Meski kapal ini tergolong besar, gelombang dan hembusan angin laut Banda cukup untuk menggoyang kapal. Apalagi sinyal selular sangat sulit, dan hanya bisa didapat ketika kapal melintasi pulau. Melepas rasa rindu kepada keluarga di rumah jadi terkedala.
Maklum, pelayaran ini memakan waktu 3 hari 18 jam untuk tiba di Sorong. Jangan coba-coba membuka aplikasi peta atau navigasi digital di smartphone. Pasti akan merasakan pelayaran yang sangat lama.Â
Bayangkan, sudah sekitar satu hari kami bertolak dari Makassar tapi setelah melihat lokasi kapal di aplikasi google maps ternyata kami baru melintasi Pulau Buton yang berada di Sulawesi Tenggara. Fuihhh...
Segala aktivitas harian selain mengikuti kegitan yang dibuat penyelenggara ekspedisi dilakukan di atas kapal yang hanya memiliki kecepatan laju maksimal 15 knot. Berbeda dengan kapal penumpang komersil yang dapat melaju dengan kecepatan 20 knot atau lebih.
"Kalau di darat dengan kecepatan 11 knot/mil, sama dengan 20 km/jam," kata Letkol Laut Edi Haryanto, Komandan KRI Banda Aceh.
Untung saja penyelenggara sudah menyiapkan serangkaian acara di atas kapal. Minimal bisa mengusir rasa jenuh dan bosan tadi. Kegiatan sosialisasi dari Bank Indonesia, Kemenpora, organisasi pemuda dari berbagai lembaga, perwakilan dari TNI AL yang memaparkan kekuatan militer laut Indonesia dan hiburan dari beatboxer yang membuat aransemen musik melalui pita suara serta tentunya sesi berbagi bareng Kompasiana.Â
Alhamdulillah, saya berkesempatan memberikan informasi dan berbagi virus menulis di atas KRI Banda Aceh.
Peserta juga tak kehabisan akal, mereka ada yang bermain gitar, kartu, catur, menari sampai bermain sepak bola di area geladak helly yang cukup luas.Â
Semua dijalani dengan penuh suka cita tanpa ada beban di antara mereka. Bahkan, menjelang tiba di pelabuhan Sorong, penyelenggara membuat sebuah kompetisi bulutangkis menggunakan sarung atau kain. Seru! Saat ini kami sudah melintasi laut Banda dan perairan Seram.Â
Kami harus menunggu sampai besok pagi untuk bersandar di pelabuhan Sorong.