"Ini ada rekan dari media dan Kemenpora mau naik ke anjungan," kata Letnan Kolonel Laut Edi Haryanto kepada petugas di ruang kemudi kapal.
Letkol Laut Edi yang selalu menebar senyum saat pertama kali bertemu di pelabuhan Soekarno-Hatta, Makassar pada hari Sabtu lalu mengajak saya dan rekan media lain serta perwakilan dari Kemenpora untuk melihat langsung pusat kemudi dan navigasi kapal yang letaknya di bagian paling atas KRI Banda Aceh.
Tanpa basa-basi, kami segera mengiyakan tawarannya. Hanya butuh naik satu lantai dari area geladak helly dan bisa langsung masuk yang di dalamnya sudah ada beberapa awak kapal yang sedang bertugas. Saya pun nyelonong langsung ke tempat Mayor Fabip, salah satu awak yang bertugas mengemudikan kapal ini.
"Kami bergantian tugas tiap empat jam," kata Mayor Fabip yang mengaku baru bergantian shift dengan rekannya.
KRI Banda Aceh yang saya tumpangi ini merupakan kapal perang yang memiliki jam layar paling banyak dibanding KRI lain yang dimiliki Indonesia.
"KRI ini (Banda Aceh) memiliki dua landing craft utility (LCU) atau kapal perang kecil yang diparkir di perut kapal, sedangkan KRI lain hanya memiliki satu dan kapal ini punya kapasitas penumpang yang besar sehingga kerap dipakai untuk berbagai kebutuhan," kata Letkol Laut Edi
Selain itu, tambah Letkol Edi, KRI Banda Aceh tidak hanya digunakan untuk keperluan perang. Selama tidak dalam kondisi perang kapal ini digunakan untuk kegiatan sosial—seperti pada pencarian korban Air Asia—, edukasi dan sebagai kapal angkutan untuk mudik lebaran.
"Tahun ini saja sudah diagendakan KRI Banda Aceh akan membawa pemudik dari Jakarta ke Semarang," ujarnya
Kapal ini memang cukup besar dan mampu menampung 24 tank yang ditempatkan di area tank deck di bagian bawah. Adanya fasilitas tank deck dan geladak helly, KRI Banda Aceh layaknya kapal induk bagi kapal perang lainnya dalam membantu operasional seperti mengangkut tentara yang jumlahnya bisa mencapai ribuan.
Sudah kebayang, kan?! Jadi seperti kapal induk yang dimiliki militer Amerika Serikat, hanya saja tidak memiliki landasan pacu untuk pesawat tempur.
Jika dalam situasi perang pun, kapal ini tidak bisa jalan atau beroperasi sendirian, harus ada pengawalan. "Jika ada musuh di depan, pasti ada kapal pendahulu seperti kapal selam atau kapal perang jenis lain," Jelas Letkol Laut Edi.
KRI Banda Aceh, tambah Letkol Laut Edi, sifatnya self defence, sebatas pertahanan diri saja dan sebagian kapal angkut satuan darat ke lokasi peperangan serta tidak dilengkapi persenjantaan lengkap.
Kapal ini hanya dipersenjatai dengan 2 buah meriam berukuran 40 mm dan 2 buah yang berukuran 20mm. Kalau digunakan untuk perang, pasti sudah hancur oleh kapal musuh. Atas dasar itu, KRI Banda Aceh menjadi alat angkut tentara dan perangkat perangnya serta harus dikawal banyak kapal perang lainnya jika memang terjadi perang. Tahun lalu, KRI Banda Aceh mengikuti latihan bersama multilateral Rim of Pasific Operation bersama Angkatan Laut di negara-negara pasifik.
Kalau rusak bagaimana? Ya, diperbaiki donk!
Sama halnya kendaraan bermotor, KRI Banda Aceh—dan kapal perang lainnya—memiliki jadwal untuk pemeliharaan, seperti; pemeliharaan terjadwal dan pemeliharaan depo atau turun mesin. Di luar itu kadang harus dilakukan pemeliharaan dadakan jika ada yang rusak mendadak. Semua urusan mesin kapal ini ada di bawah tanggung jawab Mayor Fahmi sebagai kepala departemen mesin.
Pada ENJ perdana ini, KRI Banda Aceh memikiki 125 anak buah kapal (ABK) dan 20 satuan petugas yang bertugas mengawal ekspedisi sampai tuntas. KRI Banda Aceh merupakan KRI terbaru yang dimiliki TNI AL diciptakan dan merupakan sebuah kapal yang dibuat langsung di Indonesia.
*Â Caption foto utama: Letnan Kolonel Laut Edi Haryanto, Komandan KRI Banda Aceh dalam Ekspedisi Nusantara Jaya 2015/Nurulloh
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H