Mohon tunggu...
Nurul LutfiaMaryadi
Nurul LutfiaMaryadi Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswa Jurnalistik UIN Jakarta

20 tahun

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Integrasi Syariah dengan Tasawuf

19 Desember 2022   00:10 Diperbarui: 19 Desember 2022   00:12 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Islam merupakan agama yang memadukan syariah dan akhlak (tasawuf) di atas landasan akidah.Integrasi ini dicerminkan dalam diri Rasulullah SAW pada sikap yang konsisten mematuhi syariah dalam kehidupan pribadi dan sosial (ibadah dan muamalah). Selain itu juga beliau tidak pernah lupa bersujud kepada Allah SWT di setiap malamnya sebagai bukti cinta dan ingat beliau kepada Allah SWT. Sehingga membuat beliau selalu berbuat baik kepada sesama yang sifatnya universal tanpa pilih kasih. Berdasarkan dari sunah Nabi, untuk dapat mewujudkan kebaikan di dunia dan akhirat hanya dengan memadukan kedua integrasi tersebut, sebab kedua integrasi ini memenuhi kebutuhan individu, sosial dan spiritual manusia secara terpadu.

Ajaran Islam dibangun di atas tiga landasan: akidah, syariah, dan akhlak. Ajaran tersebut secara lengkap tercermin pada pribadi Nabi Muhammad Saw. (w. 11 H./632 H.) sebagai "Alquran hidup". Nabi Muhammad Saw. merupakan figur sentral yang menjadi uswah hasanah, teladan yang baik, bagi umat Islam dalam kehidupan sosial, intelektual, dan penghayatan nilai-nilai spiritual.

Rasulullah Saw. mendapat pelajaran dari Allah melalui Malaikat Jibril bahwa agama ini (al-Islm) terdiri atas tiga bagian yang satu sama lain terintegrasi dalam satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Ketiga bagian itu adalah iman, Islam, dan ihsan, secara terminologis, "akidah" berarti kepercayaan yang dianut oleh orang-orang yang beragama atau tali yang mengokohkan hubungan manusia dengan Tuhan. Istilah akidah baru disebut-sebut dalam diskusi para mutakallimn, ulama ilmu kalam, yang membicarakan secara luas kepercayaan-kepercayaan yang terkandung dalam prinsip syahadatayn, dua kesaksian, tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad itu utusan Allah, yang kemudian bermuara pada munculnya beberapa aliran (firqah) dalam Islam.

Pengamalan agama tidak hanya berdimensi syariah, tetapi juga berdimensi ihsn yang bertujuan untuk membimbing umat Islam menjadi pribadi yang mulia, merasakan kedekatan dengan Allah, sekaligus bertujuan untuk membangun solidaritas sosial di antara sesama umat manusia. Sebagai agama yang lengkap dan utuh, Islam membimbing manusia menjadi umat yang memiliki landasan keyakinan yang kokoh, mengamalkan ibadah vertikal yang istikamah, dan memiliki kepedulian dan tanggung jawab terhadap masalah-masalah sosial yang dihadapi kaum Muslimin.

Ihsan Esensi ajaran keruhanian dalam Islam

Ihsan merupakan modal keruhanian agar menjadi manusia yang baik dan bertanggung jawab dalam kehidupan. Esensi Ihsan tersebut dapat diketahui melalui kesadaran selalu berada dalam pengawasan Allah SWT dan para malaikat, baik dalam shalat maupun di luar shalat. Adapun letak kesadaran itu ada di dalam kalbu yang memiliki dua kekuatan, yaitu al-quwwah dzawqiyyah 9 kepekaan emosi) dan al-quwwah al ruhiyyah (kepekaan spiritual).

Terdapat tiga kegiatan pokok dalam bertasawuf, yang pertamatazkiyah al-nafs, maknanya membersihkan diri dari dosa besar, dosa kecil, dan dari berbagai penyakit hati dan sifat tercela.Sehingga dapat diketahui tujuan utama dari bertasawuf adalah untuk membersihkan jiwa dari berbagai penyakit hati dan sifat-sifat tercela.

Untuk mensucikan jiwa, terdapat empat cara diantaranya :

  • Al-ibadah, melakukan ibadah secara istiqamah-mudawwamah, konsisten dan berkesinambungan.
  • Al-Mujahaddah, perjuangan atau jihad melawan dorongan hawa nafsu. Dalam arti lain adalah melawan atau mengendalikan diri untuk tidak berbuat dosa sekecil apapun agar tidak menjadi virus dikemudian hari.
  • Al-riyadhuh al-ruhaniyyah, yaitu pelatihan ruhani atau pendidikan spiritual.
  • Al-inqith' ila Allah, mengorientasikan diri dengan satu prinsip bahwa hidup ini semata-mata untuk Allah SWT.
  • Yang kedua adalah dengan melakukan taqarrub ila Allah, maknanya perjuangan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dan yang terakhir adalah dengan melakukan hudhur al-qalb ma'a Allah, maknanya yaitu merasakan kehadiran Allah SWT dalam kalbu.

