Mohon tunggu...
Nurulloh
Nurulloh Mohon Tunggu... Jurnalis - Building Kompasiana

Chief Operating Officer Kompasiana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

#SkipChallenge, Saya Sudah Mengenalnya 20 Tahun Lalu

15 Maret 2017   14:18 Diperbarui: 16 Maret 2017   02:00 705
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Awalnya saya tidak ngeh dengan heboh pemberitaan media daring mengenai fenomena #SkipChallenge atau #PassoutChallenge di lini masa jejaring sosial. Berita dengan judul #SkipChallenge lalu-lalang begitu saja di layar monitor maupun smartphone, tetapi belum tertarik untuk membacanya sampai fenomena tersebut menjadi obrolan di kubikel kantor, baru saya tertarik untuk mengetahui lebih lanjut. 

Saya cukup kaget dengan fenomena #SkipChallenge bukan hanya perkara bahaya yang menyertainya. Tetapi, permainan yang cenderung dilakukan remaja ini ternyata sudah saya ketahui sejak awal 90'an atau sekitar 20 tahun yang lalu. Saat itu saya masih duduk di kelas satu sekolah menengah pertama. Dulu, belum ada istilah seperti #SkipChallenge apalagi #PassoutChallenge. Kami menyebutnya "main pingsan-pingsanan".  Seperti sekarang, dulunya "main pingsan-pingsanan" ini juga digemari oleh teman-teman sebaya. Bahkan, saya masih ingat betul seperti apa tahapan #SkipChallenge sampai akhirnya hilang kesadaran atau pingsan.

Jujur saja, saat itu saya sudah bisa menilai permainan ini menakutkan karena beberapa teman pernah mengalami sakit di bagian dada sekalin hilang kesadaran. Ya, meskipun hampir seluruh teman mencobanya, hanya saya yang tidak berani. Pernah ingin mencoba tapi gagal karena ragu dan tidak rileks.

"Main pingsan-pingsanan, yuk!" ajakan seperti itu selalu menyapa di waktu bermain kami. Bahkan hampir setiap hari, terlebih di hari libur sekolah. Teras belakang sebuah musala di dekat tempat kami tinggal biasa menjadi lokasi permainan ini karena lantainya cukup bersih sehingga tidak khawatir pakaian akan kotor ketika terjatuh pingsan. 

Kenapa saat itu #SkipChallenge juga digandrungi?

Kesimpulan saya ketika itu---bahkan sampai sekarang--- adalah efeknya yang sensasional. Menurut banyak teman yang pernah mencobanya, efek dari #SkipChallenge adalah halusinasi dan imaginasi yang diragakan serta bisa direncanakan, bahkan diarahkan. Aneh, kan? Ya, saya juga berpikiri demikian. Masa orang pingsan bisa menirukan gaya atau gerakan yang menjadi imajinasinya?

Untuk itu, saya sepakat jika dokter anak asal AS, Dr. Michael McKenna mengatakan bahwa permaianan ini menyebabkan orang pingsan dan mengalami euforia "high" dalam prosesnya, seperti dikutip KOMPAS.com.

Biasanya, sebelum teman saya melakukan #SkipChallenge, dia akan merencanakan imaginasi yang ingin dibayangkan dan dilakukan ketika pingsan nanti. Misalnya, ingin bergaya menjadi pemain gitar. Benar saja, setelah "dipingsankan" oleh seorang teman yang bertugas menekan dada, dia bergaya seperti gitaris. Lucunya lagi, bisa diarahkan oleh orang lain.

Teman lainnya termasuk saya yang menonton "atraksi" #SkipChallenge bisa memberikan sugesti atau perintah kepada "pemain" untuk mengubah tingkah atau melakukan hal yang lainnya.

"Ayo donk, jadi monyet," seketika dia berperilaku seperti monyet. 

Bahkan, pernah beberapa kali tentu tanpa disadari, teman saya yang melakukan #SkipChallenge berperilaku seperti orang dewasa yang sedang berhubungan badan alias melakukan hubungan seksual. Imaginasi seksual inilah yang paling diminati ketika itu sehingga banyak yang mencobanya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun