Usia dan masa tenggang kerja Kal membuat dirinya harus rela berbagi waktu untuk dekat atau tinggal dengan Suku Kamoro lagi. Mulai pada tahun ini dia menghabiskan waktu sehari-harinya di Singapura bersama keluarga karena visa kerjanya di Indonesia sudah habis. Sesekali saja menengok Auku Kamoro. Bahkan, menurut penuturan Kal di beberapa buku karyanya tentang Suku Kamoro, dia ingin jasadnya dikubur di tanah Kamoro.
Sejak tahun 2014, pembinaan yang dirintisnya kemudian dilanjutkan oleh seorang wanita asal Surabaya. Lulu Intarti, wanita 44 tahun ini adalah orang yang dipercaya oleh Kal untuk melanjutkan cita-citanya agar Suku Kamoro dapat dibina dan dikembangkan sehingga eksistensinya kembali diakui secara nasional maupun internasional. Lulu bukan orang baru yang mengenal Suku Kamoro. Seperti Kal, Lulu sangat paham dengan Suku Kamoro. Bertahun-tahun dia mendampingi Kal yang mengemban tugas membina Suku Kamoro.Â
Lulu memulai perannya dan didaulat sebagai Founder Yayasan Maramowe Weiku Komorowe. Nama yayasan ini memiliki makna seperti tujuan pengembangan Kamoro yang dikenal dengan pengrajin yaitu pengukir besar dari Kamoro.
"Kamoro punya budaya tenggelam dibanding Asmat. Makanya kita tampil dan dampingi untuk melestarikan sehingga muncul percaya diri," kata Lulu di tengah persiapan Suku Kamoro di FDS 2016.
Mereka, tambah Lulu, harus menghasilkan sesuatu dari aktivitas mengukir. Untuk itu kita coba carikan pasar, bantu menjualkan hasil kerajinan mereka dan menjadi pendapatan. Hasil ukiran Suku Kamoro cukup banyak dan biasanya terdiri perkakas yang digunakan sehari-hari. Antara lain; Tekoro yang digunakan moyang orang Kamoro sebagai wadah menaruh ikan dan juga dijadikan bantal untuk tidur ada malam hari setelah sebelumnya dibersihkan.
Perkakas dengan nama Apentawapuri pun bagian dari keterampilan Suku Kamoro yang berfungsi sebagai penokok sagu. Pahatan ini terdiri dari dua jenis perkakas. Mereka menyebutnya "ibu dan anak". Ketika masih menjalankan tradisi berperang, orang Kamoro membuat sebuah tameng dari pohon Kayu Besi. Namanya Yamate.
Sebelum pemerintah dan agama masuk, Orang Kamoro hidup berpindah, nelayan dan meramu bahan makanan. Tetapi, sekarang sudah hidup permanen meski sebagian kecil masih nomaden atau dikenal dengan istilah Kapirikame (daun atap rumah). Suku Kamoro memilik kontrol sosial yang berbeda dengan suku yang mendiami pegunungan. Kamoro lebih menganut kesetaraan dan tidak begitu mengenal tradisi perang.
Suku Kamoro merupakan satu dari dua suku besar yang memiliki hak ulayat. Hak atas tanah yang kini digunakan Freeport dalam melakukan aktivitas penambangan. Bersama Suku Amungme yang tinggal di pegunungan, Suku Kamoro mendapat jatah dan akses lebih terhadap segala sesuatu yang diberikan perusahaan. Bahkan, orang Kamoro mendapatkan prioritas dalam hal mendapatkan pendidikan atau pelatihan teknis menyoal penambangan.
Meski sudah berasimilasi dengan suku dan orang di perkotaan, Suku Kamoro masih melakukan perburuan, terutama berburu babi dan burung kasuari untuk dijadikan Monako penghias kepala Suku Kamoro. Mereka pun tidak memakai koteka seperti suku yang berada di pegunungan. Suku Kamoro hanya mengenal cawat yang terbuat dari kulit kayu untuk menutupi bagian bawah tubuh.
Saat ini, Suku Kamoro terdiri dari 50 Kekwa (kampung) dengan pembagian wilayah Kamoro dekat, tengah dan jauh. Sebuah misi dan visi yang cukup terjal bagi Yayasan Maramowe Weiku Komorowe yang hanya diurus oleh lima orang.