Tanpa berpanjang kata atau mukadimah berlebih, melalui kesempatan ini saya ingin menjelaskan sekaligus meluruskan narasi mengenai fitur Kompasiana Premium yang dirilis sejak 2 Juli 2020 lalu—yang tanpa disertai woro-woro seperti kebiasaan Kompasiana saat hendak meluncurkan program/produk baru karena alasan khusus.
Seketika menimbulkan umpan balik yang beragam. Mulai dari apresiasi, respon biasa-biasa saja, sampai ada yang melayangkan protes seperti teguran keras. Dan, ini memang yang diharapkan. Respon dari Anda!
Tujuannya banyak. Salah satunya untuk kebutuhan evaluasi dari segala hal yang diterapkan. Namun, dari sekian banyak umpan balik sempat timbul narasi yang kira-kira begini bunyinya, “sekarang nulis di Kompasiana harus bayar, bukannya dibayar!”. Tentu, hal ini perlu diluruskan.
Secara eksplisit saya sampaikan bahwa hadirnya fitur Premium ini adalah pilihan bukan suatu keharusan. Sebuah pilihan yang keputusannya ada di tangan Kompasianer itu sendiri.
Tidak ada kewajiban untuk memilih apalagi membeli fitur Premium karena jati diri Kompasiana adalah platform bagi semua warga (crowdsourcing) dalam berinteraksi melalui konten-konten positif maupun kegiatan komunitas. Ini rumah kita semua. Melting pot untuk segala gagasan dan ide!
Jadi, siapapun bisa mendaftar dan menayangkan kontennya di Kompasiana tanpa dipungut biaya apapun! (Kecuali kuota internet harus modal sendiri yee....)
Naif dan betapa durhakanya Kompasiana jika mewajibkan atau memaksa penggunanya untuk membayar dalam berinteraksi. Sementara mereka sudah banyak berkontribusi.
Tanpa Kompasianer, platform ini hanyalah ruang kosong tak berpenghuni. Hal ini yang menjadi panduan saya dalam mengelola Kompasiana semenjak sesaat setelah dilahirkan sebelas tahun silam.
Atas pertimbangan tersebut, sejak 2016 Kompasiana terus menjaga konsistensinya dalam upaya pemberian keuntungan kepada Kompasianer.
Keberlangsungan program K-Rewards, Komunikarya dan berbagai loyalty program di Kompasiana hingga detik ini merupakan salah satu cara dan upaya kami dalam “berterima kasih” kepada Anda semua, meskipun secara implisit dan memilih tidak menggunakan diksi “dibayar”.
Selain narasi di atas, muncul pula kekhawatiran akan pengklasteran Kompasianer yang sebenarnya bukan kali ini saja mengemuka. Sejak 2009 hingga saat ini, terhitung sudah empat kali Kompasiana dianggap ingin membentuk kasta-kasta.