 

Integrasi Fikih dengan Tasawuf dalam Hadis

Untuk menyeimbangkan kebutuhan lahir dan batin, perlu adanya integrasi antara tasawuf dan syariah. Hal ini tercermin dalam hadist Rasulullah SAW dimana berdasarkan isi dari hadist tersebut dijelaskan bahwa ada dua orang sahabat Nabi Muhammad SAW, yaitu 'Abd Allah bin 'Amr ibn al-'Ash dan 'Ustman ibn Madh'un, yang cenderung tidak sejalan dengan syariat islam yang diajarkan rasulullah SAW dalam melakukan kehidupan spiritualnya. Dimana 'Abd Allah ibn 'Amr ibn al-'Ash dalam hidupnya tidak menunaikan kewajibannya kepada keluarganya, ia hanya menyendiri, berkhalawat dan 'uzlah, tidak tidur tidak berbuka puasa dan tidak mau memakan daging. Sedangkan 'Utsman ibn Madh'un tidak memiliki kesempatan untuk berhubungan dengan istrinya karena di malam hari ia beribadah dan pada siang hari ia berpuasa.Sehingga, Rasulullah SAW pun menyadarkan kedua orang sahabatnya tersebut untuk kembali kepada prinsip keseimbangan yang dicontohkan beliau sepanjang hayat.

Perpisahan Fikih dengan Tasawuf

Embrio kehidupan spiritual yang pernah dilakukan oleh dua orang sahabat Nabi Saw., 'Abd All bin 'Amr ibn al-'Ash dan 'Utsman ibn Madh'n, berkembang menjadi budaya spiritual mandiri dalam bingkai tasawuf. Kecenderungan spiritual ini secara perlahan tetapi pasti mulai meninggalkan pola-pola legal formal syariah. Perpisahan di antara kedua orientasi keagamaan ini semakin lebar. Keduanya, menurut Nurcholish Madjid, seakan berlomba mencari legitimasi dari Alquran dan Sunah. Orientasi keagamaan eksoteris (lahiriah) yang bertumpu pada prinsip legal formal hukum mengklaim sebagai paham keagamaan yang berada pada jalan kebenaran.

Pertentangan antara kaum Yahudi dan Nasrani sebagaimana tergambar pada ayat Alquran yang berarti, "Kaum Yahudi berkata, orang-orang Kristen itu tidak ada apa-apanya; dan kaum Kristen berkata, orang-orang Yahudi itu tidak ada apa-apanya. (Q.s. al-Baqarah [2]: 113). Demikian pula, menurut Ibn Taymiyyah, pertentangan antara kaum sufi dengan para fukaha saling menafikan yang satu terhadap yang lain. Polemik dan kontroversi di antara keduanya tidak dapat dihindari. Kaum sufi menolak fenomena keagamaan para fukaha yang menurut mereka telah menghabiskan usia untuk mempelajari ilmu lahiriah ('ilm al-zhhir); sedangkan kaum sufi mengklaim bahwa mereka telah memperhatikan rh al-'amal (substansi amaliah) dengan mendalami haq`iq al-ma'rifah, hakikat pengetahuan tentang Tuhan, dan telah sampai kepada Allah melalui al-mujhadah, perjuangan ruhani dan keikhlasan beribadah dengan istqmah-mudawwamah, konsisten dan berkesinambungan. Para sufi pun mengaku telah berhasil mendapatkan ilmu secara langsung dari Allah. Mereka menuduh fukaha telah mengambil ilmu mati dari orang-orang yang mati.Sedangkan kaum sufi telah mengambil ilmu dari Yang Maha hidup dan tidak pernah mati.

Memadukan kembali Fikih dengan Tasawuf

Rintisan untuk memadukan fikih dengan tasawuf dimulai oleh Imam Mlik ibn Anas (w. 179 H). Beliau seorang faqh, ulama fikih, mujtahid, dan imam mazhab, 'lim, seorang yang berpengetahuan luas, dan termasuk salah seorang sufi, pengamal , berpendapat Mlik Imam. tasawuf   (siapa yang mengamalkan tasawuf tanpa dilandasi pemahaman fikih, maka sungguh ia telah menyimpang). Beliau memandang bahwa ilmu itu bukan karena menguasai banyak sumber rujukan (al-riwyah), akan tetapi berdasarkan nr yang disimpan oleh Allah di dalam kalbu seseorang.

