Tangan itu yang dulu membuaiku dalam ayunan. Membimbingku saat terjatuh. Merawatku tanpa keluh. Mendidikku agar tak hilang arah.Â
Kini kulitnya berlipat, jalannya pun susah. Wajah yang dulu elok rupawan, Â tiada menarik lagi sekarang. Rambut yang dulu hitam, memutih sudah. Lalu mengapa ? Beliau tetap ibuku.Â
Bukan orang kaya, juga tak bergelimang harta. Perempuan desa sederhana, lugu dan berwibawa. Pastinya sholehah dan bermartabat, karena selalu menjaga kehormatannya. Beliaulah ibuku.Â
Kadang kala mengeluhkan kaki sakit, tubuh pegal dan seabrek rasa tak nyaman. Tenang Bu, aku tak akan bosan mendengar keluh kesah itu. Kalau perlu, memijitpun aku mau. Aku bersedia Bu. Karena engkaulah ibuku.Â
Kalaupun usia ibu semakin menua nanti. Yang katanya akan menjadi pikun dan banyak lupa. InsyaAllah aku akan berusaha sabar. Menahan diri dari emosi. Sebagaimana Ibu melakukannya pada kami semasa bayi.
Ibuku....tak lupa dalam setiap untaian munajat. Lafadz doa selalu kuucap. Agar segala kebaikan dan Rahmat Tuhan. Melimpahimu.Â
Oh ya, satu lagi Bu, mohonku agar bisa selalu berbakti padamu. Merawat dan menjagamu tanpa menggerutu. Semoga aku bisa Bu.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H