Mohon tunggu...
Nurul Lubis
Nurul Lubis Mohon Tunggu... -

Africa

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Being Single and Happy... Why Not?

6 Januari 2012   09:01 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:15 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sahabat saya sudah menikah selama 4 tahun. Namun, hingga saat ini belum dikaruniai anak. Padahal dia menikah dalam usia muda dan cukup subur untuk memiliki keturunan. Tak ada yang salah pada dirinya dan suaminya. Namun, tampaknya Tuhan belum mau menitipkan anak untuk mereka. Jika tujuan mereka menikah hanyalah untuk mendapatkan anak, bukan tak mungkin mereka akan berpisah jika sudah mencapai titik jenuh. Saya bersyukur. Sahabat saya menikah karena dia mencintai pria yang menjadi suaminya. Bukan target untuk mendapatkan anak.

Sahabat saya yang lain, menikah dengan usia cukup lanjut. Hampir mendekati usia 40 tahun. Sempat dia khawatir untuk masalah keturunan. Namun, Tuhan berkehendak lain. Dia hamil dan melahirkan seorang anak sehat secara normal. Dan saat ini tengah hamil untuk anak kedua. Semoga kehamilannya sehat selalu.

Jadi, siapa yang bisa menjamin menikah cepat berarti bisa cepat punya anak?

Merubah status, karena takut dianggap pilih – pilih dan tidak laku?

Wahai para wanita lajang. Wajar jika kita ingin memilih. Membeli barang sekalipun, kita perlu memilih agar tidak salah beli. Apalagi untuk pasangan hidup. Tentu kita harus memilih.

Kita bukan tidak laku, namun kita selektif. Menjadi jomblo bukan berarti saya harus menerima siapapun yang disodorkan ke depan hidung saya. Atau menanggapi bujuk rayu tentara India di tempat kerja saya, yang jelas – jelas sudah menikah itu. Atau memaksakan diri untuk berkencan dengan pria Prancis yang bahasa Inggrisnya payah itu. Hanya untuk menghapus status jomblo dari diri saya.

Saya masih ingat dengan kejadian yang menimpa satu orang kolega saya. Beliau pernah mengatakan, dia seperti tidak mengenal suaminya. Dalam hati saya sempat berkata, “Astaga. Pacaran begitu lama, dan pada akhirnya menikah. Apa saja yang dilakukan selama berpacaran hingga kalian tidak saling mengenal?”

Lambat laun si kolega mengaku, sejak dulu sebenarnya dia tak terlalu mencintai suaminya. Alasan untuk tetap berpacaran hanya karena tak tahan sendirian. Dan alasan ‘mengejar target karena umur’ membuat keduanya menikah. Keputusan yang pada akhirnya sangat disesalinya ketika keduanya memutuskan untuk bercerai.

Saya tidak bermaksud sinis untuk sebuah kata, si ‘pernikahan’ ini. Dan saya tidak pula memutuskan untuk terus menjomblo seumur hidup saya. Saya hanya tidak mau terlalu ambil pusing dan memaksakan diri untuk urusan ini karena Kebahagiaanlah yang saya kejar dan yang selalu saya pintakan di sela doa – doa saya kepada Tuhan.

Saya sangat bahagia dengan hidup saya saat ini. Saya punya keluarga yang mencintai saya. Saya punya pekerjaan. Biarpun bukan pekerjaan tetap dan selalu bikin saya deg – degan di saat kontrak berakhir, namun saya sangat mencintai pekerjaan saya. Saya bisa melihat dunia tanpa ada ikatan dan pelarangan di sana sini. Saya memiliki teman – teman, yang di sela – sela kesibukan mereka selalu bersedia mendengar keluh kesah saya. Saya berhasil meraih mimpi – mimpi saya, meskipun belum semua mimpi. Mimpi yang juga mungkin milik sebagian orang. Saya ingat satu perkataan teman saya saat saya mengabarkan keberangkatan saya ke sebuah negara, “Sis. I’m jealous. You stole my dream. But, I’m so proud of you,”

Apalagi yang bisa saya keluhkan? Menangisi diri hanya karena saya belum menikah? Tidak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun