Penyesalan dan Bisikan Cinta-Nya
Oleh Nurul Hidayah
Sebuah lorong sunyi terbentang di kedalaman malam. Gulita perlahan menelan seluruh benda dan hanya menyisakan ketiadaan. Di sudut lorong tampak secercah cahaya temaram. Setitik cahaya itu menyingkap berlapis-lapis tabir hakikat dan bersamanya berbagai peristiwa mulai tampak mengemuka. Satu per satu potongan kisah mulai diputar di hadapan kita. Kita adalah penonton yang tenggelam dalam pusaran cerita. Di hadapan kita ditampakkan jalinan kisah yang masih basah oleh tangis penyesalan. Ada luka yang belum sembuh sempurna dan ada retak yang tak mampu utuh seperti sedia kala.
Pada tempat yang sama ada sekumpulan orang yang sedang meneteskan air mata, menangisi tangisan kita. Tak beberapa lama datanglah seorang kakek tua yang membawa sebuah bejana. Kepada sekumpulan orang itu, kakek tua bertanya, "mengapa kalian menangis?" Dijawablah pertanyaan itu dengan tangis yang semakin pilu, tanpa kata yang mampu terucap. Lalu kakek tua itu mengulurkan sebuah bejana. Diletakkannya bejana itu tepat di bawah tangisan yang semakin menderas. Kakek tua segera berlalu sambil berbisik kepada setiap pasang telinga, "menangislah dan teruslah menangis hingga bejana ini tak lagi mampu menampung air mata."
Sekumpulan orang itu merasa heran dengan titah sang kakek tua. Seketika tangisan mereka mereda sedangkan bejana itu belum terisi barang setengahnya. Langkah kakek tua pun terhenti, berbalik arah menuju bejananya. Kedatangannya disambut dengan sebuah tanya, "mengapa kiranya kakek tua meminta kami untuk terus menangis?" Kakek tua tidak memberikan jawaban apa-apa. Tangannya kembali terulur mengambil sebuah bejana. Sebagian dari air mata yang ada di dalamnya ditumpahkan pada sepetak tanah gersang. Kakek tua melanjutkan langkahnya dan berlalu tanpa pernah kembali.
Dua puluh tujuh hari telah berlalu. Ada sepetak tanah yang memukau mata. Bunga beraneka warna tumbuh indah di atasnya. Benih keindahan ini ditumbuhkan tersebab air mata dalam bejana. Air mata dari sekumpulan orang yang menangisi tangisan kita. Sedangkan keberadaan kita sudah terbang jauh di tempat yang entah. Air mata kita masih terus mengalir sedangkan sekumpulan orang itu tak lagi menangisi tangisan kita. Hidupnya telah berlimpah kesenangan, berlarian mengitari taman bunga yang elok namun melenakan.
Sebuah rekaman kejadian diputar berulang-ulang. Ada sebagian orang yang jenuh menyaksikan peristiwa yang selalu sama. Sedangkan sebagian yang lain tenggelam dalam linangan air mata. Kepada dua kelompok manusia ini dibisikkan sebuah pesan cinta, "dan kamu telah berdiam di tempat-tempat kediaman orang-orang yang menganiaya diri mereka sendiri, dan telah nyata bagimu bagaimana Kami telah berbuat terhadap mereka dan telah Kami berikan kepadamu beberapa perumpamaan." [1]
Pesan cinta tersebut menyiratkan makna yang penuh hikmah. Terdapat banyak muatan sejarah yang dihadirkan Sang Pencipta dalam kalam agung-Nya. Perjuangan terberat manusia adalah perjuangan melawan lupa. Menilik dari sisi ini, bisikan pesan cinta-Nya menjadi mata air yang menyejukkan, menyirami kembali relung hati yang sempat kering. Senada dengan pernyataan dari Kuntowijoyo dimana beliau telah menelaah Islam lewat kitab suci al-Qur'an menemukan bahwa kisah-kisah sejarah yang terdapat dalam al-Qur'an dimaksudkan untuk mengajak umat manusia melakukan perenungan untuk memperoleh hikmah. Selanjutnya menurut beliau, melalui kontemplasi terhadap kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa historis dan juga melalui metafor-metafor yang berisi hikmah tersembunyi, manusia diajak merenungkan hakikat dan makna kehidupan. [2]
Rekaman peristiwa yang membuat para penontonnya menitikkan air mata telah dikisahkan pada bagian pembuka. Dimana kita adalah pelaku utama dari jalinan kisah tersebut. Tangis yang hadir membasahi mata kita adalah sebuah anugerah luar biasa dari Sang Maha Rahim. Dengannya mata hati kita dimampukan untuk lebih jernih dalam memandang peristiwa. Tangisan dan rintihan penyesalan menjadi bagian dari sebuah langkah dalam menempuh jalan pertaubatan. Disampaikan pula bahwa di dalam taubat cukup menghadirkan rasa penyesalan; karena dengannya bisa mencabut diri dari dosa dan berazam untuk tidak mengulanginya lagi, keduanya tumbuh dari penyesalan tidak ada hal yang pokok lainnya bersamanya. [3]
Bisikan cinta-Nya selalu hadir dalam setiap kesempatan, namun tidak semua telinga dengan jeli mendengarkan. Bagi mereka yang dianugerahi kemampuan dan kemauan untuk mendengarkan kisah secara berulang, sudah selayaknya mengambil hikmah dari setiap kisah. Al-Qur'an sebagai bisikan cinta-Nya menghadirkan kisah para tokoh yang penuh keteladanan. Pada setiap masa selalu ada reka kejadian yang penuh makna. Ada potongan-potongan kisah baik yang layak kita teladani. Ada pula serpihan-serpihan cerita pilu yang perlu dijadikan pembelajaran agar tidak terulang kembali.
Catatan Kaki:
Al-Qur'an surat Ibrahim ayat 45
Kuntowijoyo dalam Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi (Bandung : Mizan, 1991), h. 328
Fathul Baari: 13/471
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI