Aku melihat diriku dalam setiap perkataan orang lain. Diriku yang tak mampu seperti yang mereka harapkan tentangku. Diriku dan ketidakmampuanku.
Aku melihat diriku sendiri dalam keramaian. Diriku yang merasa sepi bahkan ketika sedang dalam keramaian. Diriku yang sendiri.
Aku melihat diriku terdiam dalam sudut ruangan. Sepi. Tapi lihatlah betapa sibuk pikirannya saat itu hingga sadar ia sudah tidak sanggup lagi menanganinya. Diriku menyerah dan akhirnya padam dengan sendirinya.
Aku melihat diriku menahan tangisnya. Merobek kertas di sampingnya. Menahan tangis karena marah. Diriku marah karena diabaikan. Bayangan terabaikan dan terkucilkan semasa kecil ikut memberi garam dalam lukanya saat itu.
Aku melihat diriku perlahan mulai melangkah lagi. Rasanya terlalu lama ia duduk.Â
Aku melihat diriku mulai belajar apa itu percakapan. Apa itu berbaur. Diriku yang mencoba menjadi orang lain. Diriku yang banyak bicara.
Aku melihat diriku menghela napasnya. Entah berapa kali ia mengulanginya. Diriku yang lelah setelah memainkan perannya. Diriku yang kehabisan energinya. Diriku yang hanya ingin sendiri.
Aku melihat diriku yang mencoba membangun ambisinya kembali. Menorehkan coretan-coretan dalam lembaran-lembaran putih baru miliknya.Â
Aku melihat diriku yang menghela napas panjang dan memejamkan matanya. Diriku yang mencoba merasakan kehadiran matahari pagi hari. Diriku dengan senyum di bibirnya. Indah dan menenangkan katanya.
Aku melihat diriku tanpa sadar menatap lama awan di langit. Imajinasinya sedang menari dan menerka bentuk apa yang akan muncul disana.
Aku melihat diriku dengan senyum miliknya. Bukan sebuah kepura-puraan.