Langkahnya gontai,lemas,seperti boneka kayu yang digerakkan dengan tali oleh pemiliknya. Ya,terlihat keputus asaan dalam binar matanya yang redup. Entah kemana lagi dia akan mencari seseorang yang benar-benar bisa menolongnya. Dia hanya pasrah pada kemauan kakinya melangkah. Akhirnya,sang kaki menghentikannya tepat di depan pintu gerbang sebuah panti asuhan. Entah kenapa kakinya berhenti di sana. Beni hanya diam memperhatikan panti asuhan itu. Di sana terdapat sebuah poster besar yang bertuliskan ” TAK AKAN PERNAH BERKURANG HARTA YANG DISEDEKAHKAN KECUALI IA BERTAMBAH ,BERTAMBAH ,BERTAMBAH ” (HR . At – Tirmidzi). Tujuannya tidak lain dan tidak bukan ya untuk menarik minat orang untuk menabung,menabung untuk kebutuhan akhirat. Tak ada yang tersangkut dibenak Beni mengenai tulisan itu,hanya berlalu begitu saja seperti debu yang terbang terbawa angin. Sepertinya otaknya benar-benar penuh. Penuh dengan permasalahan hidup yang pelik.
Angin menggodanya untuk kembali melangkah. Dia terus berjalan menyusuri trotoar bersama debu. Hanyut terbawa angin. Tiba-tiba dia teringat pada tulisan besar yang terpampang pada poster tadi. Tulisan itu akhirnya tersangkut di otaknya yang bertebaran dengan permasalahn. Langsung dia periksa kantongnya,apakah ada sisa uang di sana? Ternyata kosong. Bukan uang yang dia dapat,tapi selembar kertas tebusan obat istrinya yang menjadi penghuni kantongnya sejak beberapa hari yang lalu yang sudah hampir tak berbentuk. Akhirnya,Beni segera beranjak dari tempatnya berdiri dan segera berlari. Berlari meninggalkan keputus asaan. Semangatnya kembali sedikit-demi sedikit.
Rumahnya kini tak semegah harapannya. Di dalamnya berantakan,tak terurus dan sempit. Dia mencoba mencari celah dimana dia bisa menemukan sisa-sisa barang berharganya. Tak satupun yang dia dapatkan kecuali jam tangan yang melingkar dilengannya. Dia mencoba mencari lagi,megobrak-abrik rumahnya sendiri. Akhirnya,yang dia dapatkan hanya jam tangan,dan sebuah handphone bekas miliknya sendiri. Beni kembali berlari,meninggalkan rumahnya yang sudah seperti kapal pecah. Ya,dia berlari mencoba menggapai harapannya.
Di seberang jalan,dia mencoba mencari orang yang mau menukarkan uangnya dengan barang berharga yang dimilikinya sekarang. Masih belum ada yang mau menukarnya . Dia terus berusaha. Akhirnya,seorang penjual koran iba kepadanya dan dengan senang hati dia memberikan beberapa lembar lima puluh ribuan kepada Beni. Betapa senangnya dia sekarang. Matanya yang redup kembali bersinar.
Tanpa membuang-buang waktu lagi,dia segera mencari anak-anak jalanan yang benar-benar membutuhkan bantuannya. Sebenarnya,dia juga membutuhkan uang untuk biaya operasi istrinya. Tapi,dia tidak berfikir untuk menggunakan uang itu untuk biaya operasi. Uang yang tak seberapa jumlahnya itu mungkin akan lebih berguna bagi orang lain.
Tidak sulit menemukan orang-orang seperti yang dia cari. Beberapa anak dengan keadaan yang tak sama seperti kita sering lalu-lalang di tengah hiruk-pikuk kota sekedar mencari sesuap nasi. Beni pun membantunya dengan memberikan bungkusan nasi beserta uang yang dibungkus dengan plastik. Entah berapa jumlah uangnya. Beberapa orang yang dia temui dengan keadaan yang kurang lebih sama dengan anak tadi,tidak luput untuk diberinya kantong plastik berisi bungkusan nasi dan uang.
Ikhlas.. dia ikhlas memberinya,mengingat nasibnya yang masih lebih baik dari mereka yang dia temui tadi. Dulu ketika keluarganya masih di pandang orang sebagai orang yang berkecukupan,dia memang tidak pernah melihat kebawah. Begitupun keluarganya yang lain,tidak ada yang mengajarinya untuk memberi. Sering kali dia mendengar keajaiban bersedekah dan berbagi. Tapi,baginya itu hanya omong kosong.
Sampai roda nasib benar-benar berputar,dia baru menyadari bahwa hidupnya tidak akan selalu berada di atas. Ketika keluarganya mendengar berita bahwa perusahaan ayahnya akan mengalami kebangkrutan,Beni segera dinikahkan dangan pacarnya yang telah lama di kenal oleh orang tuanya,sebelum aset mereka benar-benar di rampas oleh Bank. Dan ternyata benar,beberapa hari setelah menikah hal yang selalu di takutkan oleh orang kaya yang kikir seperti mereka akhirnya terjadi juga. Beni pun sadar roda nasib benar-benar berputar.
Orang tuanya stres,akhirnya mereka menjadi penghuni RSJ. Kini Beni hanya bisa tergantung pada istrinya. Rumah kontrakan sederhana kini menjadi istana baginya dan istriya. Mertuanya tak dapat membantu banyak dalam hal ekonomi mereka sekarang. Sejak di temukan tumor otak yang mengerogoti sang istri,hidupnya semakin kalang labut. Dia tidak biasa menghadapi permasalahan hidup yang begitu pelik seperti ini.
Beruntunglah kini dia masih bisa kembali mempercayai Allah. Allah masih menuntunnya untuk menyelesaikan masalah hidupnya.
Kini fikirannya mulai tenang. Semburat senja yang jingga dan kemerahan di ufuk barat menemaninya hingga sampai di rumah sakit. Dia masuk ke kamar istrinya dan menciumi kening istrinya yang hanya diam terkapar lemah. “ Semua akan baik-baik saja,Sayang!” bisiknya di telinga sang istri walaupun dia tahu istrinya kini belum bisa mendengar keluhannya sepertu dahulu. “Maafkan aku,” desahnya lagi. Kini air matanya tak lagi dapat terbendung. Air matanya mengalir deras di pipinya.
“Bagaimana,Pak?” tiba-tiba dokter mengagetkannya. Beni langsung menyeka air matanya. “Dok,Saya janji saya akan mendapatkan uang itu sebentar lagi,” ucapnya yakin sekali. “Tapi Pak,istri Anda harus segera dioperasi sekarang,” kini nada si dokter sedikit ditekan. “Kalau memang harus segera dioprasi,silakan Dok!” emosinya mulai naik. “Tapi,Anda belum melunasi uangnya,”. “Brengsek!” makinya. ”Tugas Anda hanya menjadi dokter,membantu orang yang harus Anda bantu,bukan menjadi seperti seorang rentenir,” tangannya bergerak menunjuk-nunjuk si dokter. Dadanya naik turun. “Saya dan orang-orang seperti Saya ini mengharapkan Dokter menjadi penolong,bukan menjadi pembunuh hanya gara-gara uang yang belum mampu kami bayar,” nafasnya mulai kembali stabil. Si dokter hanya diam. “ Beri Saya waktu sebentar lagi,Dok. Saya berjanji akan segera membayarnya,” pintanya. “Baiklah,Pak!. Kami akan menunggu hingga pukul 10 nanti,” si dokter segera beranjak keluar kamar pasiennya itu.
Beni kembali mengingat Tuhannya disaat dia benar-benar tidak tahu harus meminta pertolongan kepada siapa lagi. Dia bersujud kepada-Nya. Berdo’a seingatnya dan sesuai dengan permintaannya . Bukankah Allah Maha Tahu dan Maha Membantu?.
Kini dia menunggu hasil dari jerih payahnya tadi siang. Menunggu hasil sedekahnya tadi. Memang dia ikhlas dengan pemberiannya tadi,tapi dia butuh bukti akan dalil-dalil yang sering kali dia dengar. Dalil-dalil yang menyatakan bahwa sedekah yang dia berikan akan dilipat gandakan oleh Allah. Dia ingin membuktikan kebenaran dalil-dalil itu saat ini. Saat dimana dia benar-benar menginginkan bukti itu. Ya,dia benar-benar membutuhkan bukti itu.