Perjuangan Imam Malik ibn Anas untuk memadukan fikih dengan tasawuf diteruskan oleh beberapa ulama terkemuka seperti Abu 'Abd Allah al-Harits ibn Asad al-Muhasibi (w. 243 H), Abu Bakr Muhammad al-Kalabadzi (w.380 H), Ab Thlib al-Makki (w.386 H), dan Abu alQasim 'Abd al-Karim ibn Hawazin ibn 'Abd al-Malik al-Qusyayri (w. 465 H), serta mencapai puncaknya pada masa Abu Hamid al-Ghazal (w. 505 H). Beliau berhasil memadukan kedua corak orientasi keberagamaan lahiriah dan batiniah itu dalam suatu simponi indah yang dikenal sebagai tasawuf sunn, yakni pengamalan tasawuf berdasarkan bimbingan Alquran dan Sunah Nabi.

Perpaduan Fikih dengan Tasawuf Perpaduan Law and Morality

Substansi syariah atau fikih merupakan aturan dan norma hokum yang memberikan arah dan tujuan agar ibadah, pengabdian dan penyerahan diri manusia kepada Allah SWT dilakukan dengan benar sesuai dengan kehendak Allah SWT, dengan Al-Quran sebagai acuannya. Dalam islam, akhlah wajib dikedepankan atas hokum. Maksudnya hokum dapat ditegakkan di atas landasan akhlak, dan yang mendasari hokum tersebut adalah akhlak itu sendiri.

Adapun prinsip hidup seorang muslim berdasarkan dari bimbingan Al-Quran dan Sunah, adalah dengan mengintegrasi antara syariah dan taswuf atau hokum dan moralitas.

Integrasi Fikih dan Tasawuf sebagai Modal Pengembangan Kepribadian Muslim

Terdapat lima komponen yang menjadi dasar pengembangan kepribadian Muslim, diantaranya :

  • Akidah yang benar, maksudnya akidah yang berdiri diatas keimanan yang benar, yang mendorong pada itndakan yang lurus.
  • Adanya model ideal yang menjadi uswah hasanah, maksudnya adalah adanya teladan yang baik sebagai contoh/panutan.
  • Kapasitas diri untuk menjadi manusia pembelajar yang mencintai ilmu dan menerapkan ilmu dalam kehidupannya.
  • Ketekunan beribadah yang menjadikan dirinya senantiasa membutuhkan Allah SWT.
  • Semangat berjihad yang mendorong seseorang untuk mewujudkan apa yang menjadi cita-cita ideal dalam hidupnya.
  • Bagi umat Islam, Rasulullah SAW merupakan figure sentral (uswah hasanah), teladan yang baik dalam kehidupan social, intelektual dan penghayatan nilai-nilai spiritual. Dimana semua pribadi diri beliau tertuang di dalam Al-Quran.
  • Dengan adanya perpaduan antara fikih dan tasawuf atau hokum dan moralitas dalam menjalani kehidupan, maka akan terlahir pribadi yang menjaga keseimbangan antara kebutuhan kebendaan dan kebutuhan spiritual, antara kehidupan individu dan kehidupan social,serta kehidupan yang berorientasi duniawi dan kehidupan yang berorientasi ukhrawi.
  • Disaat bersamaan juga, seseorang yang dalam hidupnya memadukan ilmu fikih dan tasawuf, akan menjauhi pola hidup hedonis. Maksudnya adalah suatu perbuatan dinyatakan baik apabila perbuatan tersebut mendatangkan kelezatan, kenikmatan dan kepuasan secara biologis. Sedangkan jika perbuatan itu tidak mendatangkan kelezatan, kenikmatan dan kepuasan secara biologis maka perbuatan tersebut akan dianggap buruk. Sehingga tolak ukur aliran hedonisme ini berdasarkan dari kelezatan, kenikmatan dan kebuasan biologis.
  • Sehingga kesimpulan yang dapat diambil dari uraian diatas adalah pengalaman syariah yang baik dan benar yang dipadukan dengan pengamalan tasawuf yang bersumber pada Al-Quran dan Sunah merupakan modal yang sangat berharga dalam mengembangkan kepribadian muslim. Dimana kepribadian manusia itu menyerupai pohon indah yang memiliki tiga bagian yaitu
  • Akar tunjang, yang tertanam kokoh ke dalam perut bumi
  • Batang, dahan, ranting dan dedaunan syariah yang ditegakkan dengan sempura sampai menjulang ke angkasa
  • Buah berupa akhlak mulia yang bisa dipetik setiap waktu tanpa mengenal musim hingga mendatangkan manfaat bagi orang banyak. Dimana buah ini merupakan buah yang harum dengan cita rasa kemanusiaan universal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun