Aku melihat diriku tertawa di tengah banyak orang. Tawa yang tak pernah kulihat sebelumnya. Mencoba ikut andil dalam lelucon orang lain. Merasa perlu karena diriku tak ingin menjadi perusak suasana.
Aku melihat diriku menangis sendirian. Menyalahkan dirinya sendiri karena ketidakmampuan. Menangis tersedu-sedu dan bersembunyi. Diriku yang tak ingin terlihat oleh orang lain. Mencoba mengatur emosi kembali. Lihatlah meski ia telah sedikit tenang, matanya yang sembab tetap meninggalkan jejak. Diriku menundukkan kepala, tak ingin diketahui apa yang baru saja terjadi.
Aku melihat diriku menahan amarah hingga rasanya seperti akan meledak dadanya. Diriku yang tak bisa mengungkapkan apa yang dipikirkannya. Diriku yang selalu ingin menghilang saat itu. Kembali lagi diriku menyendiri dan tak terasa meneteskan air mata.
Aku melihat diriku diam karena tak ingin menyebabkan luka sebab ia sedang tak baik-baik saja. Biarlah orang lain menganggap diriku bagaimana. Biarlah. Itu lebih baik daripada entah apa yang mungkin terucap ketika diriku mulai bersuara.
Aku melihat diriku terseok-seok dalam pelariannya. Diriku yang terus memaksakan dirinya untuk terus melangkah. Diriku yang mencoba untuk tetap mengangkat-melangkahkan kakinya meski ia tau seperih apa lukanya.
Aku melihat diriku mencoba tersenyum. Senyum yang menyimpan banyak hal. Karena diriku tau tidak ada yang bisa dilakukan orang lain untuk menghiburnya, hanya dirinyalah yang bisa. Ia tersenyum untuk menghibur isak batinnya. Ia sedang berpura-pura.
Aku melihat diriku tertawa palsu ketika orang lain menjadikannya objek leluconnya. Rasa yang tak bisa diungkap karena lidahnya pun terasa kelu.Â
Aku melihat diriku bimbang dalam perjalannya. Rasanya tidak ada penunjuk arah baginya atau bahkan buku pedoman. Ia terus melangkah karena diam pun bukan sebuah jawaban.
Aku melihat diriku dalam tatapan mata orang lain. Diriku yang mungkin asing bagi mereka. Diriku yang tak sama dengan mereka.
Aku melihat diriku dalam pertanyaan orang lain. Pertanyaan-pertanyaan yang tak biasa. Tentang bagaimana aku menjadi begini dan mengapa aku begitu. Pertanyaan-pertanyaan yang diriku sendiri tak mengetahui jawabannya.
Aku melihat diriku dalam setiap perkataan orang lain. Diriku yang tak mampu seperti yang mereka harapkan tentangku. Diriku dan ketidakmampuanku.
Aku melihat diriku sendiri dalam keramaian. Diriku yang merasa sepi bahkan ketika sedang dalam keramaian. Diriku yang sendiri.
Aku melihat diriku terdiam dalam sudut ruangan. Sepi. Tapi lihatlah betapa sibuk pikirannya saat itu hingga sadar ia sudah tidak sanggup lagi menanganinya. Diriku menyerah dan akhirnya padam dengan sendirinya.
Aku melihat diriku menahan tangisnya. Merobek kertas di sampingnya. Menahan tangis karena marah. Diriku marah karena diabaikan. Bayangan terabaikan dan terkucilkan semasa kecil ikut memberi garam dalam lukanya saat itu.
Aku melihat diriku perlahan mulai melangkah lagi. Rasanya terlalu lama ia duduk.Â
Aku melihat diriku mulai belajar apa itu percakapan. Apa itu berbaur. Diriku yang mencoba menjadi orang lain. Diriku yang banyak bicara.
Aku melihat diriku menghela napasnya. Entah berapa kali ia mengulanginya. Diriku yang lelah setelah memainkan perannya. Diriku yang kehabisan energinya. Diriku yang hanya ingin sendiri.
Aku melihat diriku yang mencoba membangun ambisinya kembali. Menorehkan coretan-coretan dalam lembaran-lembaran putih baru miliknya.Â
Aku melihat diriku yang menghela napas panjang dan memejamkan matanya. Diriku yang mencoba merasakan kehadiran matahari pagi hari. Diriku dengan senyum di bibirnya. Indah dan menenangkan katanya.
Aku melihat diriku tanpa sadar menatap lama awan di langit. Imajinasinya sedang menari dan menerka bentuk apa yang akan muncul disana.
Aku melihat diriku dengan senyum miliknya. Bukan sebuah kepura-puraan.
Aku yang sedang mengenal diriku.
Boyolali, 3 September 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H