Berjam-jam dia menunggu di koridor depan kamar rawat istrinya. Binar matanya mulai meredup. Keputus asaan kembali menghinggapinya. Keyakinannya mulai pudar lagi. Dalam otaknya kembali bergelut banyak hal. Bagaimana jika isterinya tidak dapat diselamatkan?. Pertanyaan itu selalu berputar-putar dalam fikirannya. Satu-persatu lampu rumah sakit mulai dimatikan sama seperti semangatnya yang kini sedikit-demi sedikit mulai padam.
“Brengsek!,semuanya benar-benar omong kosong,” makinya sendiri sambil memukuli tembok sekuat-kuatnya. “Dimana kau Tuhan?” air matanya kembali mengalir. Kepalanya ditadahkan ke atas. Kini rahangnya di katupkan,tangannya dikepalkan. Beni merasa di bohongi dengan dalil-dalil dari Tuhannya itu. Kemarahan dan kebencian mulai hinggap.
Jarum jam yang kecil sudah mendekati angka 10. Dari kejauhan,seperti seorang dokter akan mendekatinya. Hatinya bergetar. “Bagaimana,Pak?” masih pertanyaan yang sama dari dokter itu. “Saya mohon selamatkan istri Saya,Dok!” mohonnya sambil memegang pundak si dokter. “Saya janji akan membayarnya walaupun tidak sekarang,Dok,” lanjutnya lagi. “Maaf,Pak” dengan berat hati dokter itu mulai beranjak pergi. Tepat pukul sepuluh. “ Ahh. Brengsek!” makinya sendiri sambil mencoba memukul angin. Air matanya semakin membanjir.
Tiba-tiba “Beni..Beni..!” terlihat beberapa orang sedang berlarian mendekatinya. Dokter menghentikan langkahnya,dia menoleh ke belakang melihat kegaduhan yang terjadi. “Ben,mana Indah?”,tanya salah satu dari mereka yang lebih kurus dari yang lain. “kalian siapa?” tanya Beni. “ Kita temen Indah dari SMA dulu,waktu kuliah kami pernah punya hutang sama Indah,hutangnya cukup banyak” jawab yang paling cantik di antara temannya yang lain. “Kalian tahu dari mana kalau Indah dirawat di sini?” tanyanya lagi. “Beberapa hari yang lalu Kita sudah berniat untuk membayar hutang Kita ke Indah,setelah Kita mencari tahu,ternyata Indah ada di rumah sakit ini. Jadi,Kita cepet-cepet ke sini sebelum semuanya terlambat,” yang lebih pendek menjekaskan. “Sakarang mana uangnya?” akhirnya pertanyaan itu diajukan. “Ini,” yang cantik meyerahkan sebuah amplop yang isinya cukup tebal. Beni memastikan uang itu. Ya,benar. Itu benar-benar uang yang dia tunggu. Ya Allah,terima kasih,batinnya.
Keyakinannya kembali. Semangatnya kembali bersinar. Matanya kembali berbinar. “Dok,Saya sudah bilangkan Saya akan membayarnya!” Beni menghampiri si dokter yang sedari tadi memperhatikan percakapannya bersama teman-teman istrinya. Senyumnya mengembang bersama air mata yang ikut larut dipipinya. “Ini,Dok!” Beni menyerahkan uang itu. “Baiklah,Pak!. Operasinya bisa kami mulai sebentar lagi.”,si dokter ikut berbahagia. “Saya mohon selamatkan istri Saya,Dok!” pintanya lagi.
“Ya Allah,terima kasih Ya Allah!” syukurnya di depan teman-teman Indah yang juga merasakan kebahagiaan Beni. “Terima kasih teman-teman!” air matanya terus mengalir,senyumnya tetap mengembang. Sementara teman-teman Indah saling berangkulan. Yang paling pendek diantara mereka juga ikut menangis merasakan keharuan itu. Yang lain menguatkan.
Akhirnya,mereka bersama-sama mendo’akan Indah dan bermunajat di musholla rumah sakit setelah sholat isya’ berjamaah. Manusia memang hanya akan mengingat Tuhannya jika mesalah telah benar-benar menjepitnya.
SELESAI
“Allah tidak pernah ingkar dengan janji-janjinya.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H