Argentina, Kroasia, Siprus, Finlandia, Makedonia, Selandia Baru, Thailand, Britania Raya dan Zimbawe merupakan sederet negara yang melegalkan ganja. Kendati dengan syarat dan regulasi yang ketat dan berbeda-beda, pelegalan ganja tersebut ditujukan untuk kepentingan medis.
Konsumsi ganja, diperbolehkan di negara-negara di atas untuk penyakit-penyakit yang sudah ditetapkan dengan resep yang ketat. Artinya tidak sembarangan diberikan dan untuk tujuan apa.
Pengaturan ini tampaknya penting untuk dicermati. Setidaknya untuk dua hal, pertama berkaitan dengan kepentingan regulasi dan yang kedua untuk kepentingan masyarakat dalam bidang kesehatan.
Di Indonesia peraturan tentang Narkotika dibahas dalam UU No 35 tahun 2009. UU ini mengatur sedemikian rupa tentang penggunaan narkotika. Akan tetapi, klausul penggunaan narkotika secara medis masih sangat kabur sehingga menimbulkan multitafsir hukum.
Bias tafsir hukum terhadap legalisasi ganja untuk medis ini menyebabkan banyak kerugian bagi masyarakat, terutama bagi sang penderita. Ganja, diyakini melalui beberapa hasil penelitian ilmiah berhasil mentreatment penyakit tertentu dengan lebih tepat.
National Institues of Health (NIH), Amerika Serikat mencoba meneliti manfaat ganja medis untuk melawan sel kanker. Dikutip dari laman health.detik.com pada Senin, 4 Juli 2022, NIH mengatakan bahwa Penelitian ini dicoba pada hewan untuk menunjukkan bahwa ekstrak ganja dapat membantu membunuh sel kanker tertententu dan mengurangi ukuran sel lainnya.
Bukti dari satu penelitian, bunyi dalam penelitian itu, kultur sel tikus menunjukkan ekstrak ganja murni dari satu tanaman utuh dapat memperlambat pertumbuhan sel kanker salah satu jenis tumor otak yang paling serius.
Maslahah
Adalah tepat bahwa legalisasi ganja membutuhkan kehati-hatian seperti yang diungkapkan KH. Ma'ruf Amin. Dalam hal ini, legalitas ganja medis harus dikaji melalui pertimbangan yang komprehensif seperti data dan fakta berbasis penelitian secara akademis. Dari bahan penelitian inilah kemudian dapat dikembangkan untuk dijadikan sebagai pertimbangan.
Di tengah mayoritas komposisi penduduk Indonesia yang notabene adalah Islam atau beragama, tentu juga memperlukan pertimbangan agama. Apakah memungkinkan nilai agama membolehkan ganja untuk keperluan medis. Tentu saja, ini adalah wewenang lembaga keagamaan terkait, oleh karenanya, dalam keterangan pers, KH. Maruf Amin mendorong MUI untuk segera membuat fatwa berkaitan dengan penggunaan ganja medis.
Di titik tertentu penting untuk melihat regulasi kita tentang narkotika, serta kebutuhan masyarakat Indonesia akan keperluan ganja medis. Pertimbangan-pertimbangan ini tidak boleh lepas dari simpul-simpul di atas, sehingga putusannya lebih tepat sasaran dan tidak disalahgunakan.
Penggodokan kajian terkait ganja medis, atau regulasi, pada akhirnya harus mengakomodir dan ditujukan untuk kepentingan publik. Ini harus memperhatikan maslahat umat setelah kebijakan itu diketuk palu. Kendati, kita sudah saling memahami, bahwa memang terdapat kekosongan kepedulian kita terhadap Pika, pengidap penyakit kronis di bagian otaknya, di mana treatmennya dapat dilakukan oleh ganja medis.