Kiranya aku boleh memilih, aku tak akan pernah meminta dilahirkan. Semakin dewasa, perasaan menyesal kian sering menghampiri pikiranku.
Dalam ruang hening malam, perempuan ini lengah, tak berdaya pada setiap bait manuskrip hidup yang terasa menyudutkan setiap waktu.
Ibu,
Mungkin dulu aku merasa berharga saat menyaksikan engkau merawatku dengan baik, mendidikku, menjagaku, dan selalu menjadikanku primadona. Seolah kau tau bahwa saat dewasa nanti, aku akan menjadi kebanggaanmu.
Tapi, perasaan berharga itu telah lenyap. Lenyap 15 tahun yang lalu, saat egosentris mu memuncak dan selalu menginginkan aku mengikuti semua pilihanmu. Tanpa bertanya apa mauku dan bagaimana perasaanku.
Ibu,
Aku mulai bingung, milik siapa sebenarnya tubuh ini, Milik siapa mata ini, bibir ini, bahkan vagina ini. Sampai urusan pasangan hidup pun harus engkau yang tentukan. Tapi sekali lagi aku tak berdaya, mana mungkin aku mampu untuk membencimu. Sekalipun jiwa ringkih ini kau jual pun aku masih akan tetap menjadi perempuan kecil yg selalu ingin bersimpuh di kaki mu.
Ibu,
Aku tumbuh bu, aku tumbuh, dan aku harap aku tumbuh sesuai harapan ibu. Alih alih ingin dibahagiakan, aku justru tumbuh dengan perasaan ingin selalu membahagiakan orang lain. Walaupun aku tau, aku tidak akan mampu melakukan itu, aku akan berusaha.
Ibu,
Setiap detik pertumbuhanku, aku sadari semakin bertambah mata tuan dan puan yg mengincarku. Entah sekedar menjadikanku hiburan atau bahan cacian. Dengan mata sayu berbutir gembur nasi, amigdala ku berkelana mencari kebenaran atas diriku. Mengapa aku selalu disalahkan?, mengapa aku selalu dipinggirkan?, mengapa aku tidak pernah didengar?. Pertanyaan itu yg menemani aku setiap waktu bu.
Ibu,
Topeng ini terus mengikatku, topeng kebahagiaan, senyuman, dan keceriaan. Bukan aku tak ingin untuk melepas ini, tapi terlalu banyak tangan yang terus menekanku untuk memakainya.
Hingga tiba saat malam membawaku kedalam satu ruang sepi, tanpa ada jiwa lain yang menemaniku, tanpa ada nafas lain yg melindungiku, tanpa ada lengan lain yang mendekapku. Itulah aku.
Di masa kesendirian malam, barulah aku menjadi diriku. Diriku yang sebenarnya. Aku yang selalu ingin berteriak :
"Ibu, temani aku,"
Biarkan dunia ini dingin, tapi jangan dirimu. Biarkan dunia ini terus menjatuhkanku, tapi jangan lenganmu ikut mendorongku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H