Mohon tunggu...
nurul hayati
nurul hayati Mohon Tunggu... Administrasi - Mother, Wife, Civilian servant

Willing to learn and a mentality player

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pindah Ibu Kota, Menjadi Tamu di Rumah Sendiri

29 Agustus 2019   09:12 Diperbarui: 29 Agustus 2019   11:29 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika dikiaskan, kondisi demikian sama halnya dengan Pemerintah menggali terus lubang sedalam-dalamnya namun tanpa ada beban dan rasa malu bahwa lubang yang sudah pernah digali lupa untuk ditutup kembali. Terpampangnya hutang-hutang pada periode sebelumnya seakan tidak menjadi persoalan untuk meraup hutang yang baru. 

Sungguh ini sama halnya Pemerintah seakan lupa akan kedudukannya yang seharusnya bukanlah sebagai Penguasa melainkan sebagai Pelayan Rakyat. Sebagai Pelayan Rakyat, Pemerintahlah yang dengan segala Power yang dimilikinya dapat menuntaskan sederet persoalan yang diderita rakyat. 

Bukan malah menggunakan Power yang dimilikinya untuk menyuguhkan berbagai macam kenaikan barang pokok, pencabutan subsidi, kenaikan iuran BPJS kepada rakyat jelata agar pendapatan Negara kian menjulang. 

Sebagai hilir pendapatan negara kian menjulang, selanjutnya akan dialokasikan untuk membayar fee penggunaan fasilitas gedung setiap tahunnya kepada Pengusaha. Lantas, dimana peran Pemerintah sebagai pelayan rakyat?

2. Pemerintah mewariskan hutang kepada anak cucu

Presiden yang memangku jabatan selama 5 (lima) tahun dan diharuskan untuk membayar Fee kepada Pengusaha selama 20 (dua puluh) tahun sama halnya dengan pembayaran Fee akan tetap terus berlangsung hingga 3 (tiga) atau 4 (empat) kali pergantian Presiden. 

Pertanyaannya, ada apa dengan fasilitas gedung perkantoran di Ibu Kota Jakarta? Jika Pemerintah ingin sesegera mungkin untuk pindah Ibu Kota saat ini juga, seharusnya kondisi semua fasilitas gedung perkantoran di Jakarta sudah tidak layak pakai dan demi pelaksanaan kelancaran kegiatan pemerintahan diharuskan untuk segera pindah Ibu Kota Baru. 

Nyatanya, kondisi Jakarta dengan sederet prestasi yang diraihnya, pembangunan yang bertahap namun berjalan pasti, dan tata kotanya yang kian terus berbenah justru mengkambinghitamkan segala keruwetan Jakarta seperti macet, polusi, banjir, tidak nyaman, dijadikan alasan pindah Ibu Kota. 

Padahal, jika dianalisa kebermanfaatan dari pindah Ibu Kota hanya sepersekian persen dibandingkan mudharat yang akan didatangkan.  Dan malangnya Pemerintah pula juga yang harus membayar biaya sewa selama 20 (dua puluh) tahun untuk penggunaan gedung Perkantoran di Ibu Kota baru hingga gedung tersebut dimiliki Pemerintah. 

Sungguh kondisi ironis, warisan yang dari Penguasa seharusnya berupa karya-karya namun nyatanya berupa beban yang harus ditanggung bersama. Lantas apa jadinya bangsa ini jika yang diwariskan adalah serumpunan generasi maniac game, apatis pada kondisi bangsa, hutang yang terjerumus pada kondisi penderitaan, dan rintihan persoalan lainnya yang hingga kini belum menjadi prioritas utama untuk diselesaikan. Lalu, apa yang menjadi prioritas Pemerintah saat ini?         

3. Menjadi Tamu di Rumah Sendiri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun