Mohon tunggu...
Nurul Mahmudah
Nurul Mahmudah Mohon Tunggu... Guru - Generasi Sandwich Anak Kandung Patriarki

Si sanguinis yang sering dibilang absurd. Aku tukang rebahan yang berharap bisa memberikan perubahan untuk Negara.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menjadi Korban Patriarki

13 Februari 2021   21:48 Diperbarui: 13 Februari 2021   22:12 724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perempuan dan sejuta perannya dalam kehidupan. Laki-laki dengan segala tuntutannya demi kehidupan. Saya suka sekali dengan kata "mubadalah". Singkatnya kata ini kita artikan sebagai "kesalingan". Apa yang kamu rasakan, orang lain juga akan rasakan. Apa yang kamu berhak dapatkan, maka orang lain juga berhak dan layak untuk mendapatkannya.

"Ditengah tingginya angka depresi karena tuntutan hidup yang dialami manusia, kita bisa mengambil pilihan untuk saling membantu tanpa pandang gender,"

Dalam isu patriarki, perempuan dijadikan objek pembicaraan, sedang laki-laki adalah subjek tunggal. Laki-laki ambil peran, perempuan bantu peran. 

Laki-laki yang memutuskan, perempuan patuh saja. Apalagi jika kerut patriarki ini kita Tarik dengan garis keras agama. Ini anggapan orang, bahwa patriarki adalah produk agama. 

Ketika keterlibatan peran laki-laki dalam konteks keagamaan selalu diagungkan, tapi tak berlaku jika tokohnya diganti berjenis kelamin perempuan. Ini anggapan orang, menjadi agamis berarti menjadi patriarkis, karena teks agama kerap mendukung untuk menyudutkan perempuan dalam ranah domestic.

Bagiku, makna patriarki berbeda. Disaat ribuan orang menganggap bahwa patriarki membunuh perempuan, aku tak mengiyakan itu. Patriarki tak hanya membunuh perempuan, tapi juga laki-laki. Relasi tumpang tindih memang sangat jelas digambarkan dalam sistem patriarki. Lalu siapa yang menjadi korban sistem ini?

Jawabannya adalah "kita semua".

Terbunuhnya peran public, otoritas diri dan self determination perempuan bukan satu-satunya dampak dari sistem ini. Laki-laki juga terbeban dengan konsep manly / gentleman yang dipakai patriarkis. Respon emosional laki-laki dipasung dan ditumbangkan.

"laki-laki harus kuat, gaboleh nangis, harus maju, harga diri laki-laki adalah bekerja,"

Itulah contoh yang aku bilang pembunuhan karakter, dan menciderai emosional laki-laki. Padahal tak apa untuk menangis, tak apa untuk menjadi rapuh, tak apa untuk merasa lemah, dan tak apa untuk merasa gagal. Karena gagal tak pernah menyusur korbannya berdasar gender. Bukankah semua berjalan seimbang di dunia ini?.

Jika ada suka maka ada duka, jika ada kuat maka ada lemah. Semuanya seimbang di dunia ini dengan konsep kehidupan "mubadalah" ala Tuhan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun