perempuan ini dapat meninggalkan dampak seumur hidup berupa depresi, ketegangan, rasa rendah diri dan tidak sempurna.

Melihat praktek dilapangan pun sunat perempuan dilakukan dengan cara yang beragam, ada yang menggunakan media koin untuk menggores klitoris, ada yang hanya menggunakan kunyit, dan yang ter ekstrem ada yang sampai menggunakan silet, biasanya metode ini digunakan oleh paraji (sebutan bagi dukun beranakn dalam Bahasa Sunda).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun