Pernah denger kata "baperan, lebay, cengeng, aneh, atau bahkan gila?"
Pernah gak sih kita sadar kalo ternyata kata yang menurut kita sepele itu keluar dari mulut kita, bisa berdampak pada kerusakan mental health orang lain?
Aku tau, pasti kalian bilang ini lebay, tapi percayalah, kalimat itulah yang menjadikan aku berada di fase depresi, dan puncaknya? Aku di diagnosis menjadi penyintas BPD (Borderline Personality Disorder).
Menurut data, 1 dari 4 orang di dunia mengalami mental illness, sayangnya isu ini masih dianggap tabu di masyarakat Indonesia. Masih banyak sekali orang-orang yang tidak peduli atau bahkan tidak tau apa itu mental health.
Parahnya lagi, sedikit sekali dari penderita mental illness ini yang berani speak up ke khalayak umum tentang apa yang di derita nya. Karena stigma negative dari masyarakat yang belum bisa membedakan gangguan mental dengan gila.
Ini pengalamanku dengan BPD. Sebagai seorang penyintas BPD, aku punya tingkat perubahan mood yang bisa berubah-ubah secara drastis. Kadang perasaan kecewa bisa saja mampir di dalam diri ini tanpa permisi. Bahkan pernah sesekali perasaan bahagia yang ku ekspresikan dengan tawa lepas direnggut oleh perasaan emosi dan kecemasan secara tiba-tiba. Senyumku menjadi murung dan di moment seperti itu mereka meneriaki aku dengan sebutan "joker".
Dalam beberapa moment aku juga merasakan kesedihan yang amat teramat mendalam untuk hal-hal yang menurut orang lain itu sepele. Mereka memintaku untuk bercerita tentang apa yang aku rasakan, tetapi belum selesai mulutku tertutup mereka sudah berkomentar "lebay banget sih, Cuma gitu doang juga"
Satu lagi yang paling menghancurkan pikiranku adalah, ketika perasaan sensitive ku menghampiri dan aku menjadi mudah tersinggung dengan ucapan dan sikap perilaku orang-orang disekitarku. Tebak apa yang mereka ucapkan padaku? Mereka bilang aku "baperan".
Kupikir awalnya mereka yang tidak bisa mengerti aku, mereka yang selalu menyakiti aku, mereka yang selalu mengabaikanku. Namun setelah ku renungkan lebih dalam, ternyata bukan mereka. Tapi aku. Akulah yang menyebabkan mereka menyakiti aku, akulah yang membuat mereka mengabaikanku, akulah yang membuat mereka membenci aku. Semua perasaan ku yang campur aduk mendorong aku untuk berpikir bahwa lebih baik aku tidak hidup saja, lebih baik aku yang pergi agar mereka tidak lagi bertindak menyakiti perasaanku.
Pikiranku semakin kacau, suara teriakan kebencian mereka semakin nyaring terdengar di telingaku. Semakin kuredam semakin menggema. Tubuhku, pikiranku, jiwaku, semuanya hanya dipenuhi emosi kekecewaan yang berakhir pada goresan demi goresan luka nyata di setiap kulitku. Entah apa hubungan nya, tapi goresan luka ini mampu melampiaskan setiap emosiku.Â
Menyakiti diriku sendiri adalah bentuk kekecewaan pada diriku yang selalu merasa tak pernah diinginkan orang lain.
Hari demi hari, setiap kali perasaan keterpurukan ku muncul selalu kulampiaskan dengan menyakiti diriku sendiri. Aku juga lebih memilih menyendiri daripada aku harus bersama keramaian namun diabaikan, dicampakan, atau bahkan disakiti. Tak cukup dengan semua luka, aku pernah mencoba mengakhiri hidupku, bukan sekali, bukan dua kali, tapi tiga kali. Dan bersyukur semuanya gagal.
Melihat emosi ku yang kadang turun naik menjadikan orang-orang di sekelilingku menganggap aku lemah dan tidak bisa menyikapi sesuatu dengan dewasa. Di masa depresiku datang, mereka malah mengangapku kurang ibadah. Saat menemukan luka self harm ku mereka malah bilang aku pecandu narkoba yang jauh dari Tuhan.Â
Entah bagaimana jiwaku ini bisa diselamatkan. Tapi percayalah, hidup dengan mental illness itu berat. Kalian selalu membandingkan emosi ku dengan beban berat yang juga kalian tanggung. Padahal, ini bukan hanya soal masalah atau beban yang harus kutanggung. Ini tentang jiwa BPD yang juga melekat di diriku.
Tak pernah sekalipun aku meminta kepada Tuhan untuk memberiku kado si mungil BPD ini. Doa ku hanya tentang diriku yang semoga kuat menghadapi semua yang akan menghampiriku dan permohonanku kepada Tuhan agar Ia membantuku melupakan semua luka yang sudah seharusnya terkubur bersama waktu.
Untuk kalian, jangan pernah membandingkn dirimu dengan yang lain. Setiap orang memiliki kisah nya masing-masing, dan setiap orang memiliki sebuah rahasia besar tentang dirinya yang tidak akan diungkapkan kepada orang lain. Aku lelah jika setiap hari harus mendengar semua penilaian kalian tentang aku dan BPD ku. Aku hanya ingin kalian mengerti dan menyadari bahwa mental illness ini ada. Berhenti melontarkan kalimat-kalimat yang tidak baik itu.
"Berhenti membandingkan, dan berhenti menjadi agamis yang menyebutku abai dengan perintah Tuhan."
"Kami tidak akan meminta banyak dari kalian, cukup dengarkan kami dan jadikan kami bagian dari kalian. Menjadi pendengar saja kalian sudah cukup membantu mengobati kami. Kami sedang berjuang dengan mental illness ini, dan selalu berharap bahwa sekeliling kami bisa menjadi peer support kami dalam menghadapi ini semua."
Pesan terakhir "Si Tou Timou Tumou Tou" bahwa manusia hidup adalah untuk memanusiakan manusia lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H