Generasi muda mungkin sudah tidak asing dengan kata “Narsistik”, kata tersebut merujuk pada ungkapan ataupun istilah psikologis seseorang. Individu dengan sifat narsistik adalah individu yang haus validasi dari orang lain. Narsisme ditandai dengan rasa berhak, perasaan superioritas, iri hati yang mendalam atas keberhasilan orang lain dan perilaku eksploitatif. Kecenderungan itu mengendalikan sikap orang terhadap orang lainnya agar selalu mendapat apa yang diinginkan dengan cara melambungkan harga diri mereka secara terus-menerus, agar mendapat perhatian dari orang lain atau lebih tepatnya memenuhi kebutuhan untuk dikagumi.
Sayangnya, perasaan superior itu tidak hanya membuat dampak yang merugikan untuk orang sekitarnya, namun juga membuat mereka terperangkap dalam siklus pencarian pengakuan. Dalam hidup, tidak ada baik yang berlebihan. Gangguan kepribadian narsistik terjadi akibat adanya sikap atau perilaku seseorang yang secara berlebihan dalam memandang keunikan atau kelebihan pribadi sehingga menimbulkan fantasi yang berlebihan terhadap dirinya sendiri. Alih alih menghargai diri sendiri, perilaku itu justru menjadi bumerang karena ternyata hal tersebut adalah bentuk pengorbanan diri.
Orang orang egosentris itu tidak sadar bahwa kebiasaan untuk mempertahankan citra diri yang sempurna itu menguras energi dan perasaan sendiri. Kekecewaan atau kemarahan kepada jika ihal tidak terpenuhi membuat hubungan menjadi terasa berat. Sedikit positifnya, orang orang narsistik memiliki kepercayaan diri yang tinggi, meskipun kadang rasa itu membuat mereka tidak tenang dan tidak stabil, karena mereka hanya berfokus untuk apa yang mereka inginkan, yaitu pengakuan. Namun, di balik rasa percaya diri yang kuat, sebenarnya orang narsis memiliki penghargaan terhadap diri sendiri yang lemah, dan mudah tersinggung meskipun terhadap kritikan kecil. Meraka bisa merasa sebuah kritikan adalah bentuk ancaman. Individu dengan gangguan kepribadian narsistik mengaktualkan dirinya sendiri dan acuh terhadap orang lain.
Kepribadian narsistik bisa dilihat dari gaya beragumennya. Contohnya adalah denial, yaitu mekanisme pertahanan psikologis di mana seseorang menolak untuk menerima kenyataan atau kebenaran yang tidak sesuai dengan gambaran diri mereka yang ideal. Dalam konteks kepribadian narsistik, denial sering kali muncul sebagai cara untuk menghindari pengakuan terhadap kelemahan, kekurangan, atau kesalahan yang mereka buat. Kemudian deflect, alih-alih mengakui kesalahan orang orang narsistik justru akan menyalahkan dan memanipulasi orang lain agar orang lain merasa bersalah, contohnya adalah membalikkan kritik terhadap orang lain (gaslighting). Dengan itu, orang narsistik memakai taktik yang selalu menonjolkan penderitaan mereka atau playing victim.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H