Mohon tunggu...
Nurulloh
Nurulloh Mohon Tunggu... Jurnalis - Building Kompasiana

Chief Operating Officer Kompasiana

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Berperang dengan Malaysia Itu Tidak Mudah!

31 Agustus 2010   09:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:34 3063
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepertinya konflik atau ketegangan Indonesia dan Malaysia sudah sering kali terjadi bahkan kondisi ini serupa dengan kondisi dan konflik di belahan dunia lain seperti di Timur Tengah, Cina daratan, Semenanjung Korea dan lainnya. Respon dan dampaknya pun sudah biasa dirasakan dan dilihat oleh masyarakat kedua negara. [caption id="attachment_245178" align="alignright" width="400" caption="Ilustrasi (KOMPAS.com)"][/caption] Aksi demontrasi, unjuk rasa, bahkan sampai propaganda untuk berlanjut ke benturan fisik melalui militer juga lumrah. Bagi Indonesia sendiri, ketegangan kedua negara ini sudah menjadi ritual tahunan. Tahun lalu Indonesia dan Malaysia terlibat permasalahan hak cipta dan kini sampai ke masalah sandera dan perbatasan laut. Menyoal perbatasan sendiri, kita (Indoensia) memang lemah terlebih terkait masalah kedaulatan. Lepasnya Ligitan dan Sipadan tahun 2002 tentunya masih membekas di benak masyarakat Indonesia. Kelemahan diplomasi dan lemahnya bergaining position Indonesia terhadap Malaysia menyebabkan kedua pulau tersebut harus jatuh ke tangan Malaysia. Tahun  kemarin, Indonesia juga sempat dibuat meradang dengan Malaysia yang secara sepihak telah mengakui berbagai kebudayaan dan kesenian Indonesia. Kini, Indonesia juga dibuat tarik nafas oleh Malaysia yang telah menangkap warga negara Indonesia di perairan Indonesia. Ditambah lagi, batas perairan Indonesia yang kian lama, kian menyempit diakibatkan klaim sepihak Malaysia. Wajar, jika banyak masyarakat Indonesia yang geram dan mengobarkan semangat perang dengan saudara serumpun itu. Perang bagi seorang atau negara yang realis mungkin dapat dijadikan jalan keluar untuk mengatasi segala bentuk permasalahan terlebih antar negara, salah satunya untuk membungkam musuh dan merebut hegemoni. Namun, perang juga dapat menyebabkan kehancuran yang dahsyat dan tak dihargainya hak setiap individu, walaupun peperangan sendiri memiliki aturan yang mengikat seperti yang diatur di dalam  konvensi Den Haag dan Jenewa yang secara komprehensif mengatur tentang peperangan. Tapi peraturan yang dibuat pasca perang Dunia itu kerap dilanggar oelh negara manapun terlebih negara yang memiliki kekuatan militer yang besar dan hegemon. Indonesia Vs Malaysia Andaikan Indonesia dan Malaysia berperang seperti keinginan sebagian masyarakat kedua negara, khususnya masyarakat Indonesia yang berang dengan perilaku Malaysia, tentu ekses yang timbul  sangat buruk bagi negeri ini, di samping harga diri yang mungkin terjaga jika Indonesia menang dalam peperangan. Hal yang akan berdampak besar yaitu sisi ketenagakerjaan. Sebagaimana diketahui, begitu banyak warga negara Indonesia yang bekerja di sektor informal di Malaysia. Ini menunjukkan bahwa daya serap kerja di Indonesia tidak memadai yang menyebabkan mereka---Tenaga Kerja Indonesia/TKI---yang didominasi berpendidikan menangah ke bawah harus keluar "kandang" untuk mendapatkan kehidupan yang lebih  baik. Jika halnya Indonesia berperang dengan Malaysia, tentunya sisi inilah yang akan colaps terlebih dahulu dan pengangguran di Indonesia akan bertambah jika dalam kasus nanti semua TKI dipulangkan akibat peperangan yang melibatkan kedua negara. Sisi kedua yang tidak kalah pentingnya, yakni ekonomi. Kepentingan-kepentingan Malaysia di Indonesia sudah dapat dibilang banyak, dengan bertenggernya beberapa perusahaan milik Malaysia yang beroperasi dan berinvestasi di sini. Dari sektor perbankan sampai sektor energi serta ritel. Dapat dipastikan, jika Indonesia dan Malaysia berseteru dalam peperangan fisik/militer, Malaysia akan menarik segala investasi dan kepentingan-kepentingannya di Indonesia yang nantinya akan merujuk pada pengangguran tenaga kerja Indonesia yang bekerja di perusahaan atau kepentingan milik Malaysia. Infrasutruktur dan pembangunan yang Indonesia rintis akan lenyap dan runtuh dalam hitungan minggu bahkan hari. Sisi ketiga yaitu, kekuatan militer. Mungkin tanpa data yang sepesifik tentang kekuatan militer Indonesia, kita saja sebagai masyarakatnya sudah dapat menebak dan memprediksikan bahwa kekuatan militer kita kalah dengan Malaysia. Senjata dan armada militer Indonesia dikenal sebagai sejata atau armada yang sudah "uzur". Biaya perawatan yang mahal dan produksi baru yang kian tinggi harganya menyebabkan Indonesia sulit mendapatkan dan atau membeli senjata/armada militer yang baru dan canggih. Hal tersebut juga disebabkan karena anggaran belanja negara yang dialokasikan untuk memodernisasi persenjataan masih sedikit dan tidak memadai. Sangat pantas jika kini, Departemen Pertahanan meminta jatah lebih banyak dari tahun-tahun sebelumnya. Pernah mantan Menhan RI yang memprediksikan jika kita berperang melawan Malaysia, Indonesia akan mampu menyerang dan bertahan hanya dalam hitungan minggu, setelah itu kita akan dibombardir habis. Sisi keempat, yang paling sederhana tapi sangat penting, yaitu nyawa warga negara yang akan hilang dengan sia-sia. Tipikal masyarakat Indonesia terlalu mudah untuk diprovokasi akan menjadi hal yang berbahaya, jadi jangan heran jika ada non-combatant akan ikut juga bertempur meski usia dan fisik yang tak memungkinkan. Hal ini justru akan membawa Indonesia ke masalah hukum perang. Selain keempat sisi yang dijabarkan di atas, tentunya masih banyak lagi sisi dan faktor yang akan berdampak dan menimbulkan ekses yang negatif jika Indonesia dan Malaysia berperang akibat ketegangan yang tak kunjung usai. Hal yang paling dapat diandalkan hanyalah diplomasi yang tegas ! Sipadan dan Ligitan dapat dijadikan pengalaman pahit yang akan membawa diplomasi Indonesia menjadi lebih baik dan tegas serta memiliki bergaining position yang kuat. Diperlukan diplomat-diplomat yang unggul dan berani ambil resiko dengan sanksi dan tindakan lain yang dapat menjaga harga diri bangsa agar ke depannya kita tak lagi bersitegang dengan saudara sendiri. NuruL

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun