Hai, Ma!
aku berada diujung malam dengan tatapan yang berkelana,
terasa hawa dingin di sekujur tubuhku tapi tak ada angin yang menerpanya.
Bintang-bintang nampak menjadi kunang - kunang yang menekankan hadirnya kegelapan.
Bukan aku yang menggetarkan hatiku, Ma!
Tapi, karena hidup yang kehilangan daya.
Tak ada pikiran,
Tak ada perasaan,
Tak ada suatu apapun.
Hidup ini fana, Ma!
aku merasa tak tahu dengan keberadaaanku.
Aku merasa dunia membuangku,
dunia merobek buku catatanku.
Aku marah, aku takut, aku gemetar.
Namun aku gagal menyusun bahasaku.
Ma!
aku duduk sendirian dengan memeluk lutut di sudut ruangan kamar tidurku,
aku merasa hidup tak ada harganya.
Hidupku tertarik ulur,
mulut berbusa sekedar karena tertawa.
Hidup asak oleh basa-basi.
Ma! hidup ini fana Ma.
Akrobat pikiran dan kepalsuan yang dikelola mengacaukan isi perutku.
Tapi Ma,
setiap kali menyadari adanya kamu dalam hidupku,
arus darahku menjalar disekujur tubuhku.
Kelenjar darahku bekerja dengan baik, sukmaku bernyanyi.
Dan apabila aku menulis sajak,
aku juga merasa bahwa kemarin, hari ini dan esok,
bencana dan keberuntungan sama saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H