Kenaikan biaya pendidikan di kampus-kampus negeri saat ini menjadi topik yang banyak disoroti oleh publik. Salah satunya, yakni kenaikan biaya pendidikan di Universitas Indonesia yang dinilai berpotensi menghancurkan mimpi anak bangsa. Fenomena yang terjadi ini, berjalan beriringan dengan semakin tunduknya perguruan tinggi terhadap pasar tenaga kerja. Praktek ini sebagai salah satu indikator dari keberadaan neoliberalisme dalam bidang pendidikan. Paham neoliberal dinilai dapat mendorong transformasi dalam berbagai sektor sehingga mampu sejalan dengan modernisasi.Â
Melalui neoliberalisme, terjadilah perubahan hubungan antara institusi pendidikan dengan mahasiswa yang hanya dilihat sebagai Business to Consumer (B2C) sehingga berdampak pada memudarnya Tri Dharma Perguruan tinggi.Â
Neoliberalisme merupakan lanjutan dari liberalisme yang memberikan otonomi kepada individu untuk melawan intervensi dari komunitas. Prinsip dan nilai yang terdapat dalam neoliberalisme tidak jauh berbeda dari pemikiran liberalisme klasik Adam Smith. Paham liberal maupun neoliberal sama-sama mendukung minimalisasi peran pemerintah dalam perdagangan, deregulasi pasar agar terbebas dari restriksi, menghilangkan tarif perdagangan, dan kebijakan lainnya yang mendukung free trade. Kedua paham ini memandang bahwa persaingan bebas merupakan cara terbaik untuk mewujudkan kemajuan karena memberikan ruang yang besar untuk menggunakan utilitas.Â
Oleh karena itu, penerapan paham neoliberal dalam bidang pendidikan dinilai sebagai upaya untuk memenuhi pasar kerja dengan membentuk calon-calon tenaga kerja sesuai kualifikasi yang dibutuhkan.Â
Bagaimana penerapan neoliberalisme dalam bidang pendidikan?
Penerapan paham neoliberal dalam bidang pendidikan, secara nyata dapat dilihat dari transformasi pendidikan tinggi di Amerika Serikat. Amerika Serikat sebagai rumah bagi kampus-kampus "top" di dunia telah menetapkan regulasi yang sangat ketat dalam hal pendanaan, jurusan, pasar tenaga kerja, sampai dengan intervensi perusahaan swasta pada tata kelola perguruan tinggi yang semakin mendominasi. Dalam hal pendanaan, proses neoliberal dimulai pada masa pemerintahan Ronald Reagan (Presiden Amerika Serikat ke-40).Â
Reagan berhasil membuat kongres untuk pemotongan pajak masyarakat kelas atas. Dampaknya, Reagan saat itu harus memotong banyak pengeluaran agar menutupi kekurangan pendapatan pajak. Kebijakan tersebut mendorong perguruan-perguruan tinggi di Amerika Serikat menetapkan tuition fee dengan sangat mahal untuk menutupi biaya operasional.
Keputusan tersebut telah memberikan dampak buruk terhadap distribusi kesempatan dalam mengenyam pendidikan. Hal ini karena adanya biaya pendidikan yang tinggi, justru semakin membatasi kesempatan setiap orang untuk mengakses dan mendapatkan kualitas pendidikan terbaik.Â
Selain itu, biaya pendidikan yang tinggi mendorong terciptanya "transaksi atau jual beli" dalam perguruan tinggi. Hal ini tentu akan berdampak terhadap pergeseran kualitas pendidikan dan reputasi akademik karena bukan lagi kualitas prestasi calon mahasiswa yang menjadi pertimbangan, melainkan kondisi keuangan calon mahasiswa. Persepsi terhadap perguruan tinggi pun berubah, bukan lagi sebagai institusi pendidikan, tetapi sebagai institusi bisnis.Â
Saat ini, jurusan-jurusan sosial di Amerika Serikat menjadi sasaran utama dalam pengurangan subsidi atau pendanaan. Jurusan sosial dinilai kurang memberikan kontribusi terhadap pembangunan negara. Oleh karena itu, sejak tahun 2009 anggaran untuk penelitian bidang Sosial dan Humaniora di Amerika Serikat banyak mengalami pemotongan. Salah satu lembaga yang mendapatkan pemotongan anggaran ini adalah National Endowment for the Humanities pada tahun 2014. Selain itu, salah satu perguruan tinggi terbaik di Amerika Serikat dan termasuk dalam Ivy League, yaitu University of Pennsylvania bahkan berencana menutup departemen musik dan bahasa karena permintaan pasar yang kurang laku.