Mohon tunggu...
Nurulloh
Nurulloh Mohon Tunggu... Jurnalis - Building Kompasiana

Ordinary Citizen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Korea Utara Menghimpun Perhatian

24 November 2010   15:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:20 751
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jumat, 29 Oktober 2010, Korea Selatan (Korsel) dan Korea Utara (Korut) terlibat perseteruan terbuka dalam aksi baku tembak antara kedua tentara di perbatasan. Menurut kantor berita Yonhap, Korsel, tentara Korut memulai provokasi dengan menembakan peluru ke pos penjagaan tentara Korsel di perbatasan, Hwacheon, Provinsi Gangwon. Tindakan Korut tersebut, spontan di balas dengan tembakan balasan oleh tentara Korsel. [caption id="attachment_76935" align="alignright" width="400" caption="Model rudal Scub-B Korea Utara dan rudal lain milik Korea Selatan dipajang di Museum Peringatan Perang Korea, di Seoul, Korsel./AP photo/Ahn Young-joon"][/caption] Selang beberapa minggu, Selasa, 23 Nopember 2010, Korsel kembali dikejutkan dengan tindakan ofensif Korut yang menembakkan puluhan peluru ke wilayah Korsel. Serangan ini menyebabkan dua marinir Korsel meninggal dan belasan lainnya luka-luka. Konon serangan Korut ini disebabkan terkuaknya aktivitas pengayaan uranium Korut yang sejak lama ingin menjadi negara dengan kekuatan nuklir. Ini adalah dua perseteruan terbuka terbaru antara Korsel dan Korut setelah insiden penembakan atas kapal Korsel "Cheonan" yang ditenggelamkan Korut pada bulan Maret 2010, menurut pihak Korsel dan sebelumnya aksi penembakan di Laut Kuning pada Nopember 2009. Banyak pihak yang menengarai, Korut geram akibat rencana dan proses pengembangan senjata nuklir mereka dicampuri banyak pihak, bahkan Amerika Serikat (AS) dan negara-negara lainnya, sampai harus membentuk tim runding yang dikenal dengan Six Party Talks, yang melibatkan enam negara, diantaranya Korut, Korsel, AS, Rusia, Jepang dan China. Tujuan dibentuknya juru runding ini adalah untuk "menawar" kebijakan pengembangan senjata nuklir Korut dengan berbagai perimbangan yang sebisa mungkin menjadi "win win solution" bagi semua negara. Diantaranya ialah pemulihan hubungan Korut dengan negara-negara yang pernah bersitegang dengannya, bantuan ekonomi, dan lainnya. Penentangan pengembangan senjata nuklir yang dijalankan Korut ini adalah suatu dilema dan ambigu. Nuclear Non-Proliferations Treaty (NNPT/NPT) adalah traktat yang memberlakukan tidak adanya lagi pengembangan atau penyebaran senjata nuklir dan perlucutan senjata serta penggunaan senjata (nuklir) untuk maksud damai, seperti sumber energi dan lain-lain yang mulai diberlakukan sejak tahun 1970. Banyak negara menjadi anggota dan telah meratifikasinya, termasuk Korut, namun pada April tahun 2003, negara ini keluar dari NPT. Di saat itulah Korut mulai mengembangkan senjata nuklir secara masif. Hal ini menjadi ambigu karena negara-negara yang meratifikasi NPT ini tetap "diam" ketika negara-negara seperti Pakistan, India, Israel mengembangkan dan memiliki senjata nuklir, padahal NPT sudah jelas ada sejak tahun 1970 dan diperjelas setelah perang dingin berakhir. Terlebih AS selalu melegalkan ambisi sekutunya untuk memiliki senjata nuklir seperti Israel yang telah memiliki Nuklir sejak lama dan menjadi rahasia umum karena pihak Israel selalu berkilah bahwa mereka tak memiliki senjata itu. Otomatis hal tersebut membuat Korut makin berani mengambangkan program nuklirnya, terlebih ambisinya untuk melanjutkan perseteruan dengan Korsel yang sejak lama bergelora sejak 1950 sebagai puncaknya. Persteruan kedua negara ini tidak akan berakhir sampai tuntas sebelum adanya perjanjian damai. Perlu diingat, Perang Korea hanya disudahi dengan genjatan senjata. Terlebih ketika itu, perang Korut tidak hanya dimainkan oleh dua Korea namun juga ada campur tangan negara lain, bahkan perang Korea itu memanas karena dikombinasikan dan diprovokasi oleh dua kutub yang menjadi kekuatan dunia kala itu, AS dan Uni Soviet. Perang itu kerap dikenal sebagai proxy war atau perang perpanjangan tangan antara China, Uni Soviet dan AS. Himpun Perhatian Dunia Six Party Talks sampai kini masih terus diusahakan berjalan kembali. Intinya adalah membujuk Korut untuk menghentikan program nuklirnya dan sebagai imbalan, Korut akan menerima beberapa insentif termasuk dari AS. Korut dikenal dengan negara yang memiliki tentara yang sangat banyak tapi selain itu Korut juga sangat terkenal kemiskinan yang menghantui warganya. Kepemimpinan Kim Jong Il, adalah sebuah fenomena negara komunis kekinian. Sejak menggantikan kekuasaan ayahnya, Kim Il Sung, Jong Il dikenal sebagai pemimpin yang antipati terhadap isu sosial warganya. Dipikirannya hanya militer dan pengaruh serta kekuasaan. Tak penting bagi Jong Il, warganya bisa makan atau tidak. Baginya pengaruh dan kekuasaan (militer) harus menjadi nomor satu dan menjadi prioritas utama. Sampai hari ini pun, Jong Il tetap teguh akan pendiriannya itu walaupun anaknya, Kim Jong Un diprediksi akan mengantikan posisi Jong Il beberapa tahun ke depan. Sikap dan tindakan Korut seperti menyerang dan memprovokasi Korsel agar terlibat dalam perseteruan terbuka, merupakan usaha Korut untuk menghimpun perhatian dunia. Tak lain adalah agar Korut selalu disegani dan mendapat tempat 'penting' di percaturan (militer) dunia. Masa Depan Hubungan Dua Korea Sulit memastikan hubungan kedua Korea ini. Selain banyaknya pihak yang berkecimpung dalam urusan kedua negara ini, Korut dan Korsel adalah dua negara yang masih berstatus musuh. Penghentian perang Korea 1950-1953 hanya sebatas genjatan senjata, tidak ada traktat perdamaian yang mengikat, sehingga perang terbuka mungkin saja terjadi, bahkan bisa lebih dahsyat dari perang 1950. Ini disebabkan, kekuatan militer Korut semakin besar dan terorganisir. Bagi Korea sendiri, perseteruannya dengan Korut telah menghambat perkembangan politik dalam negerinya, selain itu, prestasi ekonomi Korsel yang gemilang dibanding Korut akan ikut kena dampak. Melihat ketegangan yang terjadi belakangan ini, rasanya Korut akan meneruskan aksi provokasi mereka sampai "permintaan" mereka terpenuhi---seperti poin-poin yang ada dalam six party talks--- yang dirasa belum "adil" untuk mereka. Tapi di balik itu ada sebuah keuntungan bagi AS yang memang sudah lama ingin menerapkan dan memperpanjang sanksi terhadap Korut. Perannya di sini, AS dapat memonitor bahkan mengatur segala kebijakan Korsel untuk tidak mengalah kepada Korut. Sebaliknya, Korut akan tetap ngotot dengan segala dukungan yang di dapat dari China dan Rusia. Sekali lagi, unsur proxy tetap tak terbantahkan dalam konflik kedua negara ini. Jika saja kedua negara ini benar-benar menginginkan kembali perang secara terbuka, tak terbayangkan dampak yang akan diakibatkan. Bayangkan saja, pada tahun 2009 lalu, akibat insiden di Laut Kuning antara Korut dan Korsel, pihak Korut siap menerjunkan 1,2 juta militer Korut dalam siaga penuh untuk menghadapi 680.000 tentara Korsel, saat itu. Kini bisa diprediksi kekuatan kedua negara yang terus berkembang terutama Korut. Sedangkan Korsel masih mengharap bantuan AS dalam perihal kemampuan militer. NuruL

